Minggu, 11 November 2012

Peta Materi Kuliah Ushul Fiqh


PETA MATERI KULIAH USUL FIQIH
FAKULTAS TARBIYAH, JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM [PAI]
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ‘ULAMA
[STAINU] KEBUMEN
Oleh: Fikria Najitama



A.        PENGERTIAN
1.         PENGERTIAN SYARI’AH, FIQIH, USUL FIQIH, DAN QAWA’ID FIQHIYYAH
Ø  Syari’ah
Secara etimologi, syari’ah berarti jalan menuju aliran air, atau aliran sungai. Bila dikaji dengan teori klasik, syari’ah merupakan kehendak Ilahi, suatu ketentuan suci yang bertujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat. Pemahaman ini sesuai dengan definisi para ahli usul yang menganggap syari’ah sebagai titah atau sapaan Ilahi (Khitab Allah) bagi mukallaf yang berisi tuntutan (taklifi), opsi (takhyiri), dan penetapan (wad’i).

Ø  Fiqh
Kata Fiqh secara etimologi mengandung makna mengerti atau paham. Adapun menurut Ibn Qudamah, pengertian fiqh secara terminologi memiliki definisi:

العلم بالآحكام الشرعية العملية الفرعية عن أدلتها التفصيلية بالإستدلال

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan:
1)      Fiqh adalah sebuah ilmu
2)      Fiqh adalah ilmu tentang hukum syari’iyyah
3)      Fiqh berkaitan dengan perbuatan yang bersifat ‘amaliyyah
4)      Hukum fiqh berasal dari dalil-dalil tafshili

Ø  Korelasi Syari’ah dan Fiqh
1.       Syari’ah bersifat sempurna dan tidak berubah, sedangkan fiqh terus berkembang dan berubah sesuai perbedaan tempat, waktu, dan orang yang memahaminya.
2.       Kesamaan syari’ah dan fiqh terletak pada hasil ijtihad yang benar, sedangkan ijtihad yang salah tidak dapat disamakan dengan syari’ah.
3.       Syari’ah bersifat umum dan universal. Keuniversalan syari’ah terletak pada keberadaannya, tujuan, dan nas-nasnya yang ditujukan kepada manusia secara keseluruhan.
4.       Ketentuan syari’ah menjadi keharusan bagi manusia untuk melaksanakannya dan meninggalkannya tanpa mengenal ruang dan waktu. Sedangkan fiqh yang dipahami seseorang tidak menjadi keharusan bagi orang lain untuk mengikutinya.
5.       Kebenaran hukum syari’ah bersifat mutlak, sementara pemahaman fuqaha (fiqh) punya kemungkinan untuk salah.
                                                                               
Ø  Usul Fiqh
Secara terminologi, menurut Ibn Qudamah, usul fiqh didefinisikan:

العلم بالقواعد التى يتوصل بها إلى إستنباط الأحكام الشرعية الفرعية من أدلتها التفصيلية

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan:
1)      Usul fiqh adalah sebuah ilmu
2)      Usul fiqh kajian terkait dengan dalil, kaidah, dan rumusan umum
3)      Usul fiqh melalui dalil-dalil, melahirkan hukum-hukum 

Ø  Qawa’id Fiqhiyyah
Dilihat secara terminologis, menurut ath-thahanawi, qawa’id fiqhiyyah didefinisikan sebagai:
الأمر الكلى الذى ينطبق على جزئياته كثيرة تفهم أحكامها منها

Definisi az-Zarqa:
أصول فقهيه كلية فى نصوص مؤجزة دستورية تتضمن أحكاما تشريعية عا مة فى الحوادث التى تدخل تحت موضوعها


Dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa qawa'id fiqhiyyah merupakan sekumpulan kaidah-kaidah fiqh yang berbentuk rumusan yang bersifat umum, dan didalamnya terkandung ketentuan-ketentuan fiqh dalam berbagai bidang lingkup kajiannya.

Ø  Korelasi Ushul Fiqh dan Qawa'id Fiqhiyyah
Dapat dikatakan bahwa ushul fiqh dan qawa'id fiqhiyyah merupakan mitra dalam mengatur aktifitas penalaran/intepretasi hukum Islam. Dalam kajian ushul fiqh terdapat metode-metode istinbath yang disertai landasan-landasan validitas secara filosofis-epistempologis dalam rangka membela konsep yuristik tertentu. Sedangkan qawa'id fiqhiyyah tidak lagi dalam posisi membela konsep, namun dalam rangka aplikasi dari pokok-pokok pikiran dalam ushul fiqh. Dengan demikian, qawa'id fiqhiyyah mempunyai tugas melanjutkan pokok-pokok pikiran melalui regulasi penalaran yang tertuang dalam konsep rumusan kaidah yang memiliki rasionalitas tinggi. Adapun ushul fiqh mendeduksikan dari sumber-sumber wahyu, kemudian qawa'id  fiqhiyyah mengkonstruksi kerangka umum yang melandasi fiqh menjadi metode penalaran hukum.

B.        OBYEK PEMBAHASAN
Ø  Obyek
Dalam kajian ushul fiqh, obyek kajiannya adalah al-adillah asy-syar'iyyah al-kulliyah (dalil-dalil syara' umum). Menurut al-Ghazali, obyek tersebut dapat dikategorikan ke dalam empat bagian, yaitu: Pertama, ats-tsmarah (buah ilmu ushul fiqh) yang meliputi hukum-hukum dan yang berkaitan dengannya. Kedua, al-mutsmirah (pemberi buah) yang meliputi sumber dan dalil-dalil umum. Ketiga, thuruq al-ististmar (metode mengambil buah) yang meliputi metode lingistik dan kemaknaan. Keempat, al-mustatsmir (pengambil buah) yang mengkaji tentang mujtahid dan hal-hal yang terkait dengannya.

C.        ALIRAN-ALIRAN USHUL FIQH
1.       Aliran dalam ushul fiqh
Ø  Mutakallimun
Disebut juga thariqat syafi'iyyah. Aliran ini ditandai dengan sistematika pembahasan yang murni ushul fiqh. Dengan kata lain, aliran ini dalam melakukan pembahasan ushul fiqh tidak terpengaruh pada persoalan fiqh yang bersifat parsial (furu'). Contoh: al-ghazali, al-juwaini, dll.
Ø  Ahli Fiqh
Disebut juga thariqat hanafiyyah. Aliran ini mengembangkan kajian ushul fiqh terpengaruh dan diarahkan untuk mendukung ijtihad para ulama mereka dalam bidang fiqh yang bersifat parsial (furu'). Contoh: Asy-Syarakhsyi, ad-Dabbusi, dll.

D.        SUMBER DAN DALIL-DALIL HUKUM ISLAM
1.         AL-QUR’AN
Ø  Pengertian
o   Etimologis:
Terdapat perbedaan pendapat terkait dengan asal dan arti kata al-Qur’an. Mengenai asal kata al-Qur’an, terdapat dua pendapat, yakni: (1). Lafadz al-Qur’an merupakan musytaq (pecahan). Pendapat ini dipegang antara lain oleh al-Farra, al-Asy’ari, dan al-Lihyani. Menurut al-Farra, lafadz al-Qur’an adalah mustaq dari lafadz qara’in (jamak dari qarinah) yang bermakna kaitan (logika ini diambil dari kenyataan bahwa ayat al-Qur’an saling berkaitan). Sedangkan menurut al-Asy’ari, lafadz al-Qur’an merupakan musytaq dari lafadz qarn yang bermakna gabungan atau kaitan (logika ini diambil dari realitas surat dan ayat al-Qur’an saling tergabung dan berkaitan). Adapun al-Lihyani berpendapat bahwa lafadz al-Qur’an merupakan mustaq dari lafadz qara’a yang bermakna membaca (tola). Logikanya terkait dengan kedudukan al-Qur’an sebagai “bacaan” (2). Lafadz al-Qur’an bukan musytaq (bukan pecahan/jamid). Pendapat ini dipegang oleh Asy-Syafi’i. Dengan demikian, lafadz al-Qur’an merupakan lafadz khusus bagi al-Qur’an yang bermakna Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.

o   Terminologis:
Terdapat banyak sekali devinisi tentang al-Qur’an. Dalam hal ini akan diambil satu devinisi sebagai gambaran:

الكلا م المعجز المنزل على النبى صلى الله عليه وسلم المكتوب فى المصاحف المنقول إلينا بالتواتر المتعبد بتلا وته

Kalam yang mu’jiz (melemahkan para penentangnya) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang tertulis dalam mushaf, yang disampaikan kepada kita secara mutawatir, dan membacanya dianggap ibadah”.

Pengertian Subhi as-Shalih tersebut sebagai salah satu devinisi tentang al-Qur’an. Para ulama lainnya ada yang menambahkan beberapa karakter al-Qur’an dan mengurangi karakter lainnya. Karakter tambahannya antara lain yakni: berbahasa Arab, dengan perantara malaikat Jibril, dimulai surat an-fatihah dan diakhiri surat an-nas.   

Ø  Kehujjahan
Al-Qur'an merupakan sumber hukum Islam yang pertama. Hal ini dikarenakan al-Qur'an merupakan wahyu Allah yang dijadikan hujjah bagi orang Islam. Berdasarkan realitas sejarah, keberadaan ayat-ayat al-Qur'an bersifat pasti (qath'i ats-tsubut). Namun dilihat dari segi petunjuk (dalalah) makna yang terkandung, terdapat dua kategori, yaitu: Pertama, ayat al-Qur'an yang bersifat qath'i ad-dalalah, yakni ayat-ayat yang maknanya bersifat pasti, dan hanya mengandung satu makna saja. Contoh: Pengharaman babi, tentang malaikat, hari kiamat, dll. Kedua, ayat al-Qur'an yang bersifat dzanny ad-dalalah, yakni ayat-ayat yang maknanya berrsifat relatif, dan mengandung lebih dari satu makna. Contoh: Terkait dengan 'iddah perempuan yang ditalak suaminya.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya dzanny ad-dalalah adalah faktor kebahasaan/linguistik (karena adanya lafadz mustarak, 'amm dan khass, dll) dan faktor formula rumusan syara' (seperti tarjih, nasakh, kaidah-kaidah, dll).

2.         SUNAH
Ø  Pengertian
o   Etimologi:
Jalan yang biasa dilalui/cara yang biasa dilakukan, tanpa mempermasalahkan jalan/cara tersebut baik atau buruk.

o   Terminologi:
Menurut Khallaf, sunah adalah:
ما صدر عن رسول الله صلى الله عليه وسلم من قول, أو فعل, أوتقرير

Definisi tersebut menjelaskan bahwa sunah merupakan sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah saw, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan.

Ø  Kategori
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan ada tiga kategori sunah, yaitu: Pertama, sunah qauliyyah, yakni sesuatu yang diucapkan oleh Rasulullah saw, yang kemudian didengar oleh sahabat dan diriwayatkan kepada generasi selanjutnya. Contoh: terkait dengan ucapan Rasulullah tentang pentingnya mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Kedua, sunah fi'liyyah, yakni semua gerak-gerik, perbuatan dan tingkah laku Rasulullah yang dilihat oleh para sahabat, dan diriwayatkan kepada generasi selanjutnya. Contoh: terkait dengan tata cara shalat, haji, dll. Ketiga, sunah taqririyyah, yakni ketetapan atau persetujuan Rasulullah saw, mengenai suatu perbuatan/peristiwa yang terjadi atau dilakukan sahabat. Contoh: riwayat tentang pelaksanaan shalat sewaktu perjalananan menuju daerah Bani Quraidzah.

Ø  Fungsi Sunah
Sunah merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur'an. Dengan demikian, sunah tentunya memiliki fungsi khusus dan berbeda dengan al-Qur'an. Terdapat beberapa fungsi sunah, yaitu: Pertama, Menjelaskan maksud ayat al-Qur'an. Contoh: terkait dengan tata cara shalat. Kedua, mentakhsis ayat al-Qur'an yang masih bersifat 'amm (umum). Contoh: terkait dengan hilangnya hak waris sebab sebagai pembunuh. Ketiga, menguatkan (ta'kid) atau mempertegas ketentuan yang ada dalam al-Qur'an. Contoh: terkait dengan kewajiban zakat, puasa dalam al-Qur'an yang dalam sunah juga disebutkan. Keempat, menetapkan hukum baru. Contoh: mengenai sunahnya melakukan aqiqah, dll.


3.         IJMA’
Ø  Pengertian
Etimologi:
Mempunyai dua makna, yakni: Pertama, bermaksud atau berniat. Hal ini didasarkan pada QS. Yunus: 71. Kedua, kesepakatan terhadap sesuatu. Dasar dari makna ini adalah QS. Yusuf: 15.

Terminologi:
Menurut Audah, Ijma' adalah:

إتفاق جميح المجتهدين من المسلمين فى عصر من العصور بعد وفاة الرسول صلى الله عليه وسلم على حكم شرعي

Definisi tersebut menjelaskan bahwa ijma' merupakan kesepakatan seluruh para mujtahid muslim dalam suatu masa tertentu, setelah wafatnya Rasululllah saw, yang berkaitan dengan hukum syara'.

Ø  Kategori
o   Ijma' sharih: ijma' yang dinyatakan dalam bentuk pernyataan lisan atau perbuatan, mengenai suatu perkara.
o   Ijma' sukuti: ijma' yang mana sebagian ulamanya menyatakan pendapat mereka, sedangkan ulama yang lainnya mengambil sikap diam dan tidak menyatakan penolakan atas pendapat yang ada.

Ø  Contoh Ijma’ antara lain terkait dengan kodifikasi al-Qur'an, ukuran takaran, baik shaa' (gantang) maupun mudd (pon), dll.

4.         QIYAS
Ø  Pengertian
Etimologi:
Kata qiyas bermakna qadr (ukuran/bandingan). Dengan demikian, qiyas berarti pengukuran sesuatu dengan sesuatu yang lain, atau menyamakan sesuatu dengan yang sejenisnya.

Terminologi:
Menurut Wahbah az-Zuhaily, qiyas adalah:

إلحاق أمر غير منصوص على حكمه الشرعى بأمر منصوص على حكمه لاشتراكهما فى علة الحكم

Ø  Unsur-unsur
o   Al-ashl: sesuatu yang ketentuan hukumnya telah ditetapkan oleh nash, baik al-Qur'an maupun sunah. Disebut juga dengan maqis 'alaih. Contoh: khamar.
o   Al-far'u: maslahah baru yang tidak ada nash-nya dan hendak diqiyas-kan dengan ketentuan yang telah ada nash-nya. Disebut juga dengan maqis. Contoh: minuman bir.
o   Hukum ashl: hukum syara' yang ditentukan oleh nash, baik al-qur'an maupun sunah. Contoh: keharaman khamar.
o     Illah: sifat yang nyatayang terdapat pada ashl, dan sifat itu juga nampak pada far'u, sehingga hukum far'u-nya dapat disamakan dengan ashl. Contoh: memabukkan.
Ø  Tingkatan qiyas
Segi Kejelasan 'illat:
o   Qiyas al-jali: qiyas yang 'illatnya jelas karena disebutkan oleh nash. Contoh: larangan berkata 'uh' karena menyakiti orang tua.
o   Qiyas al-khafi: qiyas yang 'illatnya tidak disebutkan dalam nash secara nyata, sehingga dibutuhkan ijtihad. Contoh: qiyas barter beras yang tidak ada takarannya, karena ada indikasi riba fadhl.
Segi Kekuatan 'illat:
o   Qiyas awla: Qiyas yang 'illat pada far'u-nya lebih kuata dibanding ashl-nya. Contoh: memukul orang tua lebih dibanding berkata 'uh'.
o   Qiyas musawi: Qiyas yang illatnya setara antara ashl dan far'u. Contoh: berkata buruk selain 'uh' kepada orang tua setara dengan penolakan dengan berkata 'uh' dari sisi menyakiti secara ucapan. 
o   Qiyas adna: Qiyas yang 'illat hukum pada far'u lebih lemah dibanding dengan ashl. Contoh: menahan harta anak yatim sampai kesusahan dengan tidak adanya niat memiliki. Perbuatan ini sama nilainya dengan merugikan anak yatim, namun lebih lemah dari memakan harta anak yatim.

E.         DALIL-DALIL HUKUM ISLAM YANG TERDAPAT IKHTILAF
1.         ISTIHSAN
Ø  Pengertian
Etimologi:
Istihsan berari menganggap sesuatu sebagai baik, atau menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan.

Terminologi:
Wahbah az-Zuhaily berpendapat bahwa istihsan adalah:

إستثناء مسألة جزئية من أصل كلى أو قضية عامة بناء على دليل خاص يقتضى ذلك

Ø  Kontroversi
Terdapat dua kelompok pendapat terkait dengan istihasan. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa istihsan merupakan dalil syara'. Kelompok ini yang terdepan adalah madzhab Hanafi. Kedua, kelompok yang menolak menggunakan istihsan sebagai dalil syara'. Kelompok ini dimotori oleh asy-Syafi'i. Argumen yang digunakan kelompok penentang istihsan adalah bahwa istihsan sebenarnya dikendalikan oleh hawa nafsu, dan menggunakan nalar murni untuk menentang hukum yang telah ditetapkan dengan nash.
 
Ø  Contoh Istihsan: Menetapkan biaya bus dengan harga sama tanpa membedakan jauh dan dekatnya, dengan dasar istihsan yang dilandasi dengan 'urf yang berlaku dimasyarakat.

2.         MASLAHAH MURSALAH
Ø  Pengertian
Etimologi:
Bisa dikatakan bahwa maslahah merupakan bentuk mufrad dari kata mashalih, yang mengandung arti adanya manfaat baik secara asal maupun melalui proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan penjagaan. Hal tersebut bisa dimaknai sebagai maslahah.

Terminologi:
Khallaf mendefinisikan maslahah mursalah:

المصلحة التى لم يشرع الشارع حكما لتحقيقها, ولم يدل دليل شرعى على اعتبارها اوالغائها

Ø  Kontroversi
Para ulama mayoritas, baik dari kalangan Syafi'i, Hanafi, dll, menolak penggunaan maslahah, kecuali karena dalam kemaslahatan yang penting dan bersifat qat'i. Sedangakan Imam Malik berpendapat bahwa maslahah bersifat ada dan memakainya secara mutlak.

3.         ‘URF
Ø  Pengertian
Etimologi:
'urf secara bahasa berasal dari kata 'a-ra-fa yang berarti kenal. Dari kata itu muncul kata ma'ruf (dikenal sebagai kebaikan), ma'rifah (yang dikenal). 'urf juga sering disamakan dengan 'adah yang berarti berulang-ulang.
Namun pendapat lainnya menyatakan bahwa istilah ‘adah (yang disinonimkan dengan ‘urf) dalam sejarah Islam memiliki sejarah semantik yang menarik. Secara literal ‘adah berarti kebiasaan, adat, praktek, sementara arti kata ‘urf adalah “sesuatu yang telah diketahui”. Beberapa ahli mennggunakan definisi lughawi ini untuk membedakan antara kedua arti kata tersebut. Mereka berpendapat bahwa ‘adah mengandung arti “pengulangan atau praktek yang sudah menjadi kebiasaan, yang dapat digunakan baik untuk kepentingan individu (‘adah fardiyyah) maupun kelompok (‘adah jama’iyyah). Disisi lain, ‘urf didefinisikan sebagai “praktek yang berulang-ulang yang dapat diterima oleh sesorang yang memilki akal sehat”. Oleh karenanya, ‘urf menurut arti ini lebih merujuk kepada suatu kebiasaan dari sekian banyak orang dalam suatu masyarakat, semntara ‘adah lebih berhubungan dengan kebiasaan dari sekelompok kecil orang tertentu.

Terminologi:
Khallaf mendefinisikan 'urf:

ما تعا رفه الناس وسارواعليه من قول او فعل اوترك

Ø  Kategori
o   'urf shahih: kebiasaan masyarakat yang sesuai serta tidak bertentangan dengan aturan-aturan hukum Islam. Contoh: adanya sarahan dalam upacara pernikahan, dll.
o   'urf fasid: kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan aturan-aturan hokum Islam. Contoh: cipika-cipiki antara laki-laki dan perempuan yang bukan mukhrim, dll.

Ø  Kaidah penting


العادة محكمة
الثابت بالعرف كالثابت بالنص   
الثابت بالعرف ثابت بدليل شرعى
الحكم يتغير بتغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والأشحاص والبيئات

4.         ISTISHAB
Ø  Pengertian
Etimologi
Secara bahasa, istishab berarti meminta kebersamaan (thalab mushahabah) atau berlanjutnya kebersamaan (istimrar ash-shubhah).


Terminologi
Menurut Ibn Hazm, Istishab adalah:

بقاء حكم الأصل الثابت بالنصوص حتى يقوم الدليل منها على التغير

Ø  Contoh Istishab
Seorang laki-laki tidak mempunyai kewajiban kepada perempuan yang bukan mahramnya, sampai keduanya diikat dalam sebuah perkawinan.

Ø  Kaidah Penting
الأصل فى الأشياء الاباحة
بقاءماكان على ما كان

5.         SYAR’U MAN QABLANA
Ø  Pengertian
Terminologi
Khallaf menjelaskan Syar'u man qablana:

ما شرعه الله لمن سبقنا من الامم على ألسنة رسولهم و نص على أنها مكتوبة علينا كما كانت مكتوبة عليهم

Ø  Kontroversi
Perdebatan muncul terkait dengan syar'un man qablana, dan memunculkan dua kelompok. Kelompok pertama berpendapat bahwa syar'un man qablana berlaku bagi umat Islam jika syari;at tersebut diinformasikan melalui Rasulullah saw, bukan hanya terdapat dalam kitab suci kaum mereka, serta tidak terdapat nash yang membantahnya. Kelompok ini mayoritas dari ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, sebagian Syafi'iyyah, dll. Kelompok kedua,berpendapat bahwa syar'un man qablana yangtidak ada ketegasan pemberlakuannya, tidak pula ada nash yang menasakhnya, maka tidak berlaku bagi Nabi Muhammad saw, dan umatnya. Kelompok ini antara lain ulama Asy'ariyyah, Syi'ah, dll.
 
Ø  Contoh
Haramnya memakan daging yang berkuku genap, tindakan memotong pakaian yang terkena najis, bunuh diri sebagai bentuk tobat, dll.


F.         HUKUM-HUKUM SYARI’AH
1.         HAKIM
Dalam terminology ushul fiqh, hakim merujuk pada pihak yang menciptkan dan menetapkan hukum syari'ah secara hakiki. Dalam hal ini, para ulama sepakat untuk menyatakan bahwa hanya Allah yang berposisi sebagai hakim, yakni yang mencipta dan menetapkan hukum syari'at bagi seluruh hamba-Nya.

2.         HUKUM
a.    Hukum Taklifi
ما اقتضى طلب فعل من المكلف أو كفه عن فعل أو تخييره بين الفعل والكف عنه


(a)      Wajib
·         Pengertian
ما يثاب على فعله ويعاقب على تركه
·         Kategori
o   Segi pelaksanaannya
§  Wajib 'aini: kewajiban bersifat individual. Contoh: Shalat, puasa, dll
§  Wajib kifai: kewajiban bersifat kolektif. Contoh: memelihara anak yatim, mengurus jenazah, dll.
o   Segi waktu pelaksanaannya
§  Wajib mutlaq: kewajiban yang pelaksannanya tidak terkait dengan waktu. Contoh: qadha puasa, dll.
§  Wajib mu'aqqat: kewajiban yang pelaksanaannya terkait dengan waktu. Wajib mu'aqqat dikategorikan menjadi tiga:
-          Wajib muwassa': waktunya luas. Contoh: shalat 'isya, dll.
-          Wajib mudhayyaq: waktunya sempit. Contoh: Puasa ramadhan, dll.
-          Wajib dzu syabhain: waktunya mirip (luas dan sempit). Contoh: ibadah haji, dll.
o   Segi kadar kewajiban yang diperintahkan
§  Wajib muhaddad: wajib yang mempunyai kadar/ukuran yang spesifik dan terbatas. Contoh: zakat mal, dll.
§  Wajib ghair muhaddad: wajib yang tidak memiliki kadar spesifik dan terbatas. Contoh: nafkah suami kepada istri, dll.
o   Segi perbuatan yang diperintahkan
§  Wajib mu'ayyan: wajib yang perbuatannya tertentu dan tidak terdapat gantinya. Contoh: Shalat, zakat, dll.
§  Wajib mukhayyar: wajib yang perbuatannya terdapat alternatif. Contoh: kafarat melanggar sumpah yang bisa memerdekakan budak, puasa, atau memberi makan orang miskin, dll.
o   Segi tanggung jawab pelaksanaannya
§  Wajib qada'i: wajib yang pertanggungjawaban atau sanksinya bisa dilaksanakan di dunia. Contoh: persoalan zakat, dll.
§  Wajib diyani: wajib yang pertanggungjawaban atau sanksinya tidak dapat di dunia, namun di akherat. Contoh: kewajiban orangtua mendidik anaknya, dll.  
o   Segi tujuannya
§  Wajib ta'abbudi: wajib yang merupakan bentuk manifestasi kepatuhan dan ketundukan kepada Allah swt. Contoh: shalat, puasa, dll.
§  Wajib tawashuli: wajib yang tidak secara langsung menunjukkan kepatuhan dan ketundukan kepada Allah swt, tapi melahirkan implikasi positif dimasyarakat. Contoh: membersihkan badan dan pakaian, dll.

(b)      Mandub
·         Pengertian
ما يثاب على فعله ولايعاقب على تركه
·         Kategori
o   Sunah mu'akkadah: yang dianjurkan. Contoh: shalat berjama'ah, witir, dll.
o   Sunah ghair mu'akkadah: yang tidak ada anjuran. Contoh: shalat qabliyah atau ba'diyah shalat dzuhur, dll.
o   Sunah zawaid: sunah tambahan. Contoh: berlama-lama dalam ruku', dll.
(c)       Haram
·         Pengertian
ما يثاب على تركه ويعاقب على فعله
·         Kategori
o   Haram li dzatihi: haram yang dilarang karena adanya esensi yang terkandung dalam dzat-nya. Contoh: haramnya babi, dll.
o   Haram li ghairihi: haram yang tidak dalam dzat-nya, namun karenanya ada faktor eksternal. Contoh: jual beli waktu shalat jum'at, dll.
(d)      Makruh
·         Pengertian
ما يثاب على تركه ولايعاقب على فعله

·         Kategori
o   Makruh tanzih: tuntutan untuk ditinggalkan, tapi tidak ada tuntutan pasti. Contoh: makan daging kuda, dll.
o   Makruh tahrim: tuntutan untuk ditinggalkan secara pasti, tapi menggunakan dalil dzannny. Contoh: laki-laki memakai sutra, dll.
(e)      Mubah
·         Pengertian
ما لايثاب على فعله ولايعاقب على تركه
·         Kategori
o   Mubah yang secara parsial bisa menjadi wajib. Contoh: makan, minum, dll.
o   Mubah yang secara parsial bisa menjadi mandub. Contoh: memilih kualitas makanan dan minuman.
o   Mubah yang secara parsial bisa menjadi haram. Contoh: makan dan minum tanpa memperhatikan kesehatan.
o   Mubah yang secara parsial bisa menjadi makruh. Contoh: makan dan minum tanpa mengindahkan etika dan situasi kondisi.

b.    Hukum Wad’i

ما اقتضى وضع شيئ سببا لشيئ أوشرطا له أو مانعا منه

(a)      Sabab
Pengertian:
ماجعله الشارع معرفا لحكم شرعي من حيث يلزم من وجوده وجود الحكم ومن عدمه عدم تالحكم
Kategori:
o   Sebab hukum yang dilakukan mukallaf. Contoh: membunuh yang menjadi sebab tidak mendapatkan warisan.
o   Sebab hukum yang tidak dilakukan mukallaf. Contoh: terbenamnya matahari yang menjadi sebab melaksanakan shalat maghrib.

(b)      Syarat
Pengertian:
ما يتوقف وجودالشيئ على وجوده وكان خارجا عنه ولايلزم من عدمه عدم ذلك الشئ

Kategori:
o   Syarat syar'iyyah: ditetapkan oleh syara' sebagai kausal dari ketetapan syara'. Contoh: Wudhu sebagai syarat shalat, dll.
o   Syarat ja'liyyah: ditetapkan mukallaf dan implikasinya diakui oleh syara'. Contoh: perjanjian nikah sebagai syarat jatuhnya talak, dll.

(c)       Mani’
Pengertian:
أمر الشرعي الذى ينافى وجوده الغرض المقصود من السبب أوالحكم

Contoh: datangnya haid sebagai mani' pelaksanaan shalat.
(d)      Rukhsah dan ‘Azimah
Pengertian rukhshah:
الحكم الثابت على خلاف الدليل لعذر

Contoh: Bolehnya tidak berpuasa wajib karena sedang sakit atau bepergian.

Pengertian 'azimah:
ما شرع إبتداء على وجه العموم

Contoh: ketentuan normal terkait dengan shalat, zakat, haji, dll.

3.         MAHKUM FIH (OBJEK HUKUM)
Yang dimaksud dengan obyek hukum adalah perbuatan mukallaf yang terkait dengan hukum syara'. Contoh: memakai ganja hukumnya haram, dalam hal ini yang diberi predikat haram adalah perbuatan memakai ganja, bukan ganjanya. Karena ganja merupakan materi (dzat) bukan perbuatan.
Syarat objek hukum: Pertama, mukallaf haruslah mengetahui dengan jelas perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas juga daan dapat dilaksanakan. Kedua, Suatu perbuatan yang diperintahkan kepada mukallaf atau ditinggalkannya haruslahlah dipahami oleh mukallaf. Ketiga, Suatu perbuatan yang diperintahkan kepada mukallaf atau ditinggalkannya haruslahlahdalam batas kemampuan manusia.

4.         MAHKUM ‘ALAIH (SUBJEK HUKUM)
Yang dimaksud dengan subjek hukum adalah mukallaf, yakni orang yang dianggap mampu bertindak hukum, baik dalam perintah melakukan perbuatan, meninggalkan perbuatan, ataupun memilih perbuatan. Dalam bahasa sederhana, mukallaf adalah orang yang cakap hukum.
Syarat mukallaf, yaitu: Pertama, memahami titah (khitab) Allah yang dibebankan kepadanya. Kedua, memiliki tanda-tanda fisik yang menunjukkan dewasa. Ketiga, tidak ada halangan untuk melaksanakan fungsinya sebagai mukallaf.
Ø  Ahliyyah: sifat yang menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga semua tindakannya dapat dinilai dengan syara'.
§  Kategori:
o   Ahliyyah al-wujub al-qashirah: kecakapan seseorang yang tidak sempurna untuk melaksanakan kewajiban dan menerima hak, sebagaimana mukallaf sempurna. Contoh: Janin dalam kandungan yang menerima hak waris, tapi belum mampu melaksanakan kewajiban.
o   Ahliyyah al-wujub al-kamilah: kecakapan seseorang yang sempurna, sehingga memiliki potensi untuk dikenai kewajiban sekaligus diberi hak.
§  'Awaridh al-ahliyyah: merupakan faktor-faktor yang menghalangi kecakapan bertindak secara hukum. Dalam hal ini dibagi menjadi dua:
o   'Awaridh as-samawiyyah, yakni yang timbul dari faktor eksternal dan bukan akibat dari kehendak dan perbuatannya. Kategori ini yaitu: 1). Gila (junun). 2). lemah akal (al-'atah). 3). Tidur (an-naum)/Pingsan (al-ighma'). 3). Lupa (an-nisyan). 6). Sakit (al-maridh). 7). Haid/nifas. 8). Mati (maut).
o   'Awaridh al-muktasabah, yakni yang timbul dari faktor internal, baik karena akibat perbuatan ataupun kehendaknya. Kategori ini yaitu: 1). Mabuk (as-sakr). 2). Ketidaktahuan (al-jahl). 3). Tersalah (al-Khata'). 4). Terpaksa (al-ikrah). 5). Bepergian (as-safar).

G.       METODE PENEMUAN HUKUM ISLAM
Ø  Metode penemuan hukum merupakan suatu proses individualisasi dan kongkretisasi peraturan-peraturan umum dengan mengaitkannya kepada peristiwa-peristiwa atau kasus-kasus khusus. Dengan demikian, penemuan hukum bersifat klinis; tujuannya adalah untuk menjawab pertanyaan apa hukum suatu kasus kongkret tertentu. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa hukum Islam merupakan sapaan (khitab) Allah. Dengan demikian, posisi manusia hanya bisa menemukannya. Hal tersebut kemudian mendorong pada perkembangan metode-metode penemuan hukum Islam. Dalam sejarah, dikenal banyak metode penemuan hukum. Kebermacaman metode yang ada dapat diklasifikasikan menjadi tiga model, yaitu Pertama, metode intepretasi linguistik. Kedua, metode kausasi. Ketiga,  metode penyelarasan.

1.         METODE INTEPRETASI LINGUISTIK/KEBAHASAAN
Ø  metode intepretasi linguistik merupakan metode penemuan hukum yang beroperasi dengan melakukan intepretasi terhadap teks-teks al-Qur’an dan hadis. Dengan demikian, metode linguistik digunakan terkait dengan kasus-kasus yang sudah ada teks hukumnya, namun teks hukum tersebut masih kabur atau tidak jelas. Pola kajian yang digunakan dalam metode intepretasi linguistik menghasilkan empat taksonomi pernyataan hukum dari teks-teks hukum, yaitu: Pertama, dari segi tingkat kejelasannya. Kedua, dari segi pola-pola penunjukkan kepada hukum yang dimaksudkan. Ketiga, dari segi luas-sempitnya cakupan pernyataan hukum. Keempat, dari segi bentuk-bentuk formula taklif dalam pernyataan.
Ø  Kategori, Definisi dan contoh intepretasi linguistik
Tipe
Definisi
Contoh
Kejelasan

Zahir

Teks yang maknanya dapat dipahami tanpa petanda (qarinah) eksternal meskipun makna yang diacu bukan makna yang dimaksud


Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, namun Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (2: 275)
Makna zahir teks itu bahwa transaksi komersial dibolehkan, kecuali jual beli yang mengandung riba
Nass
Teks yang maknanya dapat dipahami tanpa qarinah eksternal. Makna teks adalah makna yang dimaksud
Makna nass teks itu adalah tidak adanya persamaan antara transaksi komersial dan riba.

Mufassar

Teks yang maknanya sangat jelas sehingga tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap dari keduanya 100 kali (24: 2)
Jumlah deraan yang dikenakan kepada keduanya sangat jelas
Muhkam
Teks yang maknanya sangat jelas sehingga tidak membutuhkan penjelasan lain dan tidak dapat dihapuskan (nasakh)
Allah maha mengetahui segala sesuatu (33: 40)
Suatu teks yang jelas yang mengungkapkan suatu kebenaran umum yang tidak dapat dihapuskan

Khafi
Teks, sekalipun maknanya secara umum cukup jelas, namun membutuhkan penjelasan karena acuan maknanya yang spesifik
(1) Laki-laki dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (5:38)
(1) Tidak ada bagian waris bagi pembunuh (hadits)
Terdapat ambiguitas apakah orang yang mencuri uang melalui penipuan termasuk pencuri dalam contoh 1. dan apakah pembunuh dalam contoh 2 termasuk mereka yang membunuh secara tidak sengaja.
Musykil
Teks dimana maknanya tidak dapat diperoleh dari ungkapan-ungkapannya tanpa qarinah eksternal
Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri selama tiga kali quru’ (2: 228)
Istilah quru’ adalah homonim, mustarak dapat bermakna periode menstruasi atau masa suci.
Mujmal
Teks yang maknanya tidak dapat diperoleh dari ungkapannya, dan bagi mereka yang memahaminya tidak menjumpai qarinah linguistik atau eksistensial.
Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (4: 103)
Terma ‘shalat’ adalah mujmal yang harus dijelaskan dengan mencari teks-teks penjelas
Mutasyabih
Teks yang maknanya tidak dapat diperoleh baik dari ungkapannya maupundari qarinah-qarinah eksternal. Kejelasan maknanya membutuhkan eksplikasi
Tangan Allah berada di atas tangan-tangan mereka (48: 10).
Terma “tangan” tidak dapat dipahami dari makna literalnya, karena bertentangan dengan prinsip fundamental ayat “tidak ada sesuatu –pun yang menyerupai-Nya (42: 11)

Klasifikasi
Definisi
Contoh
Referensi (dalalah)
‘Ibarah
(ekspresif)
Makna yang diperoleh dari ungkapan dan dimaksudkan oleh tanda  -makna literal
Artikel 374 kode penal Mesir menyatakan “perempuan yang telah menikah yang menjalani hukuman karena zina akan dijatuhi hukuman penjara maksimal selama dua tahun. Suami dapat membatalkan eksekusi hukuman dengan menyetujui melanjutkan hubungan perkawinan
Perempuan yang telah menikah yang berzina dapat dijatuhi hukam dua tahun penjara. Suami dapat menghentikan eksekusi hukuman.
Isyarah
(Indikatif)
Makna yang diinferensikan dari ungkapan sekalipun tidak diungkapkan atau dimaksudkan secara eksplisit
Perbuatan zina yang dilakukan isteri adalah suatu tindak kejahatan terhadap suami, bukan terhadap masyarakat. Hanya suami yang berhak menghentikan pelaksanaan hukuman
Nass
(tekstual)
Makna yang diperoleh dari kontekstur tapi tidak dari ungkapan teks
Suami dapat menghentikan permulaan berbagai tindakan hukum yang dikenakan terhadap isterinya yang berzina, karena seseorang yang dapat mencegah pelaksanaannya juga dapat mencegah prosedur utamanya
Iqtida’
(implisit)
Makna yang diperoleh dari teks tetapi hanya setelah memasukkan terma-terma tertentu yang meskipun diasumsikan oleh tanda, namun ia diabaikan
Umatku diampuni karena melakukan perbuatan sebab kekeliruan, lupa dan di bawah paksaan (hadits)
Tanyalah kota negeri yang kami berada di sana dan kafilah yang kami datang bersamanya 912: 82)
Umatku diampuni dosanya yang terkait dengan kekeliruan …..


Tanyalah (penduduk) kota….

2.         METODE PENDEKATAN KAUSASI
Ø  Metode kausasi merupakan metode penemuan hukum yang penting karena berupaya mengkonstruksi hukum terhadap kasus-kasus yang tidak ada teks hukumnya. Metode kausasi berupaya untuk menyelidiki fondasi yang menjadi dasar tegaknya hukum Islam. Dalam hal ini, metode kausasi ini kemudian dikategorikan menjadi dua model, yaitu yang mendasari adanya hukum pada ‘illat, dan yang mendasari adanya hukum pada maqasid asy-syari’ah. Metode kausasi berusaha melakukan penggalian causa legis dari hukum kasus pararel untuk diterapkan kepada kasus serupa yang baru. Apa yang dilakukan hakim atau ahli hukum di sini adalah bina’ al-hukm ‘ala al-‘illah (pendasaran hukum kepada causa legis). Apabila tidak ada kasus paralel, maka pendasaran hukum kepada causa legis tidak dapat dilakukan. Oleh karena itu penemuan hukum dapat dilakukan dengan pendasaran hukum kepada causa finalis hukum, yaitu maqasid asy-syari’ah. Dengan kata lain dilakukan ta’lil al-ahkam bi maqasid asy-syari’ah.
o    Model pertama, yaitu yang mendasari adanya hukum pada ‘illat biasanya juga disebut dengan qiyas (analogi). Qiyas seringkali didefinisikan dengan menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nash-nya dengan sesuatu hukum yang ada nash-nya, dengan asumsi adanya persamaan ‘illat. Dalam hal ini, qiyas memiliki empat unsur pokok yaitu: (1) kasus baru (far’) yang membutuhkan solusi hukum; (2) kasus asli (asl) yang ada dalam sumebr-sumber asli al-Qur’an, sunah dan konsensus; (3) alasan, ratio legis (‘llah), sifat umum yang ada pada kasus baru dan kasus asli; dan (4) norma hukum (hukm) yang dinisbatkan kepada kasus baru dan karena kesamaan antara dua kasus, yang ditransfer dari kasus lama ke kasus baru.
o    Model kedua, yaitu yang mendasari adanya hukum pada maqasid asy-syari’ah.  Dengan demikian, model ini bermaksud mencapai, menjamin dan melestarikan kemaslahatan bagi umat manusia. Untuk memenuhi harapan tersebut, kemudian disusun prioritas yang berbeda namun saling melengkapai, yaitu: ad-daruriyyat,al-hajiyat dan at-tahsiniyat. Ad-daruriyah merupakan aspek kepentingan primer yang ketiadaannya dapat merusak kehidupan manusia. Dalam hal ini ada lima aspek kepentingan yang harus dilindungi, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Adapun al-hajiyyat merupakan kebutuhan sekunder yaitu sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia untuk mencapai kepentingan-kepentingan yang termasuk dalam aspek ad-daruriyyat. Sedangkan at-tahsiniyyah merupakan kebutuhan tertier yaitu sesuatu yang kehadirannya bukan niscaya maupun dibutuhkan, tetapi bersifat memperindah proses perwujudan kepentingan ad-daruriyyah dan al-hajiyyah.

3.         METODE PENYELARASAN
Ø  Metode ketiga adalah metode penyelarasan, yakni metode yang berupaya menyelaraskan berbagai dalil hukum yang mungkin secara dzahir bertentangan satu sama lain. Untuk itu, dalam metode penyelarasan kemudian dikembangkan teori nasakh dan tarjih Secara sederhana, nasakh merupakan penghapusan atau penggantian suatu ketentuan syari’ah oleh ketentuan yang lain dengan syarat bahwa yang disebut terakhir muncul belakangan dan kedua ketentuan itu ditetapkan secara terpisah. Adapun tarjih merupakan metode yang digunakan bila muncul dua nash yang secara dzahir yang saling bertentangan.

H.       IJTIHAD
Ø  PENGERTIAN

استفراغ الفقيه الوسع لتحصيل الظني بحكم شرعي

بذل الوسع فى نيل حكم شرعي عملى بطريق الإستنباط

Dari definisi tersebut dapat dicatat beberapa hal terkait dengan ijtihad:
1.       Ijtihad merupakan upaya mencurahkan pikiran secara maksimal yang dilakukan mujtahid (faqih).
2.       Menggunakan metode istinbath hukum.
3.       Berkaitan dengan hukum yang bersifat 'amaliyah.
4.       Bersifat dzanny.





Referensi Sementara:
1.      Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
2.      Abdul Hamid Hakim, As-Sulam, Jakarta: Maktabah as-Sa’diyah Putra, t.t.
3.      Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr al-Araby, 1968.
4.      Wahbah az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Fikr, 1986.
5.      Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasfa min 'Ilm al-Ushul, Kairo: Dar al-Kutub al-'ilmiyyah, 1991.
6.      Louiy Safi, The Foundation of Knowledge. A Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry, Malaysia: International Islamic University Malaysia Press, 1996.
7.      Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-teori  Hukum Islam: Usul al-Fiqh, (terj.), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
8.      Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah: 2010.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar