PETA ANALISIS SOSIAL
Uraian tentang
Paradigma Sosiologi, Teori Perubahan Sosial,
Langkah Praxis
Analisis Sosial dan Pengorganisasian Masyarakat
Prawacana
Sebelum dibahas lebih lanjut pada bagian-bagian berikutnya mengenai
berbagai aliran ideologi dan keyakinan serta teori tentang perubahan sosial dan
kritik pembangunan, maka terlebih dahulu dalam bagian ini diuraikan dan dijelaskan
mengenai apa latar belakang yang mempengaruhi terbentuknya teori-teori
tersebut. Salah satu dari banyak hal yang sangat mempengaruhi dan membentuk
suatu teori adalah apa yang dikenal dengan istilah paradigma (paradigm).
Untuk itu uraian pada bagian kedua buku ini akan memfokuskan pembahasan untuk
memahami apa yang sesungguhnya dimaksud dengan paradigma, mengapa dan bagaimana
suatu paradigma terbentuk, serta apa pengaruh paradigma terhadap terbentuknya
teori-teori perubahan sosial dan praktik pembangunan. Pembahasan mengenai
masalah paradigma ini perlu dilakukan mengingat pentingnya paradigma dalam
membentuk dan mempengaruhi teori maupun analisis seseorang. Pada dasarnya tidak
ada suatu pandangan atau teori sosial pun yang bersifat netral dan objektif,
melainkan salah satunya bergantung pada paradigma yang dipergunakan. Namun,
sebelum melangkah lebih lanjut, uraian ini akan dimulai dengan menjawab
pertanyaan dasar apa sesungguhnya yang dimaksud dengan paradigma itu?
Sebagaimana diuraikan Mansour Faqih[1], paradigma secara
sederhana dapat diartikan bagai kacamata atau alat pandang. Namun, pengertian
yang lebih akademis dapat dipahami dari beberapa pemikiran yang akan diuraikan
berikut. Pada dasarnya, istilah paradigma menjadi sangat terkenal justru
setelah Thomas Khun menulis karyanya yang berjudul The Structure of
Scientific Revolution. Dalam buku itu Khun menjelaskan tentang model
bagaimana suatu aliran teori ilmu lahir dan berkembang menurutnya disiplin ilmu
lahir sebagai proses revolusi paradigma, di mana suatu pandangan teori
ditumbangkan oleh pandangan teori yang lain. Paradigma diartikan sebagai satu
kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau
pijakan suatu teori. Berkembangnya suatu paradigma erat kaitannya dengan seberapa
jauh suatu paradigma mampu melakukan konsolidasi dan mendapat dukungan dari
berbagai usaha seperti penelitian, penerbitan, pengembangan, dan penerapan
kurikulum oleh masyarakat ilmiah pendukungnya. Oleh karena itu, untuk memahami
berkembang maupun runtuhnya suatu teori perubahan sosial dan pembangunan erat
kaitannya dengan persoalan yang dihadapi oleh paradigma masing-masing yang
menjadi landasan teori tersebut.
Selain Khun, peneliti pemikir lain seperti Patton (1975) juga memberikan
pengertian paradigma yang tidak jauh dengan apa yang didefinisikan oleh Khun,
yakni sebagai "a world view, a general perspective, a way of breaking
down the complexity of the real world"[2] Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud
paradigma adalah konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, selain dipergunakan
oleh suatu nilai dan tema pemikiran. Konstelasi ini dikembangkan dalam rangka
memahami kondisi sejarah dan keadaan sosial, untuk memberikan kerangka konsepsi
dalam memberi makna realitas sosial.[3] Paradigma merupakan tempat kita berpijak dalam melihat suatu realitas.
Justru kekuatan sebuah paradigma terletak pada kemampuannya membentuk apa
yang kita lihat, bagaimana cara kita melihat sesuatu, apa yang kita anggap
masalah, apa masalah yang kita anggap bermanfaat untuk dipecahkan serta apa
metode yang kita gunakan dalam meneliti dan berbuat. Paradigma, sebaliknya,
mempengaruhi apa yang tidak kita pilih, tidak ingin kita lihat, dan tidak ingin
kita ketahui.[4] Oleh karena itu, jika ada dua orang melihat suatu realitas sosial yang
sama, atau membaca ayat dari sebuah kitab suci yang sama, akan menghasilkan
pandangan berbeda, menjatuhkan penilaian dan sikap yang berbeda pula. Paradigma
pulalah yang akan mempengaruhi pandangan seseorang tentang apa yang "adil
dan yang tidak adil", bahkan paradigma mempengaruhi pandangan
seseorang ataupun teori tentang baik buruknya suatu program kegiatan. Misalnya
saja hubungan lelaki prempuan pada suatu masyarakat, atau hubungan antara
majikan dan buruh, oleh suatu paradigma pemikiran disebutkan sebagai "harmonis
saling membantu" dan tidak ada masalah, oleh paradigma yang lain, akan
dilihat sebagai hubungan hegemonik, dominasi gender ataupun bahkan dianggap
eksploitatif. Dalam hal perbedaan paradigma seperti itu, tidak relevan
membicarakan siapa yang salah dan siapa yang benar, karena masing-masing
menggunakan alasan, nilai, semangat, dan visi yang berbeda tentang fenomena
tersebut.
Oleh karena itu, dominasi suatu paradigma terhadap paradigma yang lain
sesungguhnya bukanlah karena urusan "salah atau benar, yakni yang benar
akan memenangkan paradigma yang lain. Ritzer (1975) mengungkapkan bahwa
kemenangan satu paradigma atas paradigma yang lain lebih disebabkan karena para
pendukung paradigma yang menang ini lebih memiliki kekuatan dan kekuasaan (power)
dari pengikut paradigma yang dikalahkan, dan sekali lagi bukan karena
paradigma yang menang tersebut lebih benar atau 'lebih baik dari yang
dikalahkan".[5] Demikian halnya dalam memahami dipilihnya atau diterapkannya suatu aliran
teori perubahan sosial maupun pembangunan juga erat kaitannya dengan kekuasaan
penganut paradigma perubahan sosial yang bersangkutan untuk memenangkannya.
Dengan demikian, dominasi atau berkuasanya suatu teori perubahan sosial
ataupun teori pembangunan, adalah lebih karena teori tersebut yang merupakan
hasil atau dibentuk oleh suatu paradigma tertentu, ada kaitannya dengan kekuatan
dan kekuasaan bagi penganut teori tersebut, dan tidak ada sangkut-pautnya
dengan kebenaran teori tersebut. Lantas pertanyaannya mengapa dan bagaimana
kita harus memilih satu paradigma atau teori perubahan sosial tertentu?
Meskipun penjelasan Kuhn sangat bermanfaat untuk memahami bagaimana
paradigma mempengaruhi terciptanya teori, tetapi penjelasan Kuhn tentang
proses pergantian paradigma menurutnya berjalan secara revolusioner. Dengan
kata lain, bergantinya suatu paradigma melalui pergantian, paradigma lama mati
dan diganti oleh paradigma baru. Penjelasan mengenai pergantian paradigma ini
sudah banyak dibantah orang. Dalam kenyataannya telah terjadi berbagai fenomena
yang tidak dibayangkan oleh Kuhn dalam teorinya. Pertama telah terjadi
pluralitas dan konvergensi teori. Kuhn berpendapat bahwa paradigma akan selalu
menggantikan posisi paradigma lama, dan jika tidak, para ilmuwan tidak memiliki
kerangka kerja yang mapan. Dalam ilmu alam, pandangan seperti ini memang
terjadi. Namun, dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial menunjukkan kecenderungan
semakin menguatnya pertikaian antar paradigma, atau bahkan terjadi dialog
antara dua paradigma atau lebih pada era yang sama. Bahkan, proses teori pada
dasarnya adalah terjadinya saling dialog antar teori dan proses kemampuan teori
untuk menyesuaikan diri. Marxisme, misalnya, telah berkembang setelah berdialog
dengan semakin canggihnya kapitalisme. Sebaliknya, terjadi penguatan gejala
dimana teori-teori sosial yang bersandar pada keyakinan kapitalisme berkembang
ke arah penyesuaian diri terhadap kritik. Dalam perkembangan Marxisme,
misalnya, perkembangan dan kritik interen terhadap praktik perkembangannya, hal
ini menghasilkan masuknya analisis hegemoni kultur dan ideologi dalam Marxisme,
sesuatu yang membuat analisis Marxisme saat ini telah bergeser dari pikiran
Marx pertama kali yang lebih memfokuskan pada analisis ekonomi. Demikian halnya
maraknya perkembangan teologi pembebasan (liberation theology) di
Amerika Latin dan tempat-tempat lain adalah suatu adaptasi akibat dari suatu
dialog paradigma. Demikian halnya, perkembangan paham dan teori kapitalisme
dalam perkembangannya hingga seperti saat ini justru belajar dan mendapat
keuntungan dari kritik yang dilakukan oleh teori Marxisme. Kapitalisme
sesungguhnya banyak belajar dan menyesuaikan diri karena mendapat kritikan dari
Marxisme.
Namun, pertanyaan yang lebih mendasar adalah apa manfaat dan sikap yang
diperlukan dalam memahami paradigma sosial. Pada dasarnya memahami paradigma
dan teori perubahan sosial seharusnya tidak sekedar untuk mempelajari dan
memahaminya. Suatu teori ataupun paradigma dipelajari dan dipahami dalam rangka
menegakkan komitmen untuk suatu proses emansipasi, keadilan sosial dan
transformasi sosial. Persoalan pilihan terhadap pardigma dan teori perubahan
sosial maupun teori pembangunan pada dasarnya bukanlah karena alasan benar dan
salahnya teori tersebut, pilihan suatu teori lebih karena dikaitkan dengan
persoalan mana teori yang akan berakibat pada penciptaan emansipasi dan
penciptaan hubungan-hubungan dan struktur yang secara mendasar lebih baik. Oleh
karena itu, memilih paradigma dan teori perubahan sosial adalah suatu pemihakan
dan berdasarkan nilai-nilai tertentu yang dianut. Pertanyaan yang penting
diajukan di sini adalah siapa dan dengan tujuan apa sesungguhnya kegiatan dan
aksi kita diabdikan? Masalah siapa yang ingin kita pecahkan melalui aksi dan
program kegiatan kita? Jadi, masalahnya bukanlah apakah kita harus memihak,
karena pemihakan adalah mustahil untuk dapat dihindarkan bagi semua teori
perubahan sosial dan teori pembangunan, tetapi masalahnya adalah kepada siapa
atau kepada apa pemihakan tersebut diabdikan.[6] Untuk menjawab persoalan ini, diperlukan pemahaman paradigma sosiologi
yang menjadi kacamata dan dasar bertindak dibalik setiap teori perubahan sosial
maupun pembangunan.
BAGIAN I
Paradigma-paradigma Ilmu-ilmu Sosial
Untuk memberikan bingkai bagaimana memahami teori perubahan sosial,
termasuk di dalamnya teori pembangunan, kita perlu mengenal peta paradigma
dalam ilmu sosial. Ada beberapa peta pendekatan yang telah dihasilkan oleh para
ahli ilmu sosial. Dalam rangka itu, berikut diuraikan beberapa model paradigma
dalam melihat masalah sosial. Pertama adalah model pemetaan paradigma sosial
yang diuraikan oleh salah seorang penganut mazhab Frankfurt, terutama Jurgen
Habermas. Model pembagian paradigma kedua adalah dengan mengikuti tokoh pemikir
pendidikan kritis asal Brazil, Paulo Freire. Sedangkan model ketiga adalah peta
paradigma sosiologi yang dibuat oleh Barnel dan Morgan (1979).
Ilmu Sosial Paradigma Dominatif Lawan Emansipatoris
Meminjam analisis Habermas yang secara sederhana membagi paradigma
ilmu-ilmu sosial menjadi tiga paradigma, dapat digunakan untuk memahami suatu
sudut perbedaan paradigma dalam ilmu-ilmu sosial. Habermas pada dasarnya
membagi paradigma ilmu sosial dalam pembagian yang secara sederhana dapat
dipahami sebagai berikut. Menurutnya ilmu sosial dapat dibedakan menjadi tiga
paradigma yang dapat secara sederhana diuraikan sebagai berikut;
Pertama, yang disebutnya sebagai instrumental knowledge.
Dalam perspektif paradigma 'instrumental' ini, pengetahuan lebih
dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi objeknya. Yang dimaksud Habermas
dengan paradigma pengetahuan instrumental ini sesungguhnya adalah paradigma
positivisme. Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang
dipinjam dari pandangan, metode, dan teknik ilmu alam dalam memahami realitas.
Positivisme adalah aliran filsafat yang berakar pada tradisi ilmu sosial yang
dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni dengan
kepercayaan adanya universalisme dan generalisasi, melalui metode
determinasi, fixed law atau kumpulan hukum teori (Schoyer, 1973).
Positivisme berasumsi bahwa penjelasan sifat universal, artinya cocok atau appropriate
untuk semua, kapan saja, di mana saja suatu fenomena sosial. Oleh karena itu,
mereka percaya babwa riset sosial harus didekati dengan metode ilmiah, yakni
obyektivitas, netral, dan bebas nilai. Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah
yang bersifat universal, prosedur harus dikuantifikasi dan diverifikasi dengan
metode scientific atau ilmiah. Dengan kata lain, positivisme mensyaratkan
pemisahan fakta dan nilai (values) dalam rangka menuju pemahaman
objektif atas realitas sosial.
Sebutan "kaum positivist" berkesan sentimen dan merupakan
diskursus yang di dalamnya memuat suatu strategi daripada mengacu pada
pengertian bahasa yang mendalam dan bermanfaat untuk menjelaskan kata positif
lawan yang negatif dari konsep itu. Istilah itu digunakan untuk mengacu pada
suatu sikap dan pendirian epistemologis tertentu. Positivisme sering dicampur-adukkan
dengan 'empirisme' sehingga membuat rancu beberapa pengertian pokoknya.
Pendirian epistemologis kaum positivis kalau ditelaah lebih dalam didasarkan
pada pendekatan yang digunakan dalam "ilmu alam," atau dengan kata
lain, lebih jelas dapat dikatakan bahwa ilmu sosial positivistik, pada dasamya
meminjam cara, metodologi, sikap dan visi bagaimana ilmu alam menghadapi objek
studi mereka yakni benda dan fenomena alam. Perbedaan utamanya terletak pada
istilah yang digunakan dan objek yang dihadapi. Dalam ilmu alam objeknya adalah
benda dan fenomena alam, sedangkan positivisme memberlakukan masyarakat atau
manusia seperti ilmu alam memperlakukan benda dan fenomen alam. Tatanan sosial
dapat dibuktikan kebenarannya melalui penelitian eksperimental, atau laboratorium,
meskipun sering terjadi hipotesis keliru yang tak pernah dapat dibuktikan
kebenarannya. Kaum verifikasionis (membuktikan kebenaran, dan falsifikasionis
(membuktikan kekeliruan) hipotesis tentang tatanan sosial, sependapat bahwa
pengetahuan hakikatnya merupakan proses akumulasi di mana pemahaman baru
diperoleh sebagai tambahan atas kumpuIan pengetahuan atau penghapusan atas
hipotesis salah yang pernah ada.
Dengan pendekatan seperti itu, ilmu sosial dengan paradigma positivisme
lebih mensyaratkan sikap-sikap tertentu yang tercermin dalam metodologi dan
teknik kajian mereka. Di antara banyak sikap yang kemudian disebutkan sebagai
sikap "ilmiah" tersebut adalah bahwa ilmu sosial dan penelitian
sosial haruslah bersikap netral dan tidak memihak. Selain itu, ilmu sosial bagi
paradigma positivisme juga tidak boleh bersifat subjektif, melainkan harus
objektif, rasional, tidak boleh emosional, komitmen dan empati. Ilmu sosial
juga harus mampu menjaga jarak (detachment) terhadap objek studi dan
hasil kajian, bersikap universal, dapat diterapkan di mana saja dan kapan saja.
Untuk memahami lebih lanjut pendirian paradigma positivisme, kita dapat
memahaminya melalui pendirian teori-teori anti-positivisme. Meskipun
epistemologis kaum antipositivis beragam jenisnya, semuanya tidak menerima
berlakunya kaidah-kaidah universalitas, bahwa yang terjadi pada suatu tatanan
sosial tertentu tidak secara serta merta akan berlaku pada semua tatanan atau
peristiwa sosial. Realitas sosial adalah nisbi, hanya dapat dipahami dari
pandangan orang per orang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial
tertentu. Mereka menolak kedudukan sebagai 'peneliti dan pengamat'
atau pengembang masyarakat ahli luar seperti layaknya kedudukan kaum
positivis. Seorang hanya bisa "mengerti" dengan 'memasuki'
kerangka pikir orang yang terlibat langsung atau diri mereka sendiri sebagai
peserta atau pelaku dalam tindakan. Seseorang hanya mengerti dari sisi dalam,
bukan dari luar realitas sosial, betapa pun ahlinya karena ilmu sosial bersifat
subjektif, dan menolak anggapan bahwa ilmu pengetahuan dapat ditemukan sebagai
pengetahuan objektif.
Kalau kita pelajari secara mendalam, sesungguhnya ada dua tradisi pemikiran
besar yang mewamai perkembangan ilmu dan analisis sosial selama lebih dari dua
ratus tahun terakhir, yakni pertikaian antara postivisme dan idealisme Jerman.
Aliran ini mewakili pandangan yang berusaha menerapkan cara dan bentuk
penelitian alam ke dalam pengkajian peristiwa kemanusiaan. Realitas sosial
disamakan dengan realitas alam. Dengan meniru kaum realis dalam ontologinya,
epistimologi kaum positivis, pandangan deterministik mengenai sifat manusia
dan nomotetis metodologinya. Sementara itu, lawannya adalah tradisi
"idealisme Jerman". Aliran ini menyatakan bahwa realitas tertinggi bukan
kenyataan lahir yang dapat dilihat indera, tetapi justru pada "ruh"
atau gagasan". Oleh karena itu epistiomologi mereka anti-positivis di
mana sifat subjektivitas dari peristiwa kemanusiaan lebih penting dan menolak
cara dan bentuk penelitian ilmu alam.
Kedua, adalah paradigma interpretative. Latar belakang
perkembangan paradigma interpretatif ini dapat ditelusuri dari pergumulan dalam
teori ilmu sosial sebelum tahun 1970 ketika telah mulai berkembang suatu
tradisi besar terutama di bidang filsafat sosial dengan munculnya fenomenologi,
etnometodologi dan teori-teori aksi. Aliran-aliran filsafat sosial ini selain
menyatakan pendiriannya sendiri sering juga menentang aliran sosiologi
positivisme. Aliran-aliran ini dapat dipahami dengan baik dengan mengenali
perbedaan-perbedaan anggapan dasarnya masing-masing. Aliran hermeneutic
knowledge atau juga dikenal dengan paradigma interpretative,
secara sederhana dapat dijelaskan bahwa pengetahuan dan khususnya ilmu-ilmu
sosial dan penelitian sosial dalam paradigma ini 'hanya' dimaksud untuk
memahami secara sungguh-sungguh. Dasar filsafat paradigma interpretative
adalah phenomenology dan hermeneutics, yaitu tradisi filsafat yang lebih
menekankan minat yang besar untuk memahami. Semboyan yang terkenal dari tradisi
ini adalah "biarkan fakta bicara atas nama dirinya sendiri".
Namun dalam paradigma ini pengetahuan tidak dimaksudkan sebagai proses yang
membebaskan. Misalnya saja yang termasuk dalam paradigma ini adalah
ethnography dalam tradisi kalangan antropolog.
Ketiga, adalah
paradigma yang disebut sebagai "paradigma kritik" atau critical/
emancipatory knowledge. Ilmu sosial dalam paradigma ini lebih dipahami
sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap
ketidakadilan. Melalui kritik yang mendasar terhadap ilmu sosial yang
mendominasi (instrumental knowledge), paradigma kritis ini menganjurkan
bahwa ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu sosial tidak boleh dan tidak mungkin
bersifat netral. Paradigma kritis memperjuangkan pendekatan yang bersifat
holistik, serta menghindari cara berpikir deterministik dan reduksionistik.
Oleh sebab itu, mereka selalu melihat realitas sosial dalam perspektif
kesejarahan. Paradigma kritis tidak hanya terlibat dalam teori yang spekulatif
atau abstrak, tetapi lebih dikaitkan dengan pemihakan dan upaya emansipasi
masyarakat dalam pengalaman kehidupan mereka sehari-hari.
Implikasi dari kritik paradigma ini terhadap positivisme menyadarkan kita
akan perlunya perenungan tentang moralitas ilmu dan penelitian sosial. Oleh
karena teori dan penelitian sosial begitu berpengaruh terhadap praktik
perubahan sosial seperti program pembangunan, maka paradigma ilmu dan
penelitian sosial adalah faktor penting yang menentukan arah perubahan sosial.
ltulah mengapa paradigma kritik selalu mempertanyakan "mengapa rakyat
dalam perubahan sosial" selalu diletakkan sebagai passive objects
untuk diteliti, dan selalu menjadi objek "rekayasa sosial"
bagi penganut positivisme. Positivisme percaya bahwa rakyat tidak mampu
memecahkan masalah mereka sendiri. Perubahan sosial harus didesain oleh ahli,
perencana yang bukan rakyat, kemudian dilaksanakan oleh para teknisi. Rakyat
dalam hal ini dilihat sebagai masalah dan hanya para ahli yang berhak untuk
memecahkannya.
Sebaliknya, pandangan paradigma kritik justru menempatkan rakyat sebagai
subjek utama perubahan sosial. Rakyat harus diletakkan sebagai pusat proses
perubahan dan penciptaan maupun dalam mengontrol pengetahuan mereka. Inilah
yang menjadi dasar sumbangan teoretik terhadap perkembangan participatory
research. Kritik terhadap positivisme dilontarkan karena pengetahuan tersebut
menciptakan dominasi yang irasional dalam masyarakat modern. Ilmu sosial harus
mampu memungkinkan setiap orang untuk memberikan partisipasi dan kontribusinya.
Pemikiran tersebut mempengaruhi arah ilmu sosial kritis yang menekankan
pentingnya subjektivitas manusia, pemihakan dan kesadaran dalam proses
membangun teori. Paradigma kritis inilah yang memberikan legitimasi terhadap
ilmu sosial pembebasan, yang tadinya dianggap 'tidak ilmiah' tersebut. ltulah
sebabnya paradigma kritik sekaligus merupakan kritik terhadap paradigma dominasi
dan interpretasi.
Dengan kerangka peta pembagian paradigma seperti itu, kita dapat memahami
dan menyadari segenap perkembangan, asumsi, dan konflik antar berbagai teori
perubahan sosial dan kritik terhadap teori-teori pembangunan yang menjadi fokus
utama pembahasan-pembahasan dalam berbagai uraian pada bagian-bagian
berikutnya.
Dari Paradigma Reformasi ke Transformasi: Peta Kesadaran Freire
Arena perbedaan paradigma yang lain yang juga berpengaruh dalam
perkembangan dan kajian teori perubahan sosial dan teori pembangunan adalah
dengan meminjam pembagian paradigma yang dikembangkan oleh Paulo Freire. Ketika
Freire (1970) menerbitkan buku Pedagogy of the Oppressed yang pertama
kali diterbitkan dalam bahasa Inggris tahun 1970, umumnya orang menyangka bahwa
ia sedang melakukan kritik terhadap dunia pendidikan. Namun, dengan membaca
karya Freire lainnya, terutama mendengar dialognya dengan tokoh social
movement Amerika Serikat, Miles Horton, yang dibukukan dengan judul We
Making the Road by Walking (1990), orang baru sadar bahwa Freire sedang
berbicara soal yang lebih luas dari dunia pendidikan yakni mengenai paradigma
perubahan sosial. Dia mengakui sangat dipengaruhi oleh Gramsci, seorang pemikir
kebudayaan yang radikal yang pertama kali mengupas bahwa sesungguhnya
peperangan yang terpenting pada abad modern ini adalah ideologi, yang
disebutnya sebagai proses 'hegemony'. Dari situlah orang baru menyadari
bahwa Freire sedang membicarakan pendidikan dalam kaitannya dengan struktur dan
sistem budaya, ekonomi, dan politik yang lebih luas.
Tugas teori sosial menurut Freire adalah melakukan apa yang disebutnya
sebagai conscientizacao atau proses penyadaran terhadap sistem dan
struktur yang menindas, yakni suatu sistem dan struktur. Proses dehumanisasi
yang membunuh kemanusiaan. Gramsci menyebut proses ini sebagai upaya counter
hegemony. Proses dehumaniasi tersebut terselenggara melalui mekanisme
kekerasan, baik yang fisik dan dipaksakan, maupun melalui cara penjinakan yang
halus, yang keduanya bersifat struktural dan sistemik. Artinya kekerasan dehumanisasi
tidak selalu berbentuk jelas dan mudah dikenali. Kemiskinan struktural,
misalnya, pada dasarnya adalah suatu bentuk kekerasan yang memerlukan analisis
untuk menyadarinya. Bahkan, kekerasan sebagian besar terselenggara melalui
proses hegemoni: cara pandang, cara berfikir, ideologi, kebudayaan, bahkan
selera, golongan yang mendominasi telah dipengaruhkan dan diterima oleh
golongan yang didominasi. Dengan begitu, pendidikan dan ilmu pengetahuan,
sebagaimana kesenian, bukanlah arena netral tentang estetika belaka. Kesenian
dan kebudayaan tidaklah berada dalam ruang dan masa yang steril, melainkan
dalam sistem dan struktur yang bersifat hegemonik.
Freire (1970) membagi ideologi teori sosial dalam tiga kerangka besar yang
didasarkan pada pandangannya terhadap tingkat kesadaran masyarakat.[7] Tema pokok gagasan Freire pada dasarnya mengacu pada suatu landasan bahwa
pendidikan adalah "proses memanusiakan manusia kembali".
Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial,
politik, ekonomi, dan budaya masyarakat, menjadikan masyarakat mengalami proses
'dehumanisasi'. Pendidikan, sebagai bagian dari sistem masyarakat,
justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Secara lebih rinci
Freire menjelaskan proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisis tentang
kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri. Freire
menggolongkan kesadaran manusia menjadi: kesadaran magis (magical
consciousnees), kesadaran naif (naival consciousnees) dan kesadaran
kritis (critical consciousness). Bagaimana kesadaran tersebut dan
kaitannya dengan sistem pendidikan dapat secara sederhana diuraikan sebagai
berikut.[8]
Pertama, kesadaran magis, yakni suatu keadaan kesadaran, suatu teori
perubahan sosial yang tidak mampu mengetahui hubungan atau kaitan antara satu
faktor dengan faktor lainnya. Misalnya saja suatu teori yang percaya akan
adanya masyarakat miskin yang tidak mampu, kaitan kemiskinan mereka dengan
sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih mengarahkan penyebab
masalah dan ketakberdayaan masyarakat dengan faktor-faktor di luar manusia,
baik natural maupun super natural. Dalam teori perubahan sosial
jika proses analisis teori tersebut tidak mampu mengaitkan antara sebab dan
musabab suatu masalah sosial, proses analisis teori sosial tersebut dalam
perspektif Freirean disebut sebagai teori sosial fatalistik. Suatu teori
sosial bisa dikategorikan dalam model pertama ini jika teori yang dimaksud
tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur terhadap
satu permasalahan masyarakat. Masyarakat secara dogmatik menerima 'kebenaran'
dari teoretisi sosial tanpa ada mekanisme untuk memahami 'makna' ideologi
setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat.
Yang kedua adalah apa yang disebutnya sebagai "Kesadaran
Naif". Keadaan yang dikategorikan dalam kesadaran ini adalah lebih
melihat 'aspek manusia' sebagai akar penyebab masalah masyarakat. Dalam
kesadaran ini 'masalah etika, kreativitas, 'need for achievement'
dianggap sebagai penentu dalam perubahan sosial. Jadi, dalam menganalisis
mengapa suatu masyarakat miskin, bagi analisis kesadaran ini, adalah disebabkan
oleh kesalahan masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki jiwa
kewiraswastaan, atau tidak memiliki budaya 'pembangunan', dan seterusnya.[9] Oleh karena itu, man power development adalah sesuatu yang diharapkan,
akan menjadi pemicu perubahan. Teori perubahan sosial dalam konteks ini berarti
suatu teori yang tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan
struktur yang ada dianggap sudah baik dan benar, merupakan faktor given dan,
oleh sebab itu, tidak perlu dipertanyakan. Tugas teori sosial adalah bagaimana
membuat dan mengarahkan agar masyarakat bisa beradaptasi dengan sistem yang
sudah benar tersebut. Paradigma inilah yang dikategorikan sebagai paradigma
perubahan yang bersifat reformatif dan bukanlah paham perubahan yang bersifat
transformatif.
Kesadaran ketiga adalah yang disebut sebagai kesadaran kritis.
Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah.
Pendekatan struktural menghindari blaming the victims dan lebih
menganalisis secara kritis struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan
budaya dan bagaimana kaitan tersebut berakibat pada keadaan masyarakat. Paradigma
kritis dalam teori perubahan sosial memberikan ruang bagi masyarakat untuk
mampu mengidentifikasi 'ketidakadilan' dalam sistem dan struktur yang ada,
kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja,
serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas teori sosial dalam paradigma
kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar masyarakat terlibat dalam
suatu proses dialog "penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan
lebih baik atau lebih adil". Kesadaran ini pula yang disebut sebagai kesadaran
transformatif.
Diagram 1
Peta analisis kesadaran masyarakat, Paulo Freire (1970)
KESADARAN MAGIS
|
KESADARAN NAIF
|
KESADARAN KRITIS
|
Magical
Consciousness
|
Naival
Consciousness
|
Critical
Consciousness
|
Perubahan sosial ditentukan oleh:
NATURAL,
SUPERNATURAL
|
Perubahan sosial ditentukan oleh:
ETIKA, KREATIFITAS, NEED FOR ACHIEVEMENT
|
Perubahan sosial ditentukan oleh:
SISTEM SOSIAL, EKONOMI, POLITIK & BUDAYA
|
Berimplikasi pada:
Kesadaran Fatalistik
|
Berimplikasi pada:
Kesadaran Reformatif
|
Berimplikasi pada:
Kesadaran Transformatif
|
Dengan menggunakan paradigma yang dikembangkan Freire ini membantu kita
untuk dapat memahami bagaimana logika berbagai teori sosial yang akan dibahas
dikembangkan. Dengan demikian, teori modernisasi dan pembangunan serta berbagai
teori pendukung setelahnya dalam epistimologi, atau menurut paradigma kesadaran
Freire dapat digolongkan dalam kesadaran naif, karena bukan struktur yang lebih
dipersoalkan melainkan manusianya dan oleh karenanya bersifat reformatif.
Sementara itu, paradigma dan teori perubahan sosial kritik yang dibahas dalam
bab berikutnya dalam perspektif Freire dapat digolongkan dalam kesadaran
kritis dan merupakan proses perubahan sosial menuju lebih adil yang bersifat
transformatif.
Uraian pembagian peta paradigma yang dipinjam dari analisis Freire tersebut,
selain dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk memahami dan memetakan
teori-teori perubahan sosial dan teori-teori pembangunan, peta paradigma
tersebut juga sangat berpengaruh terhadap para praktisi pengembangan masyarakat
ataupun pemberdayaan masyarakat di akar rumput. Banyak praktisi pembangunan
dalam berhadapan maupun mengembangkan program-programnya di masyarakat
dipengaruhi oleh jenis kesadaran yang mendominasi pemikiran dan analisis para
praktisi sehingga sangat berpengaruh terhadap pendekatan maupun metodologi
program mereka. Para praktisi pengembangan masyarakat yang mengembangkan
program "pemberdayaan masyarakat", tetapi dalam melakukan analisis
terhadap "masalah kemiskinan" masyarakat bersandar pada analisis
kesadaran naif dan reformatif, akan melahirkan program yang berbeda dengan jika
mereka dipengaruhi oleh analisis yang bersandar pada kesadaran kritis untuk
transformasi sosial.
Paradigma-paradigma Sosiologi
Untuk lebih mempertajam pemahaman dan seluk-beluk peta paradigma yang dapat
digunakan untuk memahami teori-teori perubahan sosial dan teori pembangunan,
maka perIu juga kita memetakan secara lebih luas paradigma dalam ilmu
sosiologi. Untuk itu dalam bagian ini dikemukakan dan disajikan peta paradigma
sosiologi yang dikembangkan oleh Burnell dan Morgan (1979). Burnell dan Morgan
membuat suatu pemetaan paradigma sosiologi yang dapat membantu kita untuk
memahami 'cara pandang' berbagai aliran dan teori ilmu-ilmu sosial. Mereka
membantu memecahkan sumber utama keruwetan peta teori ilmu sosial dengan
mengajukan peta filsafat dan teori sosial.[10] Secara sederhana mereka mengelompokkan teori sosial ke dalam empat kunci
paradigma. Empat paradigma itu dibangun atas pandangan yang berbeda mengenai
dunia sosial. Masing-masing pendirian dalam kebenarannya dan melahirkan
analisis tentang kehidupan sosial. Sejak tahun 1960-an sesungguhnya telah
muncul berbagai aliran pemikiran sosiologi yang dalam perkembangannya justru
tidak membantu untuk memperjelas peta paradigma sosiologi. Namun pada awal
tahun 1970-an terjadi kebutuhan dalam perdebatan sosiologi mengenai sifat ilmu
sosial dan sifat masyarakat seperti halnya terjadi pada tahun 1960-an. Untuk
memecahkan kebuntuan itu mereka usulkan untuk menggunakan kembali unsur penting
dari perdebatan 1960-an, yakni cara baru dalam menganalisis empat paradigma sosiologi
yang berbeda. Empat paradigma itu ialah: Humanis Radikal, srukturalis
radikal, interpretatif dan Fungsionalis. Keempat paradigma itu satu dengan
yang lain memiliki pendirian masing-masing, karena memang memiliki dasar
pemikiran yang secara mendasar berbeda.
Sifat dan kegunaan empat paradigma tersebut adalah selain untuk memahami
dan menganalisis suatu praktik sosial, juga untuk memahami ideologi dibalik
suatu teori sosial. Paradigma sebagai anggapan-anggapan meta-teoretis yang
mendasar yang menentukan kerangka berpikir, asumsi dan cara bekerjanya teori
sosial yang menggunakannya. Di dalamnya tersirat kesamaan pandangan yang
mengikat sekelompok penganut teori mengenai cara pandang dan cara kerja dan
batas-batas pengertian yang sama pula. Jika ilmuwan sosial menggunakan paradigma
tertentu, berarti memandang dunia dalam satu cara yang tertentu pula. Peta yang
digunakan di sini adalah menempatkan empat pandangan yang berbeda mengenai
sifat ilmu sosial dan sifat masyarakat yang didasarkan pada anggapan-anggapan
meta-teoretis. Empat paradigma itu merupakan cara mengelompokkan kerangka
berpikir seseorang dalam suatu teori sosial dan merupakan alat untuk memahami
mengapa pandangan-pandangan dan teori-teori tertentu dapat lebih menampilkan
sentuhan pribadi dibanding yang lain. Demikian juga alat untuk memetakan
perjalanan pemikiran teori sosial seseorang terhadap persoalan sosial.
Perpindahan paradigma sangat dimungkinkan terjadi, dan hal ini sama bobotnya
dengan pindah agama. Misalnya, apa yang pernah terjadi pada Karl Marx yang dikenal
Marx tua dan Marx muda, yakni perpindahan dari humanis radikal ke strukturalis
radikal Perpindahan ini disebut epistemological break.
Paradigma Fungsionalis
Paradigma fungsionalisme sesungguhnya merupakan aliran pemikiran yang
paling banyak dianut di dunia. Pandangan fungsionalisme berakar kuat pada
tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan berakar pada
pemikiran kaum obyektivis. Pemikiran fungsionalisme sebenarnya merupakan
sosiologi kemapanan, ketertiban sosial, stabilitas sosial, kesepakatan,
keterpaduan sosial, kesetiakawanan, pemuasan kebutuhan, dan hal-hal yang nyata
(empirik). Oleh karenanya, kaum fungsionalis cenderung realis dalam
pendekatannya, positivis, deterministis dan nomotetis. Rasionalitas lebih
diutamakan dalam menjelaskan peristiwa atau realitas sosial. Paradigma ini juga
lebih berorientasi pragmatis, artinya berusaha melahirkan pengetahuan yang
dapat diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yang berupa
langkah-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga. Mereka lebih
mendasarkan pada "filsafat rekayasa sosial” (social engineering)
sebagai dasar bagi usaha perubahan sosial, serta menekankan pentingnya
cara-cara memelihara, mengendalikan atau mengontrol keteraturan, harmoni, serta
stabilitas sosial.
Paradigma ini pada dasamya berusaha menerapkan metode pendekatan
pengkajian masalah sosial dan kemanusiaan dengan cara yang digunakan ilmu alam
dalam memperlakukan objeknya. Paradigma ini dimulai di Prancis pada dasawarsa
pertama abad ke-19 karena pengaruh karya Comte, Spencer, Durkheim, dan Pareto.
Aliran ini berasal dari asumsi bahwa realitas sosial terbentuk oleh sejumlah
unsur empirik nyata dan hubungan antar semua unsur tersebut dapat dikenali,
dikaji, diukur dengan pendekatan dan menekankan alat seperti yang digunakan
dalam ilmu alam. Menggunakan kias ilmu mekanika dan biologi untuk menjelaskan
realitas sosial pada dasarnya adalah prinsip yang umumnya digunakan oleh aliran
ini. Namun demikian, sejak awal abad ke-20, mulai terjadi pergeseran, terutama
setelah dipengaruhi oleh tradisi pemikiran idealisme Jerman seperti pemikiran
Max Weber, Geroge Simmel dan George Herbet Mead. Sejak saat itu banyak kaum
fungsionalis mulai meninggalkan rumusan teoretis dari kaum objektivis dan mulai
bersentuhan dengan paradigma interpretatif yang lebih subjektif. Kias mekanika
dan biologi mulai bergeser melihat manusia atau masyarakat, suatu pergeseran
pandangan menuju para pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial.
Pada tahun 1940-an pemikiran sosiologi "perubahan radikal" mulai
menyusupi kubu kaum fungsionalis untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis.
Sungguhpun telah terjadi persentuhan dengan paradigma lain, paradigma
fungsonalis tetap saja secara mendasar menekankan pemikiran objektivisme dan
realitas sosial untuk menjelaskan keteraturan
sosial. Karena persentuhan dengan paradigma lain itu sebenarnya telah
lahir beragam pemikiran yang berbeda atau campuran dalam paham fungsionalis.
Paradigma Interpretatif (Fenomenologi)
Paradigma interpretatif sesungguhnya menganut pendirian sosiologi
keteraturan seperti halnya fungsionalisme, tetapi mereka menggunakan pendekatan
objektivisme dalam analisis sosialnya sehingga hubungan mereka dengan sosiologi
keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial menurut
apa adanya, yakni mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut
pandangan subjektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam
peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang mengamati.
Pendekatannya cenderung nominalis, antipositivis dan ideografis. Kenyataan
sosial muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang. Karenanya,
mereka berusaha menyelami jauh ke dalam kesadaran dan subjektivitas pribadi
manusia untuk menemukan pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial.
Sungguhpun demikian, anggapan-anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan
pada pandangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat, kemapanan,
kesepakatan, kesetiakawan. Pertentangan, penguasan, benturan sama sekali tidak
menjadi agenda kerja mereka. Mereka terpengaruh lansung oleh pemikiran sosial
kaum idealis Jerman yang berasal dari pemikiran Kant yang lebih menekankan
sifat hakikat rohaniah daripada kenyataan sosial. Perumus teori ini yakni
mereka yang penganut filsafat fenomenologi antara lain Dilttey, Weber, Husserl,
dan Schutz.
Paradigma Humanis Radikal
Para penganut humanis radikal pada dasamya berminat mengembangkan sosiologi
perubahan radikal dari pandangan subjektivis yakni berpijak pada kesadaran manusia.
Pendekatan terhadap ilmu sosial sama dengan kaum interpretatif yaitu
nominalis, antipositivis, volunteris dan ideografis. Kaum humanis radikal
cenderung menekankan perlunya menghilangkan atau mengatasi berbagai pembatasan
tatanan sosial yang ada. Namun demikian, pandangan dasar yang penting bagi
humanis radikal adalah bahwa kesadaran manusia telah dikuasai atau dibelenggu
oleh supra struktur idiologis di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara
dirinya dengan kesadarannya yang murni (alienasi), atau membuatnya dalam
kesadaran palsu (false consciousness) yang menghalanginya mencapai
pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati. Karena itu, agenda utamanya adalah
memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan
sosial yang menghambat perkembangan dirinya sebagai manusia. Penganutnya
mengecam kemapanan habis-habisan. Proses-proses sosial dilibat sebagai tidak
manusiawi. Untuk itu mereka ingin memecahkan masalah bagaimana manusia bisa
memutuskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang
mapan untuk mencapai harkat kemanusiaannya. Meskipun demikian, masalah-masalah
pertentangan struktural belum menjadi perhatian mereka Paulo Freire misalnya
dengan analisisnya mengenai tingkatan kesadaran manusia dan usaha untuk
melakukan "konsientisasi", yang pada dasarnya membangkitkan
kesadaran manusia akan sistem dan struktur penindasan, dapat dikategorikan
dalam paradigma humanis radikal.
Paradigma Strukturalis Radikal
Penganut paradigma strukturalis radikal seperti kaum humanis radikal
memperjuangkan perubahan sosial secara radikal tetapi dari sudut pandang
objektivisme. Pendekatan ilmiah yang mereka anut memiliki beberapa persamaan
dengan kaum fungsionalis, tetapi mempunyai tujuan akhir yang saling berlawanan.
Analisisnya lebih menekankan pada konflik struktural, bentuk-bentuk penguasaan
dan pemerosotan harkat kemanusiaan. Karenanya, pendekatannya cenderung realis,
positivis, determinis, dan nomotetis.
Kesadaran manusia yang bagi kaum humanis radikal penting, justru oleh
mereka dianggap tidak penting. Bagi kaum strukturalis radikal yang lebih
penting justru hubungan-hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan
sosial yang nyata. Mereka menekuni dasar-dasar hubungan sosial dalam rangka
menciptakan tatanan sosial baru secara menyeluruh. Penganut paradigma
strukturalis radikal terpecah dalam dua perhatian, pertama lebih tertarik pada
menjelaskan bahwa kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan
sosial. Sebagian mereka lebih tertarik pada keadaan penuh pertentangan dalam
suatu masyarakat.
Paradigma strukturalis radikal diilhami oleh pemikiran setelah terjadinya
perpecahan epistemologi dalam sejarah pemikiran Marx, di samping pengaruh
Weber. Paradigma inilah yang menjadi bibit lahirnya teori sosiologi radikal.
Penganutnya antara lain Luis Althusser, Polantzas, Colletti, dan beberapa
penganut kelompok kiri baru.
Diagram 2
Peta Analisis Sosial Barnel & Morgan (1979)
SUBYEKTIVIS
|
Keteraturan
Subyektivis
|
PARADIGMA
INTERPRETATIF
(FENOMENOLOGI)
|
PARADIGMA
FUNGSIONALISME
|
Keteraturan
Obyektivis
|
OBYEKTIVIS
|
Pertentangan
Subyektivis
|
PARADIGMA
HUMANIS
RADIKAL
|
PARADIGMA
STRUKTURALIS
RADIKAL
|
Pertentangan
Obyektivis
|
Catatan Kritis
Paradigma-paradigma sosiologi tersebut sangat mempengaruhi bagaimana
seorang pemikir sosial dalam mengembangkan teori sosial. Misalnya saja,
penganut paradigma interpretatif atau sosiologi fenomenologis akan
mengembangkan teori perubahan sosial yang sama sekali berbeda dengan penganut
fungsionalisme. Penganut aliran fenomenologis, karena dasar filsafatnya adalah
mencoba memahami dan mendengarkan kehendak masyarakat, maka perubahan sosial
lebih diutamakan ke arah yang dikehendaki oleh masyarakat tersebut. Berbagai
metodologi dikembangkan, seperti "etnografi" ataupun "riset
observasi", untuk menangkap dan memahami simbol-simbol kehendak
masyarakat.
Sementara bagi penganut fungsionalisme yang bersandarkan pada paradigma
positivisme, mereka merasa berhak untuk melakukan "rekayasa sosial"
sehingga akan berpengaruh ketika mereka berhadapan dengan masyarakat.
Masyarakat dalam proses perubahan sosial model positivisme dan rekayasa sosial,
ditempatkan sebagai "objek" perubahan. Oleh karenanya, mereka
diarahkan, dikontrol, direncanakan, serta dikonstruksi oleh kalangan ilmuwan,
birokrat, dan bahkan koordinator program LSM yang menganut paham positivisme
tersebut. Mereka memisahkan antara masyarakat sebagai objek perubahan, ilmuwan
dan peneliti atau bahkan tenaga lapangan sebagai tenaga-tenaga ilmiah yang
objektif, rasional, tidak memihak, dan bebas nilai, dan birokrat atau negara
dalam proses perubahan sosial berperan sebagai pengambil-pengambil keputusan.
Dengan demikian, proses perubahan sosial penganut paradigma ini, teori
perubahan sosialnya bersifat elitis. Demikian halnya, penganut paradigma
struktural akan memahami masalah sosial dan mengajukan teori perubahan sosial
yang berbeda dibanding teori yang diajukan para penganut fungsionalis maupun
fenomenologis. Bagi para penganut paradigma kritis transformatif, teori
perubahan sosial dimaksudkan sebagai proses yang melibatkan korban untuk
perubahan transformasi sistem dan struktur menuju ke sistem yang lebih adil.
Dengan demikian proses perubahan sosial berwatak subjektif, memihak, tidak
netral, dan untuk terciptanya keadilan sosial dan oleh karenanya berwatak
populis.
Dengan memahami berbagai peta paradigma perubahan sosial tersebut, akan
lebih mudah bagi kita untuk memahami apa motivasi dan dasar pikiran suatu teori
perubahan sosial dan pembangunan. Dengan memahami paradigma sosiologi yang
dianut oleh pencetusnya, kita juga dapat memahami berbagai metodologi dan
pendekatan proyek pembangunan maupun aksi sosial di akar rumput. Hal ini
karena, pada dasarnya, metodologi dan teknik program perubahan sosial maupun
pembangunan, serta teori-teori perubahan sosial yang dikembangkan oleh
seseorang atau suatu organisasi sangat konsisten dalam mengikuti paradigma yang
diyakini maupun yang dianutnya. Paradigma sosiologis yang dianut tidak saja
mempengaruhi bagaimana suatu teori sosial memberi makna terhadap realitas
sosial, tetapi juga mempengaruhi visi dan misi suatu teoti sosial, bahkan
mempengaruhi pula penentuan pendekatan ketika seseorang atau suatu organisasi
melakukan penelitian serta aksi praktik manajemen pelaksanaan suatu teori
sosial dalam bentuk program pengembangan masyarakat ataupun pembangunan, maupun
pilihan pendekatan evaluasi terhadap program tersebut.
BAGIAN II
Langkah Praxis Analisis Sosial
Apakah Analisa Sosial Itu?
Suatu
proses analisa sosial adalah usaha untuk mendapatkan gambaran yang lebih
lengkap tentang situasi sosial, hubungan-hubungan struktural, kultural dan
historis.
Sehingga
memungkinkan menangkap dan memahami realitas yang sedang dihadapi. Suatu analisis
pada dasarnya "mirip" dengan sebuah "penelitian akademis"
yang berusaha menyingkap suatu hal atau aspek tertentu. Dalam proses ini yang
dilakukan bukan sekedar mengumpulkan data, berita atau angka, melainkan
berusaha membongkar apa yang terjadi sesungguhnya, bahkan menjawab mengapa
demikian, dan menemukan pula faktor-faktor apa yang memberikan pengaruh kepada
kejadian tersebut. Lebih dari itu, analisis sosial, seyogyanya mampu memberikan
prediksi ke depan: kemungkinan apa yang tetjadi.
Analisa
sosial merupakan upaya untuk mengurai logika, nalar, struktur, atau kepentingan
dibalik sebuah fenomena sosial. Analisa sosial bukan semata deskripsi
sosiologis dari sebuah fenomena sosial. Analisa sosial hendak menangkap logika
struktural atau nalar dibalik sebuah gejala sosial. Analisa sosial dengan
demikian material, empiris, dan bukan sebaliknya, mistis, atau spiritualistik.
Analisa sosial menafsirkan gejala sosial sebagai gejala material. Kekuatan dan
gagasan ideologis dibalik gejala sosial harus dianalisa.
Wilayah Analisa Sosial
- Sistem-sistem yang beroperasi dalam suatu masyarakat.
- Dimensi-dimensi obyektif masyarakat (organisasi sosial, lembaga-lembaga sosial, pola perilaku, kekuatan-kekuatan sosial masyarakat)
- Dimensi-dimensi subyektif masyarakat (ideologi, nalar, kesadaran, logika berpikir, nilai, norma, yang hidup di masyarakat).
Pendekatan Dalam Analisa Sosial
- Historis: dengan mempertimbangkan konteks struktur yang saling berlainan dari periode-periode berbeda, dan tugas strategis yang berbeda dalam tiap periode.
- Struktural: dengan menekankan pentingnya pengertian tentang bagaimana masyarakat dihasilkan dan dioperasikan, serta bagaimana pola lembaga-lembaga sosial saling berkaitan dalam ruang sosial yang ada.
Bagaimana Hasil
Analisa Sosial?
Apakah
hasil kesimpulan dari analisa sosial bersifat final? tentu saja tidak.
Karena hasil dari
analisa tersebut dapat dikatakan hanya merupakan kebenaran tentatif, yang bisa
berubah sesuatu dengan fakta atau data dan temuan-temuan yang baru.
Dengan demikian,
analisa ini bersifat dinamis, terus bergerak, memperbarui diri, dikaji ulang
dan terus harus diperkuat dengan fakta-fakta pendukung.
Hasil analisa bukan
suatu dogma, atau sejenis kebenaran tunggal.
Batas Analisa Sosial
- Analisa sosial bukanlah kegiatan monopoli intelektual, akademisi, atau peneliti. Siapapun dapat melakukan analisa sosial.
- Analisa sosial tidaklah bebas nilai.
- Analisa sosial memungkinkan kita bergulat dengan asumsi-asumsi kita, mengkritik, dan menghasilkan pandangan-pandangan baru.
Siapa Pelaku Analisa Sosial?
Semua
pihak atau pelaku sosial yang menghendaki untuk mendekati dan terlibat langsung
dengan realitas sosial. Bicara tentang analisis sosial, pada umumnya selalu
dikaitkan dengan dunia akademik, kaum cendikiawan, ilmuwan atau kalangan
terpelajar lainnya. Ada kesan yang sangat kuat bahwa anaIisis sosial hanya
milik "mereka". Masyarakat awam tidak punya hak untuk melakukannya.
Bahkan kalau melakukan, maka disediakan mekanisme sedemikian rupa, sehingga
hasil analisis awam itu dimentahkan.
Pemahaman
yang demikian, bukan saja keliru, melainkan mengandung maksud-maksud tertentu
yang tidak sehat dan penuh dengan kepentingan. Pengembangan analisis sosial di
sini, justru ingin membuka sekat atau dinding pemisah itu, dan memberikatmya
kesempatan kepada siapapun untuk melakukannya. Malahan mereka yang paling
dekat dengan suatu kejadian, tentu akan merupakan pihak yang paling kaya dengan
data dan informasi. Justru analisis yang dilakukan oleh mereka yang dekat dan
terlibat tersebut akan lebih berpeluang mendekati kebenaran. Dengan demikian,
tanpa memberikan kemampuan yang cukup kepada masyarakat luas untuk melakukan
analisis terhadap apa yang terjadi di lingkungan mereka, atau apa yang mereka
alami, maka mereka menjadi sangat mudah "dimanipulasi", "dibuat
bergantung" dan pada gilirannya tidak bisa mengambil sikap yang tepat.
Mengapa
Gerakan Sosial Membutuhkan Analisa Sosial ?
Kalau kita pahami
secara lebih mendalam, aktivitas sosial adalah sebuah proses penyadaran
masyarakat dari suatu kondisi tertentu kepada kondisi yang lain yang lebih baik
(baca: kesadaran kritis) Kalau kita menggunakan isti1ah yang lebih populer,
aktivitas semacam itu bisa juga disebut sebagai aktivitas pemberdayaan (Empowerment) untuk suatu entitas atau komunitas masyarakat tertentu. Dari statemen
tersebut, maka akan termuat suatu makna bahwa sebenarnya kesadaran kritis atas
realitas sosial ini pada dasarnya ada pada setiap diri manusia. Hanya saja
tingkat kesadaran kritis pada masing-masing orang itu kadarnya berbeda-beda.
Dan aktivitas sosial adalah alat untuk menyadarkan atau memotivasi bagi
munculnya kesadaran tersebut. Meskipun, sebagaimana kita ketahui, bahwa
membangun kesadaran kritis atas realitas sosial itu tidaklah semudah membalik
tangan, karena kesadaran itu dilingkupi oleh persoalan-persoalan (sosial dan
sebagainya), yang senantiasa membelenggunya. Kalau kita gambarkan, maka
persoalan yang melingkupi kesadaran kritis akan realitas sosial itu adalah sebagai
berikut:
Diagram 3
Peta Aktivitas Analisis Sosial, H.A. Taufiqurrahman (1999)
Aktivitas Sosial
Aktivitas Non-Sosial
A: Kesadaran
Kritis
Out-put: Aktivis
Gerakan Sosial yang Kritis akan Realitas Sosial
Oleh karena itu, untuk
masuk pada titik sentral kesadaran kritis atas realitas sosial sebagaimana
dimaksud dalam gerakan sosial di atas, maka tidak mungkin untuk tidak
membongkar, mengurai dan menganalisa persoalan-persoalan yang ada disekitarnya.
Pada konteks inilah kompetensi analisis sosial dalam gerakan sosial.
Signifikansi
Analisa Sosial
- Untuk mengidentifikasikan dan memahami persoalan-persoalan yang berkembang (ada) secara lebih mendalam dan seksama (teliti); berguna untuk membedakan mana akar masalah (persoalan mendasar) dan mana yang bukan, atau mana yang merupakan masalah turunan.
- Akan dapat dipakai untuk mengetahui potensi yang ada (kekuatan dan kelemahan) yang hidup dalam masyarakat.
- Dapat mengetahui dengan lebih baik (akurat) mana kelompok masyarakat yang paling dirugikan (termasuk menjawab mengapa demikian).
- Dari hasil analisa sosial tersebut dapat proyeksikan apa yang mungkin akan terjadi, sehingga dengan demikian dapat pula diperkirakan apa yang harus dilakukan.
Orientasi Analisa Sosial
- Analisa sosial jelas didedikasikan dan diorientasikan untuk keperluan perubahan.
- Analisa sosial adalah watak mengubah yang dihidupkan dalam proses identifikasi. Justru karena itu pula, maka menjadi jelas bahwa analisa sosial merupakan salah satu titik simpul dari proses mendorong perubahan.
- Analisa sosial akan menghasilkan semacam peta yang memberikan arahan dan dasar bagi usaha-usaha perubahan.
Prinsip-Prinsip
Analisa Sosial
- Analisa sosial bukan suatu bentuk pemecahan masalah, melainkan hanya diagnosis (pencarian akar masalah), yang sangat mungkin digunakan dalam menyelesaikan suatu masalah, karena analisa sosial memberikan pengetahuan yang lengkap, sehingga diharapkan keputusan atau tindakan yang diambil dapat merupakan pemecahan yang tepat.
- Analisa sosial tidak bersifat netral, selalu berasal dari keberpihakan terhadap suatu keyakinan. Soal ini berkait dengan perspektif, asumsi-asumsi dasar dan sikap yang diambil dalam proses melakukan analisa. Karena pernyataan di atas, maka analisa sosial dapat digunakan oleh siapapun.
- Analisa sosial lebih memiliki kecenderungan mengubah; tendensi untuk menggunakan gambaran yang diperoleh dari analisa sosial bagi keperluan tindakan-tindakan mengubah, maka menjadi sangat jelas bahwa analisa sosial berposisi sebagai salah satu simpul dan siklus kerja transformasi.
- Analisa sosial selalu menggunakan ‘tindakan manusia’ sebagai sentral atau pusat dalam melihat suatu fenomena nyata.
Tahap-Tahap Analisa Sosial
- Tahap menetapkan posisi, orientasi: pada intinya dalam tahap ini, pelaku analisa perIu mempertegas dan menyingkap motif serta argumen (ideologis) dari tindakan analisa sosial.
- Tahap pengumpulan dan penyusunan data: tujuan dan maksud dari tahap ini, agar analisa memiliki dasar rasionalitas yang dapat diterima akal sehat. Ujung dari pengumpulan data ini adalah suatu upaya untuk merangkai data, dan menyusunnya menjadi diskripsi tentang suatu persoalan.
- Tahap analisa: pada tahap ini, data yang telah terkumpul diupayakan untuk dicari atau ditemukan hubungan diantaranya.
Diagram 4
Peta Proses Analisis Sosial, H.A. Taufiqurrahman (1999)
|
|
|
|
|
|
|
|
Apa
Yang Penting Ditelaah dalam Melakukan Analisa Sosial
- Kaitan Historitas (Sejarah Masyarakat).
- Kaitan Struktur.
- Nilai.
- Reaksi yang berkembang dan arah masa depan.
Model Telaah dalam Analisa Sosial
- Telaah Historis, dimaksudkan untuk melihat ke belakang. Asumsi dasar dari telaah ini bahwa suatu peristiwa tidak dengan begitu saja hadir, melainkan melalui sebuah proses sejarah. Dengan ini, maka kejadian, atau peristiwa dapat diletakkan dalam kerangka masa lalu, masa kini dan masa depan.
- Telaah Struktur. Biasanya orang enggan dan cemas melakukan telaah ini, terutama oleh stigmatisasi tertentu. Analisa ini sangat tajam dalam melihat apa yang ada, dan mempersoalkan apa yang mungkin tidak berarti digugat. Struktur yang akan dilihat adalah: ekonomi (distribusi sumberdaya); politik (bagaimana kekuasaan dijalankan); sosial (bagaimana masyarakat mengatur hubungan di luar politik dan ekonomi); dan budaya (bagaimana masyarakat mengatur nilai).
- Telaah Nilai. Penting pula untuk diketahui tentang apa nilai-nilai yang dominan dalam masyarakat. Mengapa demikian. Dan siapa yang berkepetingan dengan pengembangan nilai-nilai tersebut.
- Telaah Reaksi. Melihat reaksi yang berkembang berarti mempersoalkan mengenai siapa yang lebih merupakan atau pihak mana yang sudah bereaksi, mengapa reaksi muncul dan bagaimana bentuknya. Telaah ini penting untuk menuntun kepada pemahaman mengenai "peta" kekuatan yang bekerja.
- Telaah Masa Depan. Tahap ini lebih merupakan usaha untuk memperkirakan atau meramalkan, apa yang terjadi selanjutnya. Kemampuan untuk memberikan prediksi (ramalan) akan dapat menjadi indikasi mengenai kualitas tahap-tahap sebelumnya.
Diagram 5
Peta Kerangka Pikir
Analisas Sosial
Paradigma
Konsensus
|
Paradigma
Konflik
|
||
Konservatif
|
Liberal
|
Konflik/
Transformis
|
|
Dalam
masyarakat ada kelas-kelas sosial, dan ada kerukunan kelas
|
Ada
kelas sosial, ada konlik antar-kelas
|
||
Struktur sosial merupakan hasil konsensus antar
anggota masyarakat, struktur sosial tidak pernah dipemasalahkan, bahkan
dipertahankan
|
Struktur
sosial adalah hasil konstruksi kelas sosial tertentu, yang dipaksakan untuk
ditaati oleh masyarakat. Struktur
sosial selalu dipermasalahkan
|
||
Akar
pemasalahan terletak pada manusia itu sendiri, atau karena sesuatu kekuatan
suprasejarah
|
Akar
permasalahan terletak pada kesenjangan kesadaran, kurangnya kesempatan,
kurangnya keterampilan, kesempatan, dan lainnya.
|
Akar
permasalahan berakar pada struktur sosial yang tidak adil, menindas.
|
|
Meringankan
beban korban
|
Modernisasi
sosial
|
Mentransformasikan
struktur yang tidak adil ke struktur yang adil
|
|
Pembagian
sembako, bakti sosial, pengobatan gratis, khotbah, bantuan untuk kelaparan,
pelayanan kaum cacat, himbauan moral, dan lainnya
|
Pelatihan,
kurus, pembangunan infrastruktur
|
Pengorganisiran
masyarakat, pendidikan politik, gerakan sosial, advokasi kebijakan,gerakan
massa, pemogokan, pemboikotan,
gagasan-gagasan sosial dan struktur alternatif
|
|
Masyarakat
itu sendiri
|
Kaum
elite, pemerintah, agamawan, LSM, dan lainnya
|
Masyarakat
dan kepemimpinan perubahan/gerakan
|
|
Otoritas
|
Instruktif,
konsultatif
|
Delegatif,
kepemanduan, trasnformatif
|
|
Kasinh
sayang, menolong orang miskin, kepedulian, rasa kemanusiaan
|
Persamaan
hak dan kesempatan
|
Kesadaran
struktural
|
|
Karitatif
|
Reformatif
|
Transformatif
|
|
Diagram 6
Model-Model Perubahan
dan Implikasinya
Implikasi
|
Model
EKonomi
|
Model
Sosial
|
Model
Politik
|
Ekonomi
|
Akumulasi
kapital/kapitalisasi
|
(Re)Distribusi
|
Transformasi
struktural
|
Politik
|
Stabilitas
|
Bantuan
|
Mobilisasi/trasnformasi
politik
|
Kebudayaan
|
Pertumbuhan
|
Kesamaan
|
Trasnformasi
kultural/Imajinasi
|
Transformasi
|
Pertumbuhan
infrastruktur
|
Penguatan
daya beli
|
Struktural
|
Missi
|
Panggilan
kelas menengah
|
Bekerja
dengan masyarakat marjinal
|
Mendorong
trasnformasi struktural dalam semua level
|
Pendidikan
|
Peningkatan
infrastruktur sekolah
|
Pemberian
atau pencarian beasiswa
|
Akses
struktural Pendidikan
|
Diagram 7
Model Perubahan
Interpretatif
Variabel
|
Tradisional
|
Liberal
|
Radikal
|
Pandangan
waktu
|
Siklis
|
evolusioner
|
Transformatif
|
Pandangan
ruang
|
organis
|
pluralis
|
Interdependen
|
Prinsip
pengatur
|
Otoritarian/ketertiban
|
Managerial/
Keseimbangan
|
Partisipatif/masyarakat
|
Perubahan
utama
|
Biologis/
Tubuh
|
mekanistik
|
Transformasional
|
Sikap
terhadap konflik
|
Menyerap
atau menolak
|
Mengawasi
|
Mengelola
konflik
|
Keterangan:
Tradisional
1.
Siklis:
kepingan-kepingan episode (maa lalu, kini, masa depan) dintegrasikan dalam
keseluruhan sejaah
2.
Organis: hanya ada
susunan tunggal yang diatur sesuai kepentingan umum
3.
Otoritarian:
masyarakat dipandang seperti piramida yang dikendalikan dari puncak dengan
sedikit partisipasi bawah
4.
Biologis: masyarakat
dipandang seperti organisme yang analog dengan tubuh manusia
5.
Menyimpang: perubahan
yang mengubah siklus sejarah dianggap menyimpang
Liberal
1.
Evolusioner:
perkembangan sejarah bersifat linear. Gerak sejarah bukan siklis, tapi kemajuan/progresif
2.
Pluralis: ruang
sosial disusun berdaasarkan berbagai macam bagian yang tidak terpisah dan tak
berhubungan
3.
Manajerial: menjaga
keseimbangan semua unsur atau bagian
4.
Mekanistik:
masyarakat dipandang sebagai mesin yang bekerja
5.
Pengawasan: perubahan
sosial merupakan kehendak sejarah, namun tidak mengubah struktur dasar yang
mendasarinya. Perubahan selalu diawasi agar tidak menyimpang
Transformatif
1.
Transformatif: setiap
peristiwa sejaah dipandang secara fundamental menimbulkan tahapan baru, masa
lalu, sekarang, dan masa depan, terkait secara dialektik
2.
Interdependen:
masyarakat dianggap sebagai keseluruhan sistem yang kreatif, dialektik.
3.
Partisipasi:
kepentingan umum merupakan input masyarakat, hasil definisi masyarakat
4.
Transformasi
kultural: masyarakat terbentuk secara kreatif melalui dialog maupun cita-cita
utopis anggotanya.
5.
Kreatif: konflik
merupakan penggerak sejarah, dan kemajuan.
Tahap Penarikan Kesimpulan Analisa Sosial
Pada tahap ini, setelah berbagai aspek tersebut ditemukan, maka pada
akhirnya suatu kesimpulan akan diambil; kesimpulan merupakan gambaran utuh dari
suatu situasi, yang didasarkan kepada hasil analisa. Dengan demikian kualitas
kesimpulan sangat bergantung dari proses tahap-tahap analisa, juga tergantung
pada kompleksitas isu, kekayaan data dan akurasi data yang tersedia, ketepatan
pertanyaan atau rumusan terhadap masalah, dan kriteria yang mempengaruhi
penilaian-penilaian alas unsur-unsur akar masalah.
Dasar
Penarikan Kesimpulan Analisa Sosial
Yang tidak kalah penting adalah menemukan apa yang menjadi akar masalah.
Untuk menemukan akar masalah dapat dituntun dengan pertanyaan: mengapa? Untuk sampai kepada akar masalah, maka penting dilakukan
kualifikasi secara ketat, guna menentukan faktor mana yang paling penting.
Kesimpulan tidak lain berbicara mengenai faktor apa yang memberikan pengaruh paling
dominan (paling kuat) dan demi kepentingan siapa unsur akar tersebut bekerja.
Sebagaimana diungkapkan di depan, kesimpulan tidak menjadi sesuatu yang final,
melainkan akan mungkin diperbaiki menurut temuan-temuan atau data baru.
BAGIAN III
Pengorganisasian
Masyarakat
Proses membangun organisasi masyarakat
disebut pngorganisasian masyarakat . Pengorganisasian dalam
masyarakat mungkin bagi sebagian warga
merupakan istilah yang baru, tetapi konsep ini sudah dikenal luas di kalangan
organisasi umum yang lain. Pengorganisasian bisa menjadi kebutuhan ketika
realitas kehidupan sosial masyarakat
sudah berkembang sedemikian kompleksnya, sehingga sebuah usaha tidak
bisa dilakukan secara individual lagi (warga-perwargaan) melainkan harus menjadi
usaha bersama dalam bentuk kelompok. Dengan demikian, pada pengertian yang
paling sederhana, Konsep serba bersama ini merupakan batas pembeda antara upaya
pengorganisasian masyarakat dengan
upaya perwargaan maupun strategi menyerahkan segala sesuatunya pada pemimpin
yang sudah pasti dilakukan secara individual. Dalam membangun organisasi
masyarakat ada beberapa penekanan dan
pemisahan secara manajemen pengorganisasiannya. Pemisahan manajemen pengorganisasian
ditujukan untuk mengahadapi permasalahan-permasalahan yang muncul di tingkatan
masyarakat . Permasalahan yang muncul bisa dibedakan dalam dua hal, secara
internal dan eksternal. Begitu pula cara membangun organisasi masyarakat dengan
internal dan eksternal dengan harapan organisasi mampu mengatasi dua persoalan
ini secara baik.
Landasan &
Tujuan pengorganisasian
§ Landasan Pengorganisasian
Landasan filosofis dari kebutuhan untuk membangun organisasi adalah membangun
kepentigan secara bersama–sama pada seluruh masyarakat, karena masyarakat sendiri yang seharusnya berdaya dan menjadi
penentu dalam melakukan perubahan sosial. Perubahan sosial yang dimaksud adalah
perubahan yang mendasar dari kondisi ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan.
Dalam konteks masyarakat, perubahan sosial juga menyangkut multidemensional.
Dalam demensi ekonomi seringkali ‘dimimpikan’ terbentuknya kesejahteraan
dan keadilan sosial bagi seluruh warga masyarakat . Dalam segi politik selalu
diinginkan keleluasaan dan kebebasan bagi masyarakat untuk berpartisipasi, berkompetisi serta
diakui hak-hak sipil dan politiknya. Sedangkan dalam sisi budaya, dirasakan ada
keinginan untuk mengekspresikan kearifan kebudayaan lokal. Landasan filosofis
pengorganisasian lainnya adalah melakukan adalah pemberdayaan. Karena
pada dasarnya masyarakat sendiri
yang seharusnya berdaya dan menjadi penentu dalam melakukan perubahan sosial.
Pengorganisasian masyarakat bertujuan agar masyarakat menjadi penggagas,
pemrakarsa, pendiri, penggerak utama sekaligus penentu dan pengendali
kegiatan-kegiatan perubahan sosial yang ada dalam organisasi masyarakat .
§ Tujuan Pengorganisasian
Pengorganisasian dalam sebuah organisasi masyarakat ditujukan untuk membangun dan mengembangkan
organisasi. Pengorganisasian mempunyai peranan yang luar biasa bagi organisasi
secara internal dan eksternal. Secara internal tujuan pengorganisasian adalah
membangun organisasi masyarakat. Secara eksternal tujuan pengorganisasian
adalah membangun jaringan antar organisasi masyarakat untuk menghadapi masalah–masalah bersama atau
lebih ditujukan untuk membangun kekuatan bersama yang lebih besar lagi. Selain
itu, tujuan pengorganisasian adalah mnyelesaikan konflik–konflik atau masalah
masalah yang terjadi di tengah warga masyarakat
yang setiap saat muncul dan harus segera diselesaikan untuk menuju
perubahan sosial yang lebih baik.
Manfaat Melakukan Pengorganisasian
Mengorganisir diri punya manfaat janorganisir diri punya manfaat janalam jangka
pendek, mengorganisir diri adalah suatu alat effektif untuk membuat sesuatu
terlaksana; memperbaiki pelayanan pada masyarakat, termasuk pelayanan dalam
bidang ekonomi (modal-teknologi), menurunkan beban pajak, memastika jaminan
lapangan kerja, perubahan kebijakan di tingkat masyarakat atau di luar, memperbaiki pelayanan angkutan
umum dan kesehatan, melindungi lingkungan hidup dan alam sekitarnya, serta
sebagainya. Intinya, banyak diantara masalah keseharian yang kita hadapi saat
ini dapat dipecahkan dan dirubah dengan cara mengorganisir diri.
Mengorgansir diri juga punya manfaat jangka panjang yang mungkin
jauh lebih penting. Melalui proses-proses pengorganisasian, masyarakat bisa belajar sesuatu yang baru tentang diri
sendiri. Masyarakat akan menemukan bahwa
harga diri dan martabat mereka selama ini selalu diabaikan dan diperdayakan.
Dengan pengorganisasian, masyarakat, warga dapat menemukan bahwa kehormatan dan
kedaulatan mereka selama ini justru tidak dihargai karena ketiadaan
kepercayaan diri di antara warga masyarakat
sendiri. Warga masyarakat dengan demikian akan mulai belajar bagaimana
caranya mendayagunakan semua potensi, kemampuan dan ketrampilan yang mereka
miliki dalam proses-proses pengorganisasian; bagiamana bekerja bersama dengan
warga lain, menyatakan pendapat dan sikap mereka secara terbuka, mempengaruhi
kebijakan resmi, menghadapi lawan atau musuh bersama. Akhirnya, melalui
pengorganisasian, masyarakat mulai
mengenal dan menemukan diri mereka sendiri. Warga masyarakat akan bisa menemukan siapa mereka sebenarnya
selama ini, berasal dari mana, seperti apa latar belakang mereka, sejarah
mereka, cikal-bakal mereka, akar budaya mereka serta kepentingan bersama
mereka. Warga masyarakat akan menemukan
kembali sesuatu yang bermakna dalam lingkungan keluarga mereka, kelompok suku
atau bahasa asal mereka yang memberi mereka kembali martabat dan kekuatan baru.
Kerja Pengorganisasian
(Pengorganisiran)
Salah satu kerja penting dari pengorganisasian adalah pengorganisiran. Hal
menakjubkan dalam keseluruhan proses mengorganisir adalah tenyata hal itu dapat
dilakukan oleh siapa saja. Pengorganisiran seringkali dikesankan sulit atau
bahkan musykil. Tetapi dalam kenyataannnya, mengorganisir adalah suatu proses
yang sebenarnya tidak ruwet. Itu tergantungan pada ketrampilan dasar
yang sebagian besarnya sebenarnya sudah dimiliki oleh masyarakat dalam kadar yang sama dan memadai. Salah stau
contoh yang cukup relevan dengan hal ini adalah ketrampilan sehari-hari
untuk hidup bersama yang sudah dimiliki oleh masyarakat . Pelembagaan kerja
bersama sudah terwujudkan ke dalam berbagai macam kerja organisasi asli seperti “upacara ”, “gotong–royong”, dan
sebagian. Memang tidak ada resep serba jadi dalam proses pengorganisiran, ada
beberapa langkah tertentu yang perlu dilakukan dalam keadaan tertentu pula. Tetapi
semua langkah itu sebenarnya sederhana dan mudah dipelajari oleh warga
sekalipun. Dengan demikian, semua warga dapat mengorganisir. Semua warga
dapat belajar tentang asas-asas pengorganisasian. Tidak ada yang lebih hebat
dibandingkan dengan yang lain.
Mengapa Warga Mengorganisir Diri atau Menolak untuk itu?
Warga-warga masyarakat mengorganisir
diri karena beberapa alasan yang mungkin berbeda. Adakalanya diperlukan
pendekatan agar alasan yang beragam itu bisa dijadikan satu landasan untuk
menghimpun diri bersama-sama. Dengan demikian salah satu landasan awal dari
upaya mengorganisir diri adalah tersedianya landasan bersama (common
platform), baik berupa nilai, institusi dan mekanisme bersama. Misalnya,
pengorganisasian harus jelas visi dan misi yang ingin dicapai dari upaya
pengorganisasian itu. Visi dan Misi itulah kemudian diturunkan ke dalam
strategi dan program yang bisa menjawab kebutuhan anggota secara lebih jelas.
Mengapa sebagian warga tidak mengorganisir diri? Tidak semua warga yang mempunyai masalah lantas mengorganisir diri.
Beberapa warga akan tetap berkutat mencoba menyelesaikannya sendirian,
meskipun sudah terbukti berkali-kali gagal atau kurang berhasil. Ada banyak
alasan mengapa warga menolak berhimpun dengan warga lain: ada sebagin warga
pengorganisasian merupakan hal baru, merasa cemas karena akan dimintai sesuatu
atau melakukan sesuatu yang mereka yakini belum pasti, takut dimintai
pertanggungjawaban atau menyatakan pendapatnya di depan umum. Alasan lain
adalah takut pada apa yang bakal terjadi jika pengorganisasi itu nanti sudah
berjalan, mereka akan mendapatkan tantangan, rintangan ataupun akibat-akibat
lain yang dirasakan memberatkan. Karena alasan-alasan tersebut di atas
menyebabkan banyak warga lebih memilih untuk menggunakan cara-cara
pemecahan persoalan secara perwargaan, terhadap banyak persoalan yang sebnarnya
dirasakan oleh banyak warga.
Dimana melakukan Kerja–Kerja Pengorganisasian
Tempat terbaik untuk untuk memulai suatu pengorganisasian adalah
suatu pengorganisasian adalah
berada, dengan warga-warga yang ada di sekitar anda, tentang masalah
yang memang oleh warga diprihatinkan bersama, tentang sesuatu yang oleh warga
masyarakat menginginkan terjadi
perubahan atasnya. Mulailah dengan bekerja dan hidup bersama warga, warga
masyarakat seperti anda juga, mereka
yang membagi minat dan perhatian yang sama dengan anda dan yang lainnya. Pengorganisasian
tidak perlu merupakan sesuatu yang serba besar pada awal mulanya, jika ingin
berhasil. Pengorganisasian bisa dimulai dari sebuah kelompok yang kecil.
Apa yang harus Kita Kerjakan dalam Pengorganisasian ?
Langkah Pertama, salah satu yang bisa dilakukan adalah mempelajari
situasi sosial kemasyarakatan di
masing-masing. sebagai entitas
politik, ekonomi bisa dipilah berdasarkan kategori; region (dusun), profesi
(petani-pengrajin-pengusaha), ataupun kekerabatan (trah). Di sebuah
masyarakat yang meletakkan konteks
kewilayahan sebagai sesuatu yang penting, maka pengorganisasian bisa
menggunakan pemilihan regional yang berbasisikan dusun. Demikianpula apabila,
basis pengorganisasian lebih tepat menggunakan kreteri profesi maka strategi
yang dipilih bisa menyesuaikan dengan keadaan sosial tersebut.
Langkah Kedua, pengorganisasian juga seharusnya memperhatikan titik
masuk institusional (kelembagaan). Pertanyaan yang relevan adalah apakah upaya
pengorganisasian dilakukan dengan menggunakan lembaga-lembaga yang sudah ada,
seperti kelompok masyarakat , assosiasi lembaga ekonomi atau lembaga lain resmi yang seringkali dalam
pembentukannya ‘dibidani’ oleh pemerintah. Atau upaya pengorganisasian
dilakukan dengan membentuk wadah baru sama sekali. Tentu saja kedua jalan itu
mempunyai sejumlah kelebihan dan kelemahan. Kelebihan penggunaan lembaga yang
sudah ada adalah relatif tersedianya prasarana dan sarana bagi kerja-kerja
pengorganisasian. Kelamahan jalan ini adalah bentuknya yang sangat kaku karena diin
dari atas. Sedangkan jalan pembentukan wadah baru mempunyai kelebihan
karena relatif lebih mandiri dan partispatif namun mempunyai kelemahan yang
bersumber dari belum terlembaganya mekanisme organisasi sehingga bersifat trial
and error.
Langkah Ketiga, melakukan dan memperkuat kerja-kerja basis. Yang
dimaksud dengan kerja-kerja basis adalah kerja-kerja yang dilakukan oleh
kelompok inti (yang mengorganisir diri terus menerus) secara internal berupa;
1. Upaya membangun basis warga masyarakat (melakukan
rekruitmen dan pendekatan pada komunitas yang senasib agar mau bergabung dalam
pengorganisasian).
2. Pendidikan pada anggota mengenai visi, misi, dan
kepentingan bersama dari organisasi masyarakat .
3. Merumuskan strategi untuk memperjuangkan kepentingan
bersama organisasi masyarakat .
Membangun Jaringan
Untuk mencapai tujuan bersama, sebuah pengorganisasian memerlukan
keterlibatan banyak pihak dengan berbagai spesifikasi yang berbeda dalam suatu
koordinasi yang terpadu dan sistematis. Tidak ada satupun organisasi yang
mampu mencapi tujuannya tanpa bantuan dari pihak-pihak lain yang juga mempunyai
perhatian dan kepentingan yang sama. Semakin banyak warga masyarakat
/organisasi menyuarakan hal yang sama
maka, semakin kuat kepercayaan bagi timbulnya perubahan yang diinginkan. Hal
ini secara sederhana disebut sebagai kebutuhan untuk membangun jaringan.
Secara garis besarnya kerja-kerja jaringan dapat dipilah menjadi tiga
bentuk:
1. Kerja Basis. Kerja basis merupakan
kerja yang dilakukan oleh kelompok inti (pengorganisir) dengan melakukan
langkah-langkah; membangun basis masa, pendidikan dan perumusan strategi.
2. Kerja Pendukung. Kerja pendukung ini dilakukan oleh kelompok-kelompok
sekutu yang menyediakan jaringan dana, logistik, informasi data dan
akses. Kelompok sekutu bisa berasal dari kalangan LSM, kelompok intelektual/
akademisi, Lembaga pendana (donor) dan kelompok-kelompok masyarakat yang
mempunyai komitmen terhadap persoalan yang diperjuangkan.
3.
Kerja Garis Depan. Kerja garis depan dilakukan terutama berkaitan dengan
advokasi kebijakan, mobilisasi massa, mempeluas jaringan sekutu, lobbi dan
melaksanakan fungsi juru runding. Kerja-kerja garis depan bisa dilakukan oleh
kelompok organisasi/invidual yang memiliki keahlian & ketrampilan tentang
hal ini.
4.
Dengan pembagian
tugas maka akan terbentuk jaringan yang terdiri dari individu dan kelompok yang
bersedia membantu warga dalam melakukan
perubahan sosial, baik melalui strategi advokasi, maupun penguatan komunitas basis.
Akhirnya, pembangunan jaringan merupakan salah satu cara untuk menambah
“kawan”, sekaligus mengurangi “lawan” dalam memperjuangkan perubahan yang
diinginkan.
[1] Mansour Faqih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Insist Press, Cet. I., 2001) h. 17-43.
[2] Lihat:
Michael Quin Patton, Alternative Evaluation Research Paradigm. Grand
Forks: University North Dakota, 1970.
[3] Definisi
ini meminjam uraian Popkewitz. Lihat Popkewitz, Thomas. Paradigm and
Ideology in Educational Research. New York: Palmer Press, 1984.
[4] Thomas
Khun (1970) dikenal orang pertama yang membuat terkenal istilah paradigma. Ia tertarik pada perkembangan dan revolusi ilmu pengetahuan, dengan menganalisis
hubungan antara berbagai paradigma dan penelitian ilmiah. Untuk
uraian mengenai paradigma lihat: Thomas Kuhn. The Structures of Scientific
Revolutions. Chicago: The University of Chicago Press, 1970.
[5] Lihat
Ritzer, "Sociology: A Multiple Paradigm Science" dalam Jumal
The American Sociologist No. 10, 1975. hal: 156-157.
[6] Pertanyaan
ini kami adaptasi dan pinjam dari Becker, yang membahas tentang pilihan-pilihan
dalam paradigma dan teori penelitian. Lihat tulisan Becker, "Whose side
are we on? dalam buku yang di edit oleh W.J. Fisltead (Ed.). Qualitative
Methodology Chicago: Markham, 1970.
[7] Paulo
Freire, Pedagogy of the Oppressed. New York: Praeger, 1986.
[8] Lihat
Smith, Themaning of Conscientacao: The Goal of Paulo Freire's Pedagogy
Amherst: Center for International Education, UMASS, 1976.
[9] Pemikiran yang bisa dikategorikan dalam analisis ini adalah para penganut
modernisasi dan developmentalisme. Paham modernisasi selanjutnya menjadi
aliran yang dominan dalam ilmu-i1mu sosial. Misalnya saja dalam antropologi,
pikiran Kuncaraningrat tentang budaya pembangunan sangat berpengaruh bagi
kalangan akademik dan birokrat. Paham modernisasi juga 'berpengaruh'
dalam pemikiran Islam di Indonesia. Adanya yang salah dalam teologi fatalistik
yang dianut umat Islam dianggap sebagai penyebab keterbelakangan. Asumsi itu
dianut oleh kaum modemis sejak Muhammad Abduh atau Jamaluddin Afgani sampai
kelompok pembaharu saat ini seperti Nurcholish Madjid c.s. Lihat: Dr. Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta; Bulan Bintang, 1978. serta
majalah ulasan tentang "Gerakan Pembaharuan Islam" dalam Ulumul
Quran tahun 1993.
[10] Burnell &
Morgan, Sociological Paradigms & Organizational Analysis London:
Heinemann, 1979.
Mas.... saya sangat membutuhkan tulisan ini. kalau tidak keberatan, saya minta diemailkan soft copy-nya ke : thunks.fatikhun@gmail.com atau muhammadfatikhun@gmail.com atau muhammadfatikhun@yahoo.com
BalasHapusterimaa kasih sebelumnya
tulisan tersebut.... terutama diagram... ada beberapa yang tidak muncul....
BalasHapussekali lagi mohon diemailkan
tolong email kan ke saya juga dunk,klo bole,,saya lagi butuh banget buat analisa sosial,,klo ada contoh kasusnya juga bole,sebagai bahan perbandingan untuk saya.terima kasih.melani.friati@gmail.com.saya tunggu,soalnya mendesak sekali.
BalasHapusplease share cecep.lubis@gmail.com
BalasHapus