MAKALAH TENTANG
”MODEL PENELITIAN HADITS “
MATA KULIAH: ISALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
Dosen
Pengampu : Sudadi,
M. Pd.I
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
STAINU KEBUMEN
Jl. Tentara Pelajar No. 55 B Kebumen Telp/Fak. (02187) 385906
BAB
I
PENDAHULUAN
Sebagai sumber ajaran
Islam yang kedua setelah Al-qur’an, keberadaan hadits, di samping telah
mewarnai masyarakat dalam berbagai bidang kehidupannya, juga telah menjadi bahasan
kajian yang menarik, dan tiada henti-hentinya. Penalitian terhadap hadits baik
dari segi keotentikannya, kandungan makna dan ajaran yang terdapat di dalamnya,
macam-macam tingkatan maupun fungsinya dalam menjelaskan kandungan Al-qur’an
dan lain sebagainya telah banyak dilakukan para ahli di bidangnya.
Hasil-hasil penelitian dan kajian para ahli tersebut
selanjutnya telah didokumentasikan dan dipublikasikan baik kepada kalangan
akademis di perguruan-perguruan tinggi, bahkan madrasah maupun pada masyarakat
pada umumnya. Bagi kalangan akademis, adanya berbagai hasil penelitian hadits
tersebut telah membuka peluang untuk diwujudkannya suatu disiplin kajian Islam,
yaitu Bidang Studi Hadits.
Mengingat pentingnya kedudukan hadits dalam syariat islam
dan fungsinya terhadap Al-Qur’an, para sahabat memberikan perhatian terhadap
hadits-hadits Nabi dan berusaha keras untuk memperolehnya sebagaimana sikap
mereka terhadap Al-Qur’an. Mereka menghafalkan lafaz-lafaz hadits atau
maknanya, memahami dan mengetahui maksud tujuannya, dengan berdasarkan naluri
yang mereka miliki, berdasarkan petunjuk-petunjuk Rasul yang mereka dengar,
perbuatan dan perilakunya yang mereka saksikan dan berdasarkan pengetahuan
mereka mengenai situasi dan kondisi yang melatarbelakangi diucapkannya
hadits-hadits itu. Dan hadits-hadits yang sulit dipahami atau tidak diketahui
maksudnya, mereka tanyakan langsung kepada Nabi SAW.
BAB
II
A.
PENGERTIAN
HADITS
Pada garis besarnya pengertian hadits dapat dilihat
melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan kebahasaan (linguistik), dan pendekatan Istilah (terminologis).
1.
Dilihat dari pendekatan kebahasaan,
hadits berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata hadatsa, yahdutsu, hadtsan, haditsan, dengan pengertian yang
bermacam-macam. Kata tersebut misalnya dapat berarti al-jadid min al-asy ya’ sesuatu yang baru, sebagai lawan dari kata al-qadim yang artinya sesuatu yang sudah kuno atau
klasik. Penggunaan kata al-hadits dalam arti demikian dapat kita jumpai pada
ungkapan hadits al-bina dengan arti jaded al-bina artinya bangunan baru.
2.
Selanjutnya, kata al-hadits dapat pula berarti al-qarib
yang berarti menunjukkan pada waktu yang dekat atau waktu yang singkat. Untuk
ini kita dapat melihat pada contoh hadits
al-’ahd bi al-Islam yang berarti orang yang baru masuk Islam.
3.
Kata al-hadis kemudian dapat pula berarti al-khabar yang berarti mayutahaddats
bih wa yunqal, yaitu sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan atau
diberitakan, dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.
Dari ketiga arti kata al-hadits tersebut, nampaknya yang
banyak digunakan adalah pengertian yang ketiga, yaitu sesuatu yang
diperbincangkan atau al-hadits dalam
arti al-khabar. Misalnya ayat-ayat
yang mengandung kata al-hadits dalam arti al-khabar berikut ini.
“Maka hendaklah mereka
mendatangkan khabar (berita) yang serupa dengan Al-qur’an itu jika mereka
mengaku orang-orang yang benar”. (QS Al-Thur, 52:34).
Selanjutnya hadits dilihat dari segi pengertian istilah
dijumpai pendapat yang berbeda-beda. Hal ini antara lain disebabkan karena perbedaan
cara pandang yang digunakan oleh masing-masing dalam melihat suatu masalah.
Para ulama ahli hadits misalnya berpendapat bahwa hadits adalah ucapan,
perbuatan dan keadaan Nabi Muhammad SAW. Sementara ulama ahli hadits bukan
hanya perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah SAW, akan tetapi termasuk
perkataan, perbuatan, dan ketetapan para sahabat dan tabi’in. Dari pada itu
ulama ahli ushul fiqih berpendapat bahwa hadits adalah perkataan, perbuatan,
dan ketetapan Rasulullah SAW yang berkaitan dengan hukum. Ulama ahli fiqih mengidentikkan
hadits dengan sunnah, yaitu sebagaisalahsatudarihukum taklifi, suatu perbuatan apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala
dan apabila ditinggalkan tidak akan disiksa.
B. MODEL-MODEL
PENELITIAN HADITS
1.
Model H.M. Quraish Shihab
Penelitian yang dilakukan Qurais Shihab terhadap hadits menunjukkan
jumlahnya tidak lebih banyak jika dibandingkan dengan penelitian terhadap
Al-qur’an. Dalam bukunya berjudul Membumikan
Al-Qur’an, Quraish Shihab hanya meneliti dua sisi dari keberadaan hadits,
yaitu mengenai hubungan hadits dan Al-qur’an serta fungsi dan posisi sunnah
dalam tafsir.
2.
Model Musthafa Al-Siba’iy
Musthafa Al-Siba’iy yang dikenal sebagai tokoh
intelektual Muslim dari Mesir dan disebut-sebut sebagai pengikut gerakan ikhwanul muslimin. Hasil penelitian yang
dilakukan Musthafa Al-Siba’iy antara lain mengenai sejarah proses terjadinya
dan tersebarnya hadits mulai dari Rasulullah sampai terjadinya upaya pemalsuan
hadits dan usaha para ulama untuk membendungnya, dengan melakukan pencatatan
sunnah, kitab-kitab tentang hadits-hadits palsu, para pemalsu, dan
penyebarannya.
3.
Model Muhammad Al-Ghazali
Muhammad Al-Ghazali adlah salah seorang ulama lulusan
Universitas Al-Azhar Mesir yang disegani di dunia Islam, khususnya Timur
Tengah, dan salah seorang penulis Arab yang sangat produktif. Penelitian hadits
yang dilakukan Muhammad Al-Ghazali termasuk penelitian eksploratif, yaitu
membahas, mengkaji, dan mendalami sedalam-dalamnya berbagai persoalan aktual
yang muncul di masyarakat untuk kemudian diberikanstatus hukumnya dengan
berpijak pada konteks hadis tersebut.
Corak penyajiannya masih bersifat deskriptif analitis.
Yakni mendeskripsikan hasil penelitian sedemikian rupa, dilanjutkan
menganalisisnya dengan menggunkan pendekatan fiqih, sehingga terkesan ada misi
pembelaan dan pemurnian ajaran Islam dari berbagai paham yang dianggapnya tidak
sejalan dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang mutawatir. Ia menjelaskan tentang
kesahihan hadits dan persyaratannya, ia mengemukakan tentang mayit yang diazab
karena tangisan keluarganya.
4.
Model Zain Al-Din ‘Abd Al-Rahim Bin
Al-Iraqiy
Ia disebut sebagai penganut mazhab syafi’I, belajar di
Mesir. Zain Al-Din ‘Abd Al-Rahim Bin Al-Iraqiy dikenal menguasai ilmu al-nahwu (gramatikal), ilmu qira’at dan hadits.
Mengingat sebelum zaman Al-Iraqy belum ada hasil penelitian hadits, maka nampak
ia berusaha membangun ilmu hadits dengan menggunakan bahan-bahan hadis nabi
serta berbagai pendapat para ulama. Penelitiannya bersifat awal, yaitu
penelitian yang ditujukan untuk mengemukan bahan-bahan untuk digunakan
membangun ilmu. Buku inilah untuk pertama kali mengemukakan macam-macam hadits
yang didasarkan pada kualitas sanad dan matannya, yaitu ada hadits yang
tergolong sahih, hasan, dan dhaif. Dilihat pula dari keadaan
bersambung atau terputusnya sanad yang dibaginya menjadi hadits musnad, muttasil, marfu’, mauquf, mursal,
dan al-mungatil. Selanjutnya, dilihat pula dari keadaan kualitas matannya
yang dibagi menjadi hadits yang syadz dan
munkar.
5.
Model Penelitian Lainnya
Model penelitian
diarahkan pada fokus kajian aspek tertentu saja. Misalnya, Rif’at Fauzi
Abd Al-Muthallib pada tahun 1981, meneliti tentang perkembangan Al-Sunnah pada
abad ke-2 Hijriah. Maka kini ilmu hadits tumbuh menjadi salah satu disiplin
ilmu keislaman. Penelitian yang masih
ada hubungannya dengan berbagai masalah aktual tampak masih terbuka luas.
Berbagai pendekatan dalam memahami hadits juga belum banyak digunakan.
Misalnya, pendekatan sosiologis, ekonomi, politik dan lain-lain. Akibatnya dari
keadaan demikian, tampak bahwa pemahaman masyarakat terhadap hadits pada
umumnya masih bersifat pasif.
C. MENENTUKAN
STATUS HADITS
Langkah awal
para ulama dalam menetapkan ke-shahihan dan kelemahan suatu hadits , adalah menentukan
prinsip-prinsip dasar suatu hadits sebagai cara untuk melakukan elaborasi
terhadap keberadaan . Langkah ini memungkinkan terjadinya perbedaan nuansa
antara ulama yang satu dengan yang lain. Dan dalam beberapa hal, nuansa
perbedaan tersebut juga terimbas dalam menetapkan status suatu hadits. Untuk
menghindari kekeliruan mengatasnamakan nabi, ulama memilah kepada
yang dapat dijadikan hujjah
(shahih dan hasan) dan yang tidak
dapat dijadikan hujjah (dla’if).
1.
Prinsip Ijtihad
Prinsip ijtihad sebenarnya bukan
monopoli karena ulama sebelum dan sesudahnya juga telah menggunakan istilah
ijtihad dalam menentukan shahih tidaknya suatu hadits. Dalam melakukan
ijtihad-nya, ulama hadits menggunakan dua pendekatan; pendekatan sanad dan
matan. Sanad merupakan mata rantai (transmisi)
hadits yang terdiri dari orang-orang yang meriwayatkan hadits sampai Nabi.
Sedangkan matan hadits adalah redaksi hadits itu sendiri yang berupa sabda,
perbuatan, dan pengakuannya.
2.
Prinsip Status Sanad
Hadits yang dihimpun ulama baru
ditulis secara intensif sejak diedarkan surat perintah ‘Umar Bin ‘Abd Al-‘Aziz kepada
para gubernur khususnya di Madinah. Tradisi ini berjalan sampai para pencatat
hadits abad ke-5 H. sejak zaman Rasul hingga para rawi itu, diperlukan transmisi yang meyakinkan bahwa hadits itu musnad, muttashil, dan marfu’ kepada Nabi. Kedudukan sanad
sangat penting dalam memelihara ke-shahih-an
hadits, sehingga muncul postulat-postulat yang berkaitan dengannya.
Postulat tersebut didasari oleh keyakinan bahwa mengatasnamakan Rasulullah SAW harus
ekstra hati-hati.
Postulat
yang dibangun ulama yang berkaitan dengan sanad,
antara lain sebagai berikut:
a.
Sanad adalah Ajaran Agama
Rasulullah SAW sendiri
sudah memperingatkannya sejak dini bahwa mengatasnamakannya tanpa dasar
merupakan dosa dan pelakunya akan masuk neraka. Para sahabat pun sangat
hati-hati dalam menisbahkan sesuatu kepada Nabi. Para sahabat pula yang pertama
kali menuntut harus ada saksi (syahid),
keterangan (bayan) dan sumpah jika
seseorang berani menisbahkan sesuatu kepada Nabi.
b.
Sanad adalah Perantara
Suatu riwayat atau berita antara suatu
generasi dengan generasi lainnya adalah sanad.
c.
Sanad adalah Pangkal Kebenaran
Sangat
berbahaya jika mencari ilmu tidak diketahui dengan jelas sumbernya.
Kutiap-kutipan ilmiah baru akan dipercaya jika bersumber dari orang-orang yang
layak, sesuai dengan profesinya dan memiliki kemampuan lebih dari yang lainnya,
baik pribadinya maupun ilmiahnya.
d.
Sanad adalah Standar Ilmiah
Untuk memperoleh sanad yang
shahih ulama hadits menyusun berbagai macam kaidah yang menurut anggapannya
dapat menentukan status suatu hadits. Dalam menentukan kaidah-kaidah ini, ulama
menentukan kaidah-kaidah yang berkaitan bersambung dan tidaknya suatu sanad,
seperti, musnad, marfu’, mursal dan
sebagainya. Jumlah kaidak-kaidah tersebut antara ulama yang satu dengan ulama
yang lainnya berbeda-beda.
3.
Prinsip Status Matan
Ke-shahih-an hadits tidak hanya
berpegang teguh pada riwayat, tetapi juga pada matan (redaksi) hadits itu karena sebagai manusia bisa tidak lepas dari
kesalahan. Untuk mengetahui shahih tidaknya matan hadits, maka bukan hanya
hadits itu dikomparasikan dengan hadits lainnya, tetapi juga matan hadits
tersebut perlu dikomparasikan dengan Al-Qur’an. Bila tampak matan (redaksi) hadits ada
pertentangan, maka status hadits tersebut bisa dianggap dla’if, sehingga tidak bias dijadikan hujjah. Hasil komparasi
tersebut bisa merupakan hadits mansukh
(dihapus) oleh Al-Qur’an atau dihapus
oleh hadits lainnya. Salah satu contoh hadits yang dihapus oleh Al-Qur’an ialah
riwayat yang diterangkan oleh imam al-bukhari tentang shalat yang dilakukan
Rasulullah menghadap ke Bayt Al-Maqdis.
4.
Kaidah Sanad dan Matan Hadits
Hadits yang dihimpun oleh
ulama memiliki keanekaragaman dan keberadaan sanad serta matan yang
berbeda-beda. Dalam keaneka ragaman sanad, seringkali para penghimpun
menggunakan sanad yang dekat (ali) dan
seringkali menggunakan sanad yang jauh (nazil).
Juga seringkali terjadi hadits yang sanad, hadits ditemuinya bersambung kepada
nabi dan juga adakalanya hanya sampai tingkat sahabat, tabi’in, atau sampai ke atba’
tabi’in. matannya, adakalanya lurus (tidak ada matan lain yang berlawanan
dengan matan tersebut) dan seringkali mulus lafal-lafalnya (tidak ada perubahan
lafal-lafalnya).
a.
Jauh dan dekatnya sanad
Landasan metodologis yang
digunakan Al-Hakim Rasulullah SAW pernah didatangi seseorang yang menanyakan
tentang iman, kerasulan, shalat, sadaqah, puasa, dan haji, padahal ia sendiri
sudah mendengar dari orang lain yang menyampaikan kepadanya.
b.
Bersambung tidaknya sanad
Perkataan,
perbuatan, dan pengakuan yang dinisbatkan kepada Rasulullah, seringkali
bersambung langsung kepada nabi dan seringkali tidak bersambung langsung. Ulama
hadits menelaah bersambung dan terputusnya transmisi ini sampai kepada yang sekecil-kecilnya.
Jika sanad itu bersambung, ulama juga melakukan penelitian kepada siapa saja
orang-orang yang tercantum pada sanad tersebut. Dan jika sanad itu terputus,
harus ditunjukkan dimana letak terputusnya, pada tingkat sahabat, tabi’in, atau atba’ tabi’in. istilah teknis yang berkaitan
dengan terputus tidaknya suatu sanad hadits adalah musnad, mawquf, mursal, munqathi’, dan mu’dlal.
1.
Hadits Musnad
Hadits musnad yaitu hadits
yang diriwayatkan oleh ahli hadits yang menerimanya dari syaykh atau guru hadits yang jika dilihat secara sepintas, antara
guru-guru hadits di setiap generasi itu, satu sama lain pernah berguru dan
mendengarnya karena dimungkinkan oleh hidupnya yang semasa. Kemudian proses
selanjutnya, riwayat yang dibawakannya bersambung kepada sahabat yang masyhur, kemudia, ia menyandarkannya
kepada Nabi. Hadits musnad itu “shahih”, dan dapat dijadikan hujjah. Untuk
membuktikan suatu hadits musnad atau
tidak musnad sangat bergantung kepada
telaah rawi hadits itu sendiri.
2.
Hadits Mawquf
a.
Perbuatan Sahabat Rasul
Menurut al-Hakim, orang yang tidak mengetahui hadits akan
menduga bahwa hadits itu musnad karena menyebut sahabat rasulullah, padahal
hanya perbuatan sahabat belaka ketika mereka bertamu. Jadi, tidak selamanya
perkataan yang menyebut nama rasul merupakan hadits musnad. Demikian juga termasuk mawquf
jika dikatakan, “ia (sahabat) mengatakan ini dan itu, melainkan ini dan itu,
menyuruh ini dan itu”.
b.
Penafsiran Sahabat.
Penafsiran sahabat termasuk
kategori hadits mawquf. Jadi dalam term al-Hakim ada hadits yang dilihat dari
sisi luarnya dan dilihat juga sisi hakikatnya. Dilihat dari luarnya hadits itu
mawquf, tetapi hakikatnya mursal karena tidak adanya bukti bahwa tabi’in yang
meriwayatkan perkataan itu menerima dari sahabat Nabi. Term ini tidak dibahas
secara rinci oleh ulama lainnya. Dalam aspek ini al-Hakim lebih rinci dan lebih
rinci dan lebih jeli dari ulam lainnya.
BAB III
A.
Hadits Dilihat dari Aspek Kuantitas Ra’wi’
1.
Mutawatir
Al-hakim tidak mendefinisikan hadits mutawathir secara
eksplisit; hanya menunjuk hadits tertentu yang dianggapnya mutawathir, seperti
diisyaratkan tentang larangan mendustakan Nabi.
Konsep mutawathir ini baru secara definitive dikemukakan Al-Baghdadi,
meskipun Al-Syafi’i, ulama sebelumnya sudah mengisyaratkan dengan istilah “khabar ‘ammah”. Menurut Al-Baghdadi, hadits
mutawathir adalah “suatu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dengan
jumlah tertentu yang menurut kebiasaan mustahil mendustakan kesaksiannya. Ibnu
shalah mendefinisikan “mutawatir
ialah suatu ungkapan tentang berita yang diriwayatkan oleh orang yang
memperoleh pengetahuan, yang kebenarannya dipastikan dan sanadnya konsisten
memenuhi persyaratan tersebut dari awal sanad sampai akhirnya.
2.
Hadits Masyhur
Al-hakim membagi masyhur menjadi dua bagian, yaitu yang
shahih dan yang tidak shahih. Hadits masyhur yang shahih ini ada yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dan ada pula yang tidak. Hadits masyhur
itu pun ada yang hanya diketahui oleh para ahli hadits dan ada yang diketahui
orang banyak. Seperti contoh hadits masyhur yang tidak diriwayatkan dalam kitab shahih:
“Mencari ilmu itu wajib
atas setiap muslim”
3.
Hadits Gharib
Al-hakim membagi hadits ghorib menjadi tiga bagian, yaitu
gharib shahih, gharib al-syuyukh, dan
gharib al-mutun. Antara istilah gharib dan istilah tafarrud ada kalanya al-hakim masih ada perdebatan karena ketika
ia menerangkan gharib disebut pula kata
tafarrud (menyendiri). Ini artinya hadits gharib oleh al-hakim ialah hadits
yang diriwayatkannya secara menyendiri. Perbedaannya terletak pada siapa yang
meriwayatkan secara sendiri itu. Jika seorang yang menyendiri itu syaykh
(guru-guru hadits) gharib al-syuyukh;
jika terletak pada perbedaan lafal hadits dari seseorang disebut ghara ‘ib al-mutun. Di antara hadits gharib syuyukh ialah hadits yang menerangkan
“larangan Nabi terhadap pedagang di kota langsung menjual barang ke desa.
Hadits gharib matan, menurut Al-Hakim, sanadnya juga bisa saja gharib.
Contohnya hadits yang menerangkan tentang kekuasaan yang akan di pegang “Ali
bin Abi Thalib.
4.
Hadits Afrad atau Fard
Al-Hakim memberikan nuansa tertentu terhadap hadits gharib dan fard, walaupun kedua-duanya sama-sama mengenai riwayat yang
menyendiri. Hadits gharib ini lebih ditekankan kepada sekelompok orang yang
berada di kota tertentu yang menerima hadits itu dari seorang sahabat, lalu
diterima pula dari seorang ulama terkenal dan hadits yang diterima dari
penduduk kota lainnya. Misalnya. Hadits diriwayatkan oleh penduduk kufah,
madinah, hadits diterima dari ulama terkenal seperti Ibn ‘Uyaynah dari
al-Zuhri.
5.
Hadits diterima melalui jalur keluarga
Hadits tersebut diriwayatkan oleh sekelompok rawi yang
menerima dari para Imam Hadits. Para imam ini juga menerima dari ayah-ayah
mereka dan ayah-ayah mereka menerima pula dari kakek-kakeknya. Menurut
al-hakim, mereka adalah para sahabat Nabi dan cucu-cucunya orang yang
terpercaya; hadits-hadits yang diriwayatkan oleh mereka itu tercantum dalam
kitab-kitab hadits selain shahih. Al-Hakim menyatakan bahwa hadits itu
disepakati bersama, maksudnya ialah bahwa orang-orang yang meriwayatkan hadits
itu disepakati oleh syaykh dan haditsnya layak diterima.
B.
Hadits Dilihat dari Aspek Kualitas Ra’wi
Dalam
menentukan status hadits al-hakim seringkali menyebut shahih dan saqim dan
seringkali mengatakan shahih dan majruh. Perkataan majruh disini ialah
hadits yang rawi-nya tercela yang tentu akan berimplikasi terhadap ditolaknya
hadits yang diriwayatkannya. Hadits yang perawinya majruh ini dalam istilah lain ialah hadits dla’if karena terjadi hadits dla’if antara lain diriwayatkan oleh
orang-orang yang majruh.
Hadits
Shahih menurut al-Hakim
Hadits
shahih itu adalah hadits yang
memiliki lima persyaratan, yaitu musnad
(bersambung sanadnya), rawi-nya adil,
dlabith, tidak syadzdz, dan tidak ber-‘illah.
v Hadits
yang disepakati ke- shahih-annya
Ada
lima macam hadits yang disepakati ke-shahih-annya
a)
Hadits shahih menurut kriteria al-Bukhari
dan Muslim
b)
Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi
c)
Hadits dari kelompok Tabi’in
d)
Hadits fard dan gharib
Hadits
fard dan gharib yang disepakati ke-shahihannya adalah hadits yang
diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah
dan ‘adil.
e)
Hadits diterima melalui jalur keluarga
v
Hadits yang diperselisihkan
ke-shahih-annya
1.
Hadits-hadits Mursal
Hadits Mursal ialah ucapan tabi’in atau atba tabi’in yang langsung
dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, padahal jarak antara Rasul SAW dengan mereka
mencapai satu abad lamanya, dan tidak ada rawi-rawi yang menjadi perantara.
Adapun alasan mereka menolak hadits mursal ialah dalam al-Qur’an dengan jelas
Allah menerangkan “Perlu adanya sekelompok orang yang mencari ilmu secara
langsung untuk kemudian diajarkan lagi kepada kaumnya ketika pulang. Dalam
menerima hadits mursal bergantung kepada siapa orang yang me-mursal-kan itu.
Jika orangnya jujur dan terpercaya bisa saja hadits itu dipercaya.
2.
Riwayat orang-orang Mudallis
Riwayat orang-orang mudallis dapat dijadikan hujjah oleh sekelompok ulama Kufah jika
tidak ada riwayat yang sah yang mereka dengar dari orang lain. Namun, Ulama
Madinah menolaknya. Yang dimaksud dengan mudallis
ialah Ibnu ‘Uyaynah.
3.
Riwayat orang yang Tsiqah
Hadits yang termasuk
diperselisihkan oleh ulama adalah yang diriwayatka oleh orang-orang terpercaya
yang diterima dari orang yang terpercaya pula. Prosesnya adalah hadits diterima
dari orang tsiqah, diterima dari
seorang Imam yang diberi sanad olehnya. Kemudian, diriwayatkan oleh sekelompok
orang yang tsiqah pula, tetapi dengan cara mursal. Hadits yang seperti ini
banyak yang dianggap shahih menurut
madzhab fuqaha’, tetapi ulama hadits
tidak menerimanya. Tidak selamanya hadits itu di perselisihkan oleh ahli
hadits, tetapi bisa saja suatu hadits disepakati oleh ahli hadits dan ditolak
oleh ahli fiqh atau sebaliknya.
4.
Riwayat Ahli Bi’dah
Hadits yang diterima dari
ahli bi’dah diperselisihkan oleh ulama antara diterima dan tidak diterima.
Menurut kebanyakan ahli hadits riwayat mereka boleh diterima dengan syarat
orangnya jujur, sebagaimana dilakukan juga oleh al-Bukhari, Muslim, Ibnu
Khuzaymah, dan lain-lain.
Imam Maliki sendiri
mengatakan, “Ilmu itu (Hadits) tidak boleh diambil dari empat golongan, yaitu
dari orang safih, pendusta, pengikut
aliran hawa nafsu (ahli bi’dah) yang
membawa kepada alirannya, dan orang saleh atau tukang ibadah yang tidak
mengetahui hadits.
a.
Hadits Dla’if Menurut Al-Hakim
1.
Orang yang mendustakan Nabi
Ancaman Nabi SAW atas orang
yang mengatasnamakna Nabi, padahal Rasul tidak mengatakannya. Orang-orang yang
melakukan perbuatan tersebut antara lain adalah orang-orang yang zindiq yang selalu membuat hadits mawdlu’. Yaitu orang zindiq, mengikuti hawa nafsu, keutamaan
amal, menjilat penguasa, orang yang mempertahankan kehormatan, menggunakan
sanad yang shahih dengan matan yang
palsu sebagai penipu.
2.
Rekayasa Sanad agar asing bagi
pendengar
Orang-orang yang
digolongkan majruh adalah orang-oang yang melakukan rekayasa sanad hadits yang
diterima dari rasulullah saw, yaitu dengan membuat sanad baru. Dengan cara ini
ia ingin menempatkan dirinya di jajaran ahli hadits.
3.
Orang yang rakus meriwayatkan sanad
Bagian ini terjadi pada orang
yang tergolong ahli ilmu, tetapi rakus meriwayatkan hadits, yaitu dengan
meriwayatkan hadits dari orang yang tidak diketahui riwayat hidupnya.
Seringkali orang semacam itu meriwayatkan hadits dari orang yang sudah
meninggal, padahal ketika meninggalnya rawi yang mengaku bertemu orang
tersebut, belum lahir.
4.
Orang yang mengubah perkataan sahabat
Di antara orang yang
tercela adalah orang yang mengubah perkataan sahabat menjadi hadits yang
dinisbahkan kepada Nabi, yaitu orang yang meriwayatkan hadits yang sebenarnya
mawquf kemudian dijadikan marfu’.
5.
Orang yang sengaja me-mawsul-kan
hadits mursal
Di antara orang yang
termasuk dalam kelompok majruh adalah orang yang dengan sengaja mengubah hadits
mursal menjadi mawsul dengan cara menambah sahabat seperti Ibrahim bin Muhamma al-Maqdisi.
6.
Orang-orang saleh dan ahli ibadah
Mereka umumnya orang-orang
saleh dan ahli ibadah, tetapi tidak pernah mengkhususkan dirinya dalam
memelihara hadits, seperti menghafal dan meneguhkan diri pada hadits yang
diriwayatkannya.
7.
Menggeneraslisasikan Sanad
Tipe rawi hadits seperti
ini ialah orang yang menerima hadits dari guru-gurunya. Kemudian dengan sengaja
mereka meriwayatkan hadits yang tidak pernah didengar dari guru itu. Kesalahan
orang seperti itu ialah meriwayatkan kembali hadits yang tidak didengar kepada
orang lain dengan tidak membedakan hadits yang didengar dari gurunya langsung.
8.
Orang-orang yang Lalai Ketika
Mendengar dan Menerima Hadits dari Gurunya
Orang yang termasuk majruh
(dicela) riwayatnya adalah orang yang mendengar hadits dari gurunya, tetapi ia
lalai menulis nama-nama rawi yang disebutkan gurunya, sehingga ia keliru ketika
mengulangnya kembali nama dan umurnya.
9.
Orang yang Profesinya bukan Ahli
Hadits
Orang yang seperti ini sama
sekali tidak ada keahlian dibidang hadits, tetapi memaksakan diri mengajarkan
hadits yang mereka sendiri tidak tahu betul dan tidaknya memahami hadits yang
diriwayatkan.
10. Orang
yang Catatannya Rusak
Orang yang termasuk majruh adalah orang yang catatannya
terbakar, dirampok, hilang, tidak mulus lagi, tenggelam, dicuri, dan lain-lain.
Kemudian, memaksakan dirinya meriwayatkan hadits berdasarkan hafalan yang
tersisa. Harus dilihat dahulu apak ia meriwayatka hadits itu sebelum catatannya
atau ingatannya terganggu atau sesudahnya. Inilah tingkat orang majruh yang menurut al-Hakim tidak boleh
diterima riwayatnya karena dianggap lemah.
Ø
Larangan Menulis Hadits Pada Masa Nabi
Di masa Rasulullah SAW masih hidup, hadits belum
dibukukan, dalam arti umum, seperti Al-Qur’an. Hal ini disebabkan dua faktor
berikut:
1.
Para sahabat berpegang pada kekuatan
hafalan dan kecerdasan akal mereka, di samping tidak lengkapnya alat-alat tulis
yang mereka miliki.
2.
Adanya larangan menulis hadits. Muslim
dalam sahihnya, meriwayatkan dari sa’id al-khudri, bahwa nabi Muhammad saw
berkata:
“Janganlah kamu menulis sesuatu (yang kamu terima) dariku
selain Qur’an. Barang siapa yang telah menulis sesuatu selain Qur’an, hendaklah
dihapus”.
Bolehjadi, larangan penulisan hadits itu karena
dikhawatirkan akan tercampurnya hadits dengan Qur’an, atau penulisan hadits itu
akan melalaikan mereka dari Qur’an, atau larangan itu ditujukan kepada
orang-orang yang dipercayai kekuatan hafalannya. Tetapi bagi mereka yang tidak
lagi dikhawatirkan bahwa hadits dengan Qur’an akan tercampur aduk, seperti
mereka yang pandai baca tulis, atau karena mereka khawatir akan lupa, maka
penulisan hadits diperbolehkan. Dan dalam pengertian inilah menurut beberapa
riwayat penulisan hadits bagi sementara sahabat diizinkan.
Ø Penulisan
Hadits Setelah Nabi Wafat
Tidak berselang lama setelah Rasulullah SAW wafat, para
penulis hadits, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in, banyak bermunculan.
Diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, bahwa ia senantiasa menyertai Ibn Abbas r.a.
untuk mendengarkan hadits darinya. Hadits-hadits yang didengarnya itu dicatat
ketika ia dalam perjalanan, kemudian disalin sesampai dirumah.
Ø Pembukuan
Hadits Secara Umum
Pada abad pertama perkembangan hadits ialah bahwa
sebagian perawi mencatat hadits-hadits, sedang yang lain tidak mencatatnya.
Dalam meriwayatkannya, mereka hanya berpegang pada ingatan dan kekuatan
hafalannya. Keadaan demikian terus berlangsung hingga masa pemerintahaan Khalifah
Umar bin Abdul Aziz r.a. Ia tergerak hatinya dan merasa perlu membukukan hadits
dan sunnah. Hal ini disebabkan ia merasa khawatir akan hilang dan lenyapnya
hadits-hadits bersama para penghafalnya yang kian hari kian banyak yang
meninggal, atau karena ia khawatir tercampur baurnya hadits-hadits asli dengan
yang batil. Di samping itu, mulai bermunculanlah kelompok ateis yang mempunyai tujuan akan menghancurkan agama dengan cara
membuat-buat ajaran palsu dan memasukkan ke dalamnya sesuatu yang sebenarnya
bukan ajaran agama. Sebagaimana dimasa itu telah muncul pula
pertentangan-pertentangan politik, mazhab dan golongan bangsa yang menyebabkan
meluasnya hadits-hadits palsu yang mendukung kepentingan masing-masing.
KESIMPULAN
Para ahli bahasa mendefinisikan yang dimaksud dengan
“sebab” (arab: sababa) adalah “al-habl”: tali, yang menurut lisan al-‘arab
dinyatakan bahwa: kata ini dalam bahasa arab berarti “saluran”, yang berarti:
“segala sesuatu yang menghubungkan satu benda ke benda lainnya”. Para ahli
istilah memaksudkannya sebagai : “segala sesuatu yang mengantarkan pada
tujuan”.
Sementara
itu, para ahli hukum islam mendefinisikannya dengan: “suatu jalan menuju
terbentuknya suatu hukum tanpa adanya pengaruh apa pun dalam hukum itu”.
Munculnya
(wurud) hadits sebagai: “sesuatu yang
membatasi arti suatu hadits, baik berkenaan dengan arti umum atau khusus,
mutlak atau terbatas, di nasikh (dihapus)
dan seterusnya, atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadits saat
kemunculannya.
Manfaat
mempelajari Asbabul Hadits
1.
Mentakhsish (mengkhususkan) arti yang
umum
Seperti contoh hadits dibawah ini:
“Paha orang yang shalat dengan orang
yang duduk, setengah dari shalat orang yang berdiri”.
2.
Membatasi arti yang Mutlak
3.
Merinci yang Mujmal (global)
4.
Menerangkan ‘illat (alasan) suatu
hukum
Salah satu keistimewaan para ahli ilmu di dunia islam,
terutama para imam hadits, ialah banyak melakukan lawatan dan perjalanan. Dalam
hal ini, mereka mengikuti jejak para sahabat dan tabi’in. apabila mereka
menerima sebuah hadits dari sanad perawi yang dapat dipercaya, mereka tidak
merasa puas dengan cara ini, tetapi mereka melakukan perjalanan berhari-hari,
bahkan berbulan-bulan untuk mendapatkan hadits tersebut secara langsung dari
orang yang meriwayatkannya, tanpa melalui perantara.
DAFTAR
PUSTAKA
Abuddin
Nata, Prof. Dr. H. M.A. Metodologi Studi
Islam. 2004. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Abdurrahman.M.Dr.
Pergeseran Pemikiran Hadits. 2000. Jakarta:
Paramidana.
Al-Hafizh
Jalaluddin As-Sayuthi. Proses Lahirnya Sebuah
Hadits. 1986. Bandung: Pustaka.
Abu
Muhammad Muhammad Syuhbah. Kitab Hadits
Shahih Yang Enam.1994. Bogor: Pustaka Litera Antarnusa.