PETA MATERI
KULIAH USUL FIQIH
FAKULTAS TARBIYAH, JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
[PAI]
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ‘ULAMA
[STAINU] KEBUMEN
Oleh: Fikria Najitama
A.
PENGERTIAN
1.
PENGERTIAN SYARI’AH,
FIQIH, USUL FIQIH, DAN QAWA’ID FIQHIYYAH
Ø Syari’ah
Secara
etimologi, syari’ah berarti jalan menuju aliran air, atau aliran sungai. Bila
dikaji dengan teori klasik, syari’ah merupakan kehendak Ilahi, suatu ketentuan
suci yang bertujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat. Pemahaman ini sesuai
dengan definisi para ahli usul yang menganggap syari’ah sebagai titah atau
sapaan Ilahi (Khitab Allah) bagi mukallaf yang berisi tuntutan (taklifi),
opsi (takhyiri), dan penetapan (wad’i).
Ø Fiqh
Kata Fiqh
secara etimologi mengandung makna mengerti atau paham. Adapun menurut Ibn
Qudamah, pengertian fiqh secara terminologi memiliki definisi:
العلم بالآحكام
الشرعية العملية الفرعية عن أدلتها التفصيلية بالإستدلال
Dari definisi tersebut dapat
disimpulkan:
1)
Fiqh adalah sebuah ilmu
2)
Fiqh adalah ilmu tentang hukum
syari’iyyah
3)
Fiqh berkaitan dengan perbuatan yang
bersifat ‘amaliyyah
4)
Hukum fiqh berasal dari dalil-dalil
tafshili
Ø Korelasi Syari’ah dan Fiqh
1.
Syari’ah bersifat sempurna dan tidak
berubah, sedangkan fiqh terus berkembang dan berubah sesuai perbedaan tempat,
waktu, dan orang yang memahaminya.
2.
Kesamaan syari’ah dan fiqh terletak
pada hasil ijtihad yang benar, sedangkan ijtihad yang salah tidak dapat
disamakan dengan syari’ah.
3.
Syari’ah bersifat umum dan universal.
Keuniversalan syari’ah terletak pada keberadaannya, tujuan, dan nas-nasnya yang
ditujukan kepada manusia secara keseluruhan.
4.
Ketentuan syari’ah menjadi keharusan
bagi manusia untuk melaksanakannya dan meninggalkannya tanpa mengenal ruang dan
waktu. Sedangkan fiqh yang dipahami seseorang tidak menjadi keharusan bagi
orang lain untuk mengikutinya.
5.
Kebenaran hukum syari’ah bersifat
mutlak, sementara pemahaman fuqaha (fiqh) punya kemungkinan untuk salah.
Ø Usul Fiqh
Secara
terminologi, menurut Ibn Qudamah, usul fiqh didefinisikan:
العلم بالقواعد
التى يتوصل بها إلى إستنباط الأحكام الشرعية الفرعية من أدلتها التفصيلية
Dari definisi tersebut dapat
disimpulkan:
1)
Usul fiqh adalah sebuah ilmu
2)
Usul fiqh kajian terkait dengan
dalil, kaidah, dan rumusan umum
3)
Usul fiqh melalui dalil-dalil,
melahirkan hukum-hukum
Ø Qawa’id Fiqhiyyah
Dilihat
secara terminologis, menurut ath-thahanawi, qawa’id fiqhiyyah didefinisikan
sebagai:
الأمر الكلى الذى
ينطبق على جزئياته كثيرة تفهم أحكامها منها
Definisi
az-Zarqa:
أصول فقهيه كلية
فى نصوص مؤجزة دستورية تتضمن أحكاما تشريعية عا مة فى الحوادث التى تدخل تحت موضوعها
Dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa qawa'id fiqhiyyah merupakan sekumpulan kaidah-kaidah fiqh yang berbentuk
rumusan yang bersifat umum, dan didalamnya terkandung ketentuan-ketentuan fiqh
dalam berbagai bidang lingkup kajiannya.
Ø Korelasi Ushul Fiqh dan Qawa'id
Fiqhiyyah
Dapat
dikatakan bahwa ushul fiqh dan qawa'id fiqhiyyah merupakan mitra dalam mengatur
aktifitas penalaran/intepretasi hukum Islam. Dalam kajian ushul fiqh terdapat
metode-metode istinbath yang disertai landasan-landasan validitas secara
filosofis-epistempologis dalam rangka membela konsep yuristik tertentu.
Sedangkan qawa'id fiqhiyyah tidak lagi dalam posisi membela konsep, namun dalam
rangka aplikasi dari pokok-pokok pikiran dalam ushul fiqh. Dengan demikian,
qawa'id fiqhiyyah mempunyai tugas melanjutkan pokok-pokok pikiran melalui
regulasi penalaran yang tertuang dalam konsep rumusan kaidah yang memiliki
rasionalitas tinggi. Adapun ushul fiqh mendeduksikan dari sumber-sumber wahyu,
kemudian qawa'id fiqhiyyah mengkonstruksi
kerangka umum yang melandasi fiqh menjadi metode penalaran hukum.
B.
OBYEK PEMBAHASAN
Ø
Obyek
Dalam
kajian ushul fiqh, obyek kajiannya adalah al-adillah asy-syar'iyyah al-kulliyah
(dalil-dalil syara' umum). Menurut al-Ghazali, obyek tersebut dapat
dikategorikan ke dalam empat bagian, yaitu: Pertama, ats-tsmarah (buah
ilmu ushul fiqh) yang meliputi hukum-hukum dan yang berkaitan dengannya. Kedua,
al-mutsmirah (pemberi buah) yang meliputi sumber dan dalil-dalil umum. Ketiga,
thuruq al-ististmar (metode mengambil buah) yang meliputi metode lingistik
dan kemaknaan. Keempat, al-mustatsmir (pengambil buah) yang mengkaji
tentang mujtahid dan hal-hal yang terkait dengannya.
C.
ALIRAN-ALIRAN USHUL FIQH
1.
Aliran dalam ushul fiqh
Ø Mutakallimun
Disebut
juga thariqat syafi'iyyah. Aliran ini ditandai dengan sistematika pembahasan
yang murni ushul fiqh. Dengan kata lain, aliran ini dalam melakukan pembahasan
ushul fiqh tidak terpengaruh pada persoalan fiqh yang bersifat parsial (furu').
Contoh: al-ghazali, al-juwaini, dll.
Ø Ahli Fiqh
Disebut
juga thariqat hanafiyyah. Aliran ini mengembangkan kajian ushul fiqh
terpengaruh dan diarahkan untuk mendukung ijtihad para ulama mereka dalam
bidang fiqh yang bersifat parsial (furu'). Contoh:
Asy-Syarakhsyi, ad-Dabbusi, dll.
D.
SUMBER DAN DALIL-DALIL HUKUM
ISLAM
1.
AL-QUR’AN
Ø Pengertian
o
Etimologis:
Terdapat perbedaan pendapat terkait dengan asal dan arti kata
al-Qur’an. Mengenai asal kata al-Qur’an, terdapat dua pendapat, yakni: (1).
Lafadz al-Qur’an merupakan musytaq (pecahan). Pendapat ini dipegang
antara lain oleh al-Farra, al-Asy’ari, dan al-Lihyani. Menurut al-Farra, lafadz
al-Qur’an adalah mustaq dari lafadz qara’in (jamak dari qarinah)
yang bermakna kaitan (logika ini diambil dari kenyataan bahwa ayat al-Qur’an
saling berkaitan). Sedangkan menurut al-Asy’ari, lafadz al-Qur’an merupakan
musytaq dari lafadz qarn yang bermakna gabungan atau kaitan (logika ini
diambil dari realitas surat dan ayat al-Qur’an saling tergabung dan berkaitan).
Adapun al-Lihyani berpendapat bahwa lafadz al-Qur’an merupakan mustaq
dari lafadz qara’a yang bermakna membaca (tola). Logikanya
terkait dengan kedudukan al-Qur’an sebagai “bacaan” (2). Lafadz al-Qur’an bukan
musytaq (bukan pecahan/jamid). Pendapat ini dipegang oleh
Asy-Syafi’i. Dengan demikian, lafadz al-Qur’an merupakan lafadz khusus bagi
al-Qur’an yang bermakna Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
o
Terminologis:
Terdapat banyak sekali devinisi tentang al-Qur’an. Dalam hal ini
akan diambil satu devinisi sebagai gambaran:
الكلا
م المعجز المنزل على النبى صلى الله عليه وسلم المكتوب فى المصاحف المنقول إلينا بالتواتر المتعبد بتلا وته
“Kalam
yang mu’jiz (melemahkan para penentangnya) yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw, yang tertulis dalam mushaf, yang disampaikan kepada kita secara
mutawatir, dan membacanya dianggap ibadah”.
Pengertian Subhi as-Shalih tersebut sebagai salah satu devinisi
tentang al-Qur’an. Para ulama lainnya ada yang menambahkan beberapa karakter
al-Qur’an dan mengurangi karakter lainnya. Karakter tambahannya antara lain
yakni: berbahasa Arab, dengan perantara malaikat Jibril, dimulai surat
an-fatihah dan diakhiri surat an-nas.
Ø Kehujjahan
Al-Qur'an merupakan sumber hukum Islam yang pertama. Hal ini
dikarenakan al-Qur'an merupakan wahyu Allah yang dijadikan hujjah bagi orang
Islam. Berdasarkan realitas sejarah, keberadaan ayat-ayat al-Qur'an bersifat
pasti (qath'i ats-tsubut). Namun dilihat dari segi petunjuk (dalalah)
makna yang terkandung, terdapat dua kategori, yaitu: Pertama, ayat al-Qur'an
yang bersifat qath'i ad-dalalah, yakni ayat-ayat yang maknanya bersifat
pasti, dan hanya mengandung satu makna saja. Contoh: Pengharaman babi, tentang
malaikat, hari kiamat, dll. Kedua, ayat al-Qur'an yang bersifat dzanny
ad-dalalah, yakni ayat-ayat yang maknanya berrsifat relatif, dan mengandung
lebih dari satu makna. Contoh: Terkait dengan 'iddah perempuan yang ditalak
suaminya.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya dzanny ad-dalalah adalah
faktor kebahasaan/linguistik (karena adanya lafadz mustarak, 'amm dan khass,
dll) dan faktor formula rumusan syara' (seperti tarjih, nasakh,
kaidah-kaidah, dll).
2.
SUNAH
Ø Pengertian
o
Etimologi:
Jalan yang biasa dilalui/cara yang biasa dilakukan, tanpa
mempermasalahkan jalan/cara tersebut baik atau buruk.
o
Terminologi:
Menurut Khallaf, sunah adalah:
ما صدر عن رسول الله صلى الله عليه وسلم من قول,
أو فعل, أوتقرير
Definisi tersebut menjelaskan bahwa
sunah merupakan sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah saw, baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun ketetapan.
Ø Kategori
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan ada tiga
kategori sunah, yaitu: Pertama, sunah qauliyyah, yakni sesuatu
yang diucapkan oleh Rasulullah saw, yang kemudian didengar oleh sahabat dan
diriwayatkan kepada generasi selanjutnya. Contoh:
terkait dengan ucapan Rasulullah tentang pentingnya mencintai saudaranya
sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Kedua, sunah fi'liyyah, yakni
semua gerak-gerik, perbuatan dan tingkah laku Rasulullah yang dilihat oleh para
sahabat, dan diriwayatkan kepada generasi selanjutnya. Contoh: terkait dengan
tata cara shalat, haji, dll. Ketiga, sunah taqririyyah, yakni ketetapan
atau persetujuan Rasulullah saw, mengenai suatu perbuatan/peristiwa yang
terjadi atau dilakukan sahabat. Contoh: riwayat tentang pelaksanaan shalat
sewaktu perjalananan menuju daerah Bani Quraidzah.
Ø Fungsi Sunah
Sunah merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur'an. Dengan
demikian, sunah tentunya memiliki fungsi khusus dan berbeda dengan al-Qur'an.
Terdapat beberapa fungsi sunah, yaitu: Pertama, Menjelaskan maksud ayat
al-Qur'an. Contoh: terkait dengan tata cara shalat. Kedua, mentakhsis
ayat al-Qur'an yang masih bersifat 'amm (umum). Contoh: terkait dengan
hilangnya hak waris sebab sebagai pembunuh. Ketiga, menguatkan (ta'kid)
atau mempertegas ketentuan yang ada dalam al-Qur'an. Contoh: terkait dengan
kewajiban zakat, puasa dalam al-Qur'an yang dalam sunah juga disebutkan. Keempat,
menetapkan hukum baru. Contoh: mengenai sunahnya melakukan aqiqah, dll.
3.
IJMA’
Ø
Pengertian
Etimologi:
Mempunyai dua makna, yakni: Pertama, bermaksud atau berniat.
Hal ini didasarkan pada QS. Yunus: 71. Kedua, kesepakatan terhadap
sesuatu. Dasar dari makna ini adalah QS. Yusuf: 15.
Terminologi:
Menurut
Audah, Ijma' adalah:
إتفاق جميح المجتهدين
من المسلمين فى عصر من العصور بعد وفاة الرسول صلى الله عليه وسلم على حكم شرعي
Definisi tersebut menjelaskan bahwa
ijma' merupakan kesepakatan seluruh para mujtahid muslim dalam suatu masa
tertentu, setelah wafatnya Rasululllah saw, yang berkaitan dengan hukum syara'.
Ø
Kategori
o
Ijma' sharih: ijma' yang
dinyatakan dalam bentuk pernyataan lisan atau perbuatan, mengenai suatu
perkara.
o
Ijma' sukuti: ijma' yang mana
sebagian ulamanya menyatakan pendapat mereka, sedangkan ulama yang lainnya
mengambil sikap diam dan tidak menyatakan penolakan atas pendapat yang ada.
Ø
Contoh Ijma’ antara lain terkait dengan kodifikasi al-Qur'an, ukuran takaran,
baik shaa' (gantang) maupun mudd (pon), dll.
4.
QIYAS
Ø
Pengertian
Etimologi:
Kata qiyas bermakna qadr (ukuran/bandingan). Dengan demikian, qiyas
berarti pengukuran sesuatu dengan sesuatu yang lain, atau menyamakan sesuatu
dengan yang sejenisnya.
Terminologi:
Menurut Wahbah
az-Zuhaily, qiyas adalah:
إلحاق أمر غير منصوص
على حكمه الشرعى بأمر منصوص على حكمه لاشتراكهما فى علة الحكم
Ø
Unsur-unsur
o
Al-ashl: sesuatu yang ketentuan
hukumnya telah ditetapkan oleh nash, baik al-Qur'an maupun sunah. Disebut juga
dengan maqis 'alaih. Contoh: khamar.
o
Al-far'u: maslahah baru yang
tidak ada nash-nya dan hendak diqiyas-kan dengan ketentuan yang telah ada
nash-nya. Disebut juga dengan maqis. Contoh: minuman bir.
o
Hukum ashl: hukum syara' yang
ditentukan oleh nash, baik al-qur'an maupun sunah. Contoh: keharaman khamar.
o
Illah: sifat yang
nyatayang terdapat pada ashl, dan sifat itu juga nampak pada far'u, sehingga
hukum far'u-nya dapat disamakan dengan ashl. Contoh: memabukkan.
Ø
Tingkatan
qiyas
Segi Kejelasan
'illat:
o
Qiyas al-jali: qiyas yang
'illatnya jelas karena disebutkan oleh nash. Contoh: larangan berkata 'uh'
karena menyakiti orang tua.
o
Qiyas
al-khafi: qiyas yang 'illatnya tidak disebutkan dalam nash secara nyata,
sehingga dibutuhkan ijtihad. Contoh: qiyas barter beras
yang tidak ada takarannya, karena ada indikasi riba fadhl.
Segi
Kekuatan 'illat:
o
Qiyas awla: Qiyas yang 'illat
pada far'u-nya lebih kuata dibanding ashl-nya. Contoh: memukul orang tua lebih
dibanding berkata 'uh'.
o
Qiyas musawi: Qiyas yang
illatnya setara antara ashl dan far'u. Contoh: berkata buruk selain 'uh' kepada
orang tua setara dengan penolakan dengan berkata 'uh' dari sisi menyakiti
secara ucapan.
o
Qiyas adna: Qiyas yang 'illat
hukum pada far'u lebih lemah dibanding dengan ashl. Contoh: menahan harta anak
yatim sampai kesusahan dengan tidak adanya niat memiliki. Perbuatan ini sama
nilainya dengan merugikan anak yatim, namun lebih lemah dari memakan harta anak
yatim.
E.
DALIL-DALIL HUKUM ISLAM YANG TERDAPAT IKHTILAF
1.
ISTIHSAN
Ø
Pengertian
Etimologi:
Istihsan berari menganggap sesuatu sebagai baik, atau
menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan.
Terminologi:
Wahbah
az-Zuhaily berpendapat bahwa istihsan adalah:
إستثناء مسألة جزئية من أصل كلى أو قضية عامة بناء على دليل
خاص يقتضى ذلك
Ø Kontroversi
Terdapat dua kelompok pendapat terkait dengan istihasan. Pertama,
kelompok yang berpendapat bahwa istihsan merupakan dalil syara'. Kelompok ini
yang terdepan adalah madzhab Hanafi. Kedua, kelompok yang menolak menggunakan
istihsan sebagai dalil syara'. Kelompok ini dimotori oleh asy-Syafi'i. Argumen
yang digunakan kelompok penentang istihsan adalah bahwa istihsan sebenarnya
dikendalikan oleh hawa nafsu, dan menggunakan nalar murni untuk menentang hukum
yang telah ditetapkan dengan nash.
Ø
Contoh
Istihsan: Menetapkan biaya bus dengan harga sama tanpa
membedakan jauh dan dekatnya, dengan dasar istihsan yang dilandasi dengan 'urf
yang berlaku dimasyarakat.
2.
MASLAHAH MURSALAH
Ø
Pengertian
Etimologi:
Bisa dikatakan bahwa maslahah merupakan bentuk mufrad dari kata
mashalih, yang mengandung arti adanya manfaat baik secara asal maupun melalui
proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan
penjagaan. Hal tersebut bisa dimaknai sebagai maslahah.
Terminologi:
Khallaf
mendefinisikan maslahah mursalah:
المصلحة التى لم يشرع الشارع حكما لتحقيقها, ولم يدل دليل
شرعى على اعتبارها اوالغائها
Ø
Kontroversi
Para ulama mayoritas, baik dari kalangan Syafi'i, Hanafi, dll,
menolak penggunaan maslahah, kecuali karena dalam kemaslahatan yang penting dan
bersifat qat'i. Sedangakan Imam Malik berpendapat bahwa maslahah bersifat ada
dan memakainya secara mutlak.
3.
‘URF
Ø
Pengertian
Etimologi:
'urf secara bahasa berasal dari kata 'a-ra-fa yang berarti kenal.
Dari kata itu muncul kata ma'ruf (dikenal sebagai kebaikan), ma'rifah (yang
dikenal). 'urf juga sering disamakan dengan 'adah yang berarti berulang-ulang.
Namun pendapat lainnya menyatakan bahwa istilah ‘adah (yang
disinonimkan dengan ‘urf) dalam sejarah Islam memiliki sejarah semantik
yang menarik. Secara literal ‘adah berarti kebiasaan, adat, praktek,
sementara arti kata ‘urf adalah “sesuatu yang telah diketahui”. Beberapa
ahli mennggunakan definisi lughawi ini untuk membedakan antara kedua arti kata
tersebut. Mereka berpendapat bahwa ‘adah mengandung arti “pengulangan
atau praktek yang sudah menjadi kebiasaan, yang dapat digunakan baik untuk
kepentingan individu (‘adah fardiyyah) maupun kelompok (‘adah
jama’iyyah). Disisi lain, ‘urf didefinisikan sebagai “praktek yang
berulang-ulang yang dapat diterima oleh sesorang yang memilki akal sehat”. Oleh
karenanya, ‘urf menurut arti ini lebih merujuk kepada suatu kebiasaan
dari sekian banyak orang dalam suatu masyarakat, semntara ‘adah lebih
berhubungan dengan kebiasaan dari sekelompok kecil orang tertentu.
Terminologi:
Khallaf
mendefinisikan 'urf:
ما تعا رفه الناس وسارواعليه من قول او فعل اوترك
Ø
Kategori
o
'urf shahih: kebiasaan
masyarakat yang sesuai serta tidak bertentangan dengan aturan-aturan hukum
Islam. Contoh: adanya sarahan dalam upacara pernikahan, dll.
o
'urf fasid: kebiasaan
masyarakat yang bertentangan dengan aturan-aturan hokum Islam. Contoh:
cipika-cipiki antara laki-laki dan perempuan yang bukan mukhrim, dll.
Ø
Kaidah penting
العادة محكمة
الثابت بالعرف كالثابت بالنص
الثابت بالعرف ثابت بدليل شرعى
الحكم يتغير بتغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والأشحاص والبيئات
4.
ISTISHAB
Ø Pengertian
Etimologi
Secara bahasa, istishab berarti meminta kebersamaan (thalab
mushahabah) atau berlanjutnya kebersamaan (istimrar ash-shubhah).
Terminologi
Menurut
Ibn Hazm, Istishab adalah:
بقاء حكم الأصل الثابت بالنصوص حتى يقوم الدليل
منها على التغير
Ø Contoh Istishab
Seorang laki-laki tidak mempunyai kewajiban kepada
perempuan yang bukan mahramnya, sampai keduanya diikat dalam sebuah perkawinan.
Ø Kaidah Penting
الأصل فى الأشياء الاباحة
بقاءماكان على ما كان
5.
SYAR’U MAN QABLANA
Ø
Pengertian
Terminologi
Khallaf
menjelaskan Syar'u man qablana:
ما شرعه الله لمن سبقنا من الامم على ألسنة رسولهم و نص على
أنها مكتوبة علينا كما كانت مكتوبة عليهم
Ø
Kontroversi
Perdebatan muncul terkait dengan syar'un man qablana, dan memunculkan
dua kelompok. Kelompok pertama berpendapat bahwa syar'un man qablana berlaku
bagi umat Islam jika syari;at tersebut diinformasikan melalui Rasulullah saw,
bukan hanya terdapat dalam kitab suci kaum mereka, serta tidak terdapat nash
yang membantahnya. Kelompok ini mayoritas dari ulama Hanafiyyah, Malikiyyah,
sebagian Syafi'iyyah, dll. Kelompok kedua,berpendapat bahwa syar'un man qablana
yangtidak ada ketegasan pemberlakuannya, tidak pula ada nash yang menasakhnya,
maka tidak berlaku bagi Nabi Muhammad saw, dan umatnya. Kelompok ini antara
lain ulama Asy'ariyyah, Syi'ah, dll.
Ø
Contoh
Haramnya memakan daging yang berkuku genap, tindakan memotong
pakaian yang terkena najis, bunuh diri sebagai bentuk tobat, dll.
F.
HUKUM-HUKUM SYARI’AH
1.
HAKIM
Dalam terminology ushul
fiqh, hakim merujuk pada pihak yang menciptkan dan menetapkan hukum syari'ah
secara hakiki. Dalam hal ini, para ulama sepakat untuk menyatakan bahwa hanya
Allah yang berposisi sebagai hakim, yakni yang mencipta dan menetapkan hukum syari'at
bagi seluruh hamba-Nya.
2.
HUKUM
a.
Hukum Taklifi
ما اقتضى طلب فعل
من المكلف أو كفه عن فعل أو تخييره بين الفعل والكف عنه
(a)
Wajib
·
Pengertian
ما يثاب على فعله ويعاقب على تركه
·
Kategori
o
Segi pelaksanaannya
§
Wajib 'aini: kewajiban bersifat
individual. Contoh: Shalat, puasa, dll
§
Wajib kifai: kewajiban bersifat
kolektif. Contoh: memelihara anak yatim, mengurus jenazah, dll.
o
Segi waktu pelaksanaannya
§
Wajib mutlaq: kewajiban yang
pelaksannanya tidak terkait dengan waktu. Contoh: qadha puasa, dll.
§
Wajib mu'aqqat: kewajiban yang
pelaksanaannya terkait dengan waktu. Wajib mu'aqqat dikategorikan menjadi tiga:
-
Wajib muwassa': waktunya luas.
Contoh: shalat 'isya, dll.
-
Wajib mudhayyaq: waktunya
sempit. Contoh: Puasa ramadhan, dll.
-
Wajib dzu syabhain: waktunya
mirip (luas dan sempit). Contoh: ibadah haji, dll.
o
Segi kadar kewajiban yang
diperintahkan
§
Wajib muhaddad: wajib yang
mempunyai kadar/ukuran yang spesifik dan terbatas. Contoh: zakat mal, dll.
§
Wajib ghair muhaddad: wajib
yang tidak memiliki kadar spesifik dan terbatas. Contoh: nafkah suami kepada
istri, dll.
o
Segi perbuatan yang
diperintahkan
§
Wajib mu'ayyan: wajib yang
perbuatannya tertentu dan tidak terdapat gantinya. Contoh: Shalat, zakat, dll.
§
Wajib mukhayyar: wajib yang
perbuatannya terdapat alternatif. Contoh: kafarat melanggar sumpah yang bisa
memerdekakan budak, puasa, atau memberi makan orang miskin, dll.
o
Segi tanggung jawab
pelaksanaannya
§
Wajib qada'i: wajib yang
pertanggungjawaban atau sanksinya bisa dilaksanakan di dunia. Contoh: persoalan
zakat, dll.
§
Wajib diyani: wajib yang
pertanggungjawaban atau sanksinya tidak dapat di dunia, namun di akherat.
Contoh: kewajiban orangtua mendidik anaknya, dll.
o
Segi tujuannya
§
Wajib ta'abbudi: wajib yang
merupakan bentuk manifestasi kepatuhan dan ketundukan kepada Allah swt. Contoh:
shalat, puasa, dll.
§
Wajib tawashuli: wajib yang
tidak secara langsung menunjukkan kepatuhan dan ketundukan kepada Allah swt,
tapi melahirkan implikasi positif dimasyarakat. Contoh: membersihkan badan dan
pakaian, dll.
(b)
Mandub
·
Pengertian
ما يثاب على فعله
ولايعاقب على تركه
·
Kategori
o
Sunah mu'akkadah: yang
dianjurkan. Contoh: shalat berjama'ah, witir, dll.
o
Sunah ghair mu'akkadah: yang
tidak ada anjuran. Contoh: shalat qabliyah atau ba'diyah shalat dzuhur, dll.
o
Sunah zawaid: sunah tambahan.
Contoh: berlama-lama dalam ruku', dll.
(c)
Haram
·
Pengertian
ما يثاب على تركه
ويعاقب على فعله
·
Kategori
o
Haram li dzatihi: haram yang
dilarang karena adanya esensi yang terkandung dalam dzat-nya. Contoh: haramnya
babi, dll.
o
Haram li ghairihi: haram yang
tidak dalam dzat-nya, namun karenanya ada faktor eksternal. Contoh: jual beli
waktu shalat jum'at, dll.
(d)
Makruh
·
Pengertian
ما يثاب على تركه ولايعاقب على فعله
·
Kategori
o
Makruh tanzih: tuntutan untuk
ditinggalkan, tapi tidak ada tuntutan pasti. Contoh: makan daging kuda, dll.
o
Makruh tahrim: tuntutan untuk
ditinggalkan secara pasti, tapi menggunakan dalil dzannny. Contoh: laki-laki
memakai sutra, dll.
(e)
Mubah
·
Pengertian
ما لايثاب على فعله ولايعاقب على تركه
·
Kategori
o
Mubah yang secara parsial bisa
menjadi wajib. Contoh: makan, minum, dll.
o
Mubah yang secara parsial bisa
menjadi mandub. Contoh: memilih kualitas makanan dan minuman.
o
Mubah yang secara parsial bisa
menjadi haram. Contoh: makan dan minum tanpa memperhatikan kesehatan.
o
Mubah yang secara parsial bisa
menjadi makruh. Contoh: makan dan minum tanpa mengindahkan etika dan situasi
kondisi.
b.
Hukum Wad’i
ما اقتضى وضع شيئ
سببا لشيئ أوشرطا له أو مانعا منه
(a)
Sabab
Pengertian:
ماجعله الشارع
معرفا لحكم شرعي من حيث يلزم من وجوده وجود الحكم ومن عدمه عدم تالحكم
Kategori:
o
Sebab hukum yang dilakukan
mukallaf. Contoh: membunuh yang menjadi sebab tidak mendapatkan warisan.
o
Sebab hukum yang tidak
dilakukan mukallaf. Contoh: terbenamnya matahari yang menjadi sebab
melaksanakan shalat maghrib.
(b)
Syarat
Pengertian:
ما يتوقف وجودالشيئ
على وجوده وكان خارجا عنه ولايلزم من عدمه عدم ذلك الشئ
Kategori:
o
Syarat
syar'iyyah: ditetapkan oleh syara' sebagai kausal dari ketetapan syara'. Contoh:
Wudhu sebagai syarat shalat, dll.
o
Syarat
ja'liyyah: ditetapkan mukallaf dan implikasinya diakui oleh syara'. Contoh:
perjanjian nikah sebagai syarat jatuhnya talak, dll.
(c)
Mani’
Pengertian:
أمر الشرعي الذى
ينافى وجوده الغرض المقصود من السبب أوالحكم
Contoh: datangnya haid
sebagai mani' pelaksanaan shalat.
(d)
Rukhsah dan ‘Azimah
Pengertian rukhshah:
الحكم الثابت على
خلاف الدليل لعذر
Contoh:
Bolehnya tidak berpuasa wajib karena sedang sakit atau bepergian.
Pengertian 'azimah:
ما شرع إبتداء
على وجه العموم
Contoh: ketentuan
normal terkait dengan shalat, zakat, haji, dll.
3.
MAHKUM FIH (OBJEK HUKUM)
Yang dimaksud dengan obyek hukum adalah perbuatan mukallaf yang
terkait dengan hukum syara'. Contoh: memakai ganja hukumnya haram, dalam hal
ini yang diberi predikat haram adalah perbuatan memakai ganja, bukan ganjanya.
Karena ganja merupakan materi (dzat) bukan perbuatan.
Syarat objek hukum: Pertama, mukallaf haruslah mengetahui dengan
jelas perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan
jelas juga daan dapat dilaksanakan. Kedua, Suatu perbuatan yang diperintahkan
kepada mukallaf atau ditinggalkannya haruslahlah dipahami oleh mukallaf.
Ketiga, Suatu perbuatan yang diperintahkan kepada mukallaf atau ditinggalkannya
haruslahlahdalam batas kemampuan manusia.
4.
MAHKUM ‘ALAIH (SUBJEK
HUKUM)
Yang dimaksud dengan subjek hukum adalah mukallaf, yakni orang yang
dianggap mampu bertindak hukum, baik dalam perintah melakukan perbuatan,
meninggalkan perbuatan, ataupun memilih perbuatan. Dalam bahasa sederhana,
mukallaf adalah orang yang cakap hukum.
Syarat mukallaf, yaitu: Pertama, memahami titah (khitab) Allah yang
dibebankan kepadanya. Kedua, memiliki tanda-tanda fisik yang menunjukkan
dewasa. Ketiga, tidak ada halangan untuk melaksanakan fungsinya sebagai
mukallaf.
Ø Ahliyyah: sifat yang menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna
jasmani dan akalnya, sehingga semua tindakannya dapat dinilai dengan syara'.
§ Kategori:
o
Ahliyyah al-wujub al-qashirah:
kecakapan seseorang yang tidak sempurna untuk melaksanakan kewajiban dan
menerima hak, sebagaimana mukallaf sempurna. Contoh: Janin dalam kandungan yang
menerima hak waris, tapi belum mampu melaksanakan kewajiban.
o
Ahliyyah al-wujub al-kamilah:
kecakapan seseorang yang sempurna, sehingga memiliki potensi untuk dikenai
kewajiban sekaligus diberi hak.
§ 'Awaridh al-ahliyyah: merupakan faktor-faktor yang menghalangi
kecakapan bertindak secara hukum. Dalam hal ini dibagi menjadi dua:
o
'Awaridh as-samawiyyah, yakni
yang timbul dari faktor eksternal dan bukan akibat dari kehendak dan
perbuatannya. Kategori ini yaitu: 1). Gila (junun). 2). lemah akal (al-'atah).
3). Tidur (an-naum)/Pingsan (al-ighma'). 3). Lupa (an-nisyan). 6). Sakit
(al-maridh). 7). Haid/nifas. 8). Mati (maut).
o
'Awaridh al-muktasabah, yakni
yang timbul dari faktor internal, baik karena akibat perbuatan ataupun
kehendaknya. Kategori ini yaitu: 1). Mabuk (as-sakr). 2). Ketidaktahuan
(al-jahl). 3). Tersalah (al-Khata'). 4). Terpaksa (al-ikrah). 5). Bepergian
(as-safar).
G.
METODE PENEMUAN HUKUM
ISLAM
Ø Metode penemuan hukum merupakan suatu proses
individualisasi dan kongkretisasi peraturan-peraturan umum dengan mengaitkannya
kepada peristiwa-peristiwa atau kasus-kasus khusus. Dengan demikian, penemuan
hukum bersifat klinis; tujuannya adalah untuk menjawab pertanyaan apa hukum
suatu kasus kongkret tertentu. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa
hukum Islam merupakan sapaan (khitab) Allah. Dengan demikian, posisi
manusia hanya bisa menemukannya. Hal tersebut kemudian mendorong pada
perkembangan metode-metode penemuan hukum Islam. Dalam sejarah, dikenal banyak
metode penemuan hukum. Kebermacaman metode yang ada dapat diklasifikasikan
menjadi tiga model, yaitu Pertama, metode intepretasi linguistik. Kedua,
metode kausasi. Ketiga, metode
penyelarasan.
1.
METODE INTEPRETASI
LINGUISTIK/KEBAHASAAN
Ø metode intepretasi linguistik merupakan
metode penemuan hukum yang beroperasi dengan melakukan intepretasi terhadap
teks-teks al-Qur’an dan hadis. Dengan demikian, metode linguistik digunakan
terkait dengan kasus-kasus yang sudah ada teks hukumnya, namun teks hukum
tersebut masih kabur atau tidak jelas. Pola kajian yang digunakan dalam metode
intepretasi linguistik menghasilkan empat taksonomi pernyataan hukum dari
teks-teks hukum, yaitu: Pertama, dari segi tingkat kejelasannya. Kedua,
dari segi pola-pola penunjukkan kepada hukum yang dimaksudkan. Ketiga,
dari segi luas-sempitnya cakupan pernyataan hukum. Keempat, dari segi
bentuk-bentuk formula taklif dalam pernyataan.
Ø
Kategori, Definisi dan contoh intepretasi
linguistik
Tipe
|
Definisi
|
Contoh
|
Kejelasan
|
Zahir |
Teks yang maknanya dapat
dipahami tanpa petanda (qarinah) eksternal meskipun makna yang diacu
bukan makna yang dimaksud
|
Sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, namun Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (2:
275)
|
Makna zahir teks itu bahwa
transaksi komersial dibolehkan, kecuali jual beli yang mengandung riba
|
Nass
|
Teks yang maknanya dapat
dipahami tanpa qarinah eksternal. Makna teks adalah makna yang dimaksud
|
Makna nass teks itu adalah tidak
adanya persamaan antara transaksi komersial dan riba.
|
|
Mufassar |
Teks yang maknanya sangat jelas
sehingga tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut
|
Perempuan yang berzina dan
laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap dari keduanya 100 kali (24: 2)
|
Jumlah deraan yang dikenakan
kepada keduanya sangat jelas
|
Muhkam
|
Teks yang maknanya sangat jelas
sehingga tidak membutuhkan penjelasan lain dan tidak dapat dihapuskan (nasakh)
|
Allah maha mengetahui segala
sesuatu (33: 40)
|
Suatu teks yang jelas yang
mengungkapkan suatu kebenaran umum yang tidak dapat dihapuskan
|
Khafi
|
Teks, sekalipun maknanya secara
umum cukup jelas, namun membutuhkan penjelasan karena acuan maknanya yang
spesifik
|
(1) Laki-laki dan
perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (5:38)
(1) Tidak ada bagian waris bagi
pembunuh (hadits)
|
Terdapat ambiguitas apakah orang
yang mencuri uang melalui penipuan termasuk pencuri dalam contoh 1. dan
apakah pembunuh dalam contoh 2 termasuk mereka yang membunuh secara tidak
sengaja.
|
Musykil
|
Teks dimana maknanya tidak dapat diperoleh
dari ungkapan-ungkapannya tanpa qarinah eksternal
|
Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah
menahan diri selama tiga kali quru’ (2: 228)
|
Istilah quru’ adalah homonim,
mustarak dapat bermakna periode menstruasi atau masa suci.
|
Mujmal
|
Teks yang maknanya tidak dapat diperoleh
dari ungkapannya, dan bagi mereka yang memahaminya tidak menjumpai qarinah
linguistik atau eksistensial.
|
Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban
yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (4: 103)
|
|
Mutasyabih
|
Teks yang maknanya tidak dapat diperoleh
baik dari ungkapannya maupundari qarinah-qarinah eksternal. Kejelasan
maknanya membutuhkan eksplikasi
|
Terma “tangan” tidak dapat dipahami dari
makna literalnya, karena bertentangan dengan prinsip fundamental ayat “tidak
ada sesuatu –pun yang menyerupai-Nya (42: 11)
|
Klasifikasi
|
Definisi
|
Contoh
|
Referensi
(dalalah)
|
‘Ibarah
(ekspresif)
|
Makna yang diperoleh dari ungkapan dan dimaksudkan oleh
tanda -makna literal
|
Artikel 374 kode penal Mesir menyatakan “perempuan yang
telah menikah yang menjalani hukuman karena zina akan dijatuhi hukuman
penjara maksimal selama dua tahun. Suami dapat membatalkan eksekusi hukuman
dengan menyetujui melanjutkan hubungan perkawinan
|
Perempuan yang telah menikah yang berzina dapat dijatuhi
hukam dua tahun penjara. Suami dapat menghentikan eksekusi hukuman.
|
Isyarah
(Indikatif)
|
Makna yang diinferensikan dari ungkapan sekalipun tidak
diungkapkan atau dimaksudkan secara eksplisit
|
Perbuatan zina yang dilakukan isteri adalah suatu tindak
kejahatan terhadap suami, bukan terhadap masyarakat. Hanya suami yang berhak
menghentikan pelaksanaan hukuman
|
|
Nass
(tekstual)
|
Makna yang diperoleh dari kontekstur tapi tidak dari
ungkapan teks
|
Suami dapat menghentikan permulaan berbagai tindakan hukum
yang dikenakan terhadap isterinya yang berzina, karena seseorang yang dapat
mencegah pelaksanaannya juga dapat mencegah prosedur utamanya
|
|
Iqtida’
(implisit)
|
Makna yang diperoleh dari teks tetapi hanya setelah
memasukkan terma-terma tertentu yang meskipun diasumsikan oleh tanda, namun
ia diabaikan
|
Umatku diampuni karena melakukan perbuatan sebab
kekeliruan, lupa dan di bawah paksaan (hadits)
Tanyalah kota negeri yang kami berada di sana dan kafilah yang
kami datang bersamanya 912: 82)
|
Umatku diampuni dosanya yang terkait dengan kekeliruan …..
Tanyalah (penduduk) kota….
|
2.
METODE PENDEKATAN
KAUSASI
Ø Metode kausasi merupakan metode penemuan
hukum yang penting karena berupaya mengkonstruksi hukum terhadap kasus-kasus
yang tidak ada teks hukumnya. Metode kausasi berupaya untuk menyelidiki fondasi
yang menjadi dasar tegaknya hukum Islam. Dalam hal ini, metode kausasi ini
kemudian dikategorikan menjadi dua model, yaitu yang mendasari adanya hukum
pada ‘illat, dan yang mendasari adanya hukum pada maqasid
asy-syari’ah. Metode kausasi berusaha melakukan penggalian causa legis dari
hukum kasus pararel untuk diterapkan kepada kasus serupa yang baru. Apa yang
dilakukan hakim atau ahli hukum di sini adalah bina’ al-hukm ‘ala al-‘illah
(pendasaran hukum kepada causa legis). Apabila tidak ada kasus paralel,
maka pendasaran hukum kepada causa legis tidak dapat dilakukan. Oleh
karena itu penemuan hukum dapat dilakukan dengan pendasaran hukum kepada causa
finalis hukum, yaitu maqasid asy-syari’ah. Dengan kata lain
dilakukan ta’lil al-ahkam bi maqasid asy-syari’ah.
o
Model
pertama, yaitu yang mendasari adanya hukum pada ‘illat biasanya juga
disebut dengan qiyas (analogi). Qiyas seringkali didefinisikan
dengan menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nash-nya dengan sesuatu hukum
yang ada nash-nya, dengan asumsi adanya persamaan ‘illat. Dalam hal ini,
qiyas memiliki empat unsur pokok yaitu: (1) kasus baru (far’)
yang membutuhkan solusi hukum; (2) kasus asli (asl) yang ada dalam
sumebr-sumber asli al-Qur’an, sunah dan konsensus; (3) alasan, ratio legis
(‘llah), sifat umum yang ada pada kasus baru dan kasus asli; dan (4)
norma hukum (hukm) yang dinisbatkan kepada kasus baru dan karena
kesamaan antara dua kasus, yang ditransfer dari kasus lama ke kasus baru.
o
Model
kedua, yaitu yang mendasari adanya hukum pada maqasid asy-syari’ah. Dengan demikian, model ini bermaksud mencapai,
menjamin dan melestarikan kemaslahatan bagi umat manusia. Untuk memenuhi
harapan tersebut, kemudian disusun prioritas yang berbeda namun saling
melengkapai, yaitu: ad-daruriyyat,al-hajiyat dan at-tahsiniyat. Ad-daruriyah
merupakan aspek kepentingan primer yang ketiadaannya dapat merusak
kehidupan manusia. Dalam hal ini ada lima aspek kepentingan yang harus
dilindungi, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Adapun al-hajiyyat
merupakan kebutuhan sekunder yaitu sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia untuk
mencapai kepentingan-kepentingan yang termasuk dalam aspek ad-daruriyyat.
Sedangkan at-tahsiniyyah merupakan kebutuhan tertier yaitu sesuatu yang
kehadirannya bukan niscaya maupun dibutuhkan, tetapi bersifat memperindah
proses perwujudan kepentingan ad-daruriyyah dan al-hajiyyah.
3.
METODE PENYELARASAN
Ø Metode ketiga adalah metode penyelarasan,
yakni metode yang berupaya menyelaraskan berbagai dalil hukum yang mungkin
secara dzahir bertentangan satu sama lain. Untuk itu, dalam metode
penyelarasan kemudian dikembangkan teori nasakh dan tarjih Secara
sederhana, nasakh merupakan penghapusan atau penggantian suatu ketentuan
syari’ah oleh ketentuan yang lain dengan syarat bahwa yang disebut terakhir
muncul belakangan dan kedua ketentuan itu ditetapkan secara terpisah. Adapun tarjih
merupakan metode yang digunakan bila muncul dua nash yang secara dzahir yang
saling bertentangan.
H.
IJTIHAD
Ø PENGERTIAN
استفراغ الفقيه
الوسع لتحصيل الظني بحكم شرعي
بذل الوسع فى نيل
حكم شرعي عملى بطريق الإستنباط
Dari definisi tersebut dapat dicatat
beberapa hal terkait dengan ijtihad:
1.
Ijtihad
merupakan upaya mencurahkan pikiran secara maksimal yang dilakukan mujtahid (faqih).
2.
Menggunakan
metode istinbath hukum.
3.
Berkaitan
dengan hukum yang bersifat 'amaliyah.
4.
Bersifat
dzanny.
Referensi Sementara:
1.
Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh,
Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
2.
Abdul Hamid Hakim, As-Sulam,
Jakarta: Maktabah as-Sa’diyah Putra, t.t.
3.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh,
Beirut: Dar al-Fikr al-Araby, 1968.
4.
Wahbah az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh
al-Islami, Damaskus: Dar al-Fikr, 1986.
5.
Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasfa min
'Ilm al-Ushul, Kairo: Dar al-Kutub al-'ilmiyyah, 1991.
6.
Louiy Safi, The Foundation of
Knowledge. A Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry, Malaysia:
International Islamic University Malaysia Press, 1996.
7.
Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan
Teori-teori Hukum Islam: Usul al-Fiqh,
(terj.), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
8.
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh,
Jakarta: Amzah: 2010.