HISTORISITAS PMII DAN
GENEOLOGI GERAKAN MAHASISWA
SEKILAS HISTORISITAS
PMII
Secara
historis PMII berdiri pada tahun 1960. Kondisi sosial politik waktu itu sedang
terjadi rebutan kekuasaan antara kaum Islam modernis dengan kalangan NASAKOM
(NasionaIis, Agarna dan Komunis). Pada waktu itu kekuasaan yang dekat adalah
PKI dengan orang-orang tradisionalis dan nasionalis. Karena ketiga kelompok ini
meiliki titik temu dalam garis perjuangan maupun pandangan politiknya. Pada
pemilu tahun 1955 PKI dan NU memiliki suara yang sangat signifikan dibangding
dengan partai yang lainnya. Semua partai politik mempunyai sayap poIitik ditingkat
mahasiswa, antara lain; Masyumi-HMI, PKI-CGMNI, PMI-GMNI. Saat itu terjadi
konflik ditingkat HMI yang saat itu merupakan satu-satunya organisasi mahasiswa
Islam. Kebetulan dalam organisasi ini ban yak pula kader-kader NU, yang merasa
tidak cocok dengan strategi dan kebijakan organisasi. Sehingga akhimya Mahbub
Junaidi, dkk, keluar dari HMI dan membentuk PMII untuk mewadahi mahasiwa
tradisionalis di Surabaya pada tanggal16 April 1960. Pada awalnya PMII juga
merupakan Under-Bow NU, yang kemudian melepaskan diri dari cengkeraman partai
pada tahun 1872 dengan deklarasi Munarjati. Pasca kudeta militer tahun 1966
kondisi so sial politik berubah total. Semua pos-pos penting diisi oleh
tentara. Kekuatan Islam akomodatif dan konfrontatif dengan negara pada masa ORLA
ditimbulkan karena keduanya tidak bisa diajak untuk menciptakan stabilitas
keamanan. Dengan ideologi developmentaIisme negara korporasi ORBA menrapkan
kebijakan pembangunan sebagai pangIima untuk mengontrol kesejahteraan kelas
menengah, hutang besar-besaran dan WorId Bank digunakan untuk membangun
berbagai proyek yang menguntungkan pemilik modal dan orang kota. Pada dataran
inilah PMII dengan semangat kerakyatan dan kebangsaan berada di garis
perjuangan membela rakyat tertindas.
Sekilas Historisitas
PMII
Secara
historis PMII berdiri pada tahun 1960. Kondisi sosial politik waktu itu sedang
terjadi rebutan kekuasaan antara kaum Islam modernis dengan kalangan NASAKOM
(NasionaIis, Agarna dan Komunis). Pada waktu itu kekuasaan yang dekat adalah
PKI dengan orang-orang tradisionalis dan nasionalis. Karena ketiga kelompok ini
meiliki titik temu dalam garis perjuangan maupun pandangan politiknya. Pada
pemilu tahun 1955 PKI dan NU memiliki suara yang sangat signifikan dibangding
dengan partai yang lainnya. Semua partai politik mempunyai sayap poIitik
ditingkat mahasiswa, antara lain; Masyumi-HMI, PKI-CGMNI, PMI-GMNI. Saat itu
terjadi konflik ditingkat HMI yang saat itu merupakan satu-satunya organisasi
mahasiswa Islam. Kebetulan dalam organisasi ini ban yak pula kader-kader NU,
yang merasa tidak cocok dengan strategi dan kebijakan organisasi. Sehingga
akhimya Mahbub Junaidi, dkk, keluar dari HMI dan membentuk PMII untuk mewadahi
mahasiwa tradisionalis di Surabaya pada tanggal16 April 1960. Pada awalnya PMII
juga merupakan Under-Bow NU, yang kemudian melepaskan diri dari cengkeraman
partai pada tahun 1872 dengan deklarasi Munarjati.
Pasca
kudeta militer tahun 1966 kondisi so sial politik berubah total. Semua pos-pos
penting diisi oleh tentara. Kekuatan Islam akomodatif dan konfrontatif dengan
negara pada masa ORLA ditimbulkan karena keduanya tidak bisa diajak untuk
menciptakan stabilitas keamanan. Dengan ideologi developmentaIisme negara
korporasi ORBA menrapkan kebijakan pembangunan sebagai pangIima untuk mengontrol
kesejahteraan kelas menengah, hutang besar-besaran dan WorId Bank digunakan
untuk membangun berbagai proyek yang menguntungkan pemilik modal dan orang
kota. Pada dataran inilah PMII dengan semangat kerakyatan dan kebangsaan berada
di garis perjuangan membela rakyat tertindas. (lebih lengkap lihat referensi)
Kelahiran
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia {PMII} tidak dapat dipisahkan dengan
kelahiran dan keberadaan IPNU-IPPNU secara Yuridis formal, Dalam wadah
IPNU-IPPNU itu juga banyak terdapat mahasiswa yang menjadi anggotanya. Bahkan
hampir seluruh anggota pusat telah berpredikat sebagai mahasiswa. Oleh karena
itu lama kelamaan ada keiginan diantara mereka untuk memebentuk wadah yang
khusus menghimpun para mahasiswa NU. Suara ini sangat nyarig terdengar terutama
dalam Muktamar II IPNU pada tanggal 1-5 januari 1957 di pekalongan.
Lahirnya PMII dan Pengembangan Sayap Pergerakan
Musyawaroh
mahasiswa NU disurabaya sebagai hasil keputusan Konbes di kaliurang Yogyakarta
pada tanggal 14-17 Maret 1960, mempercayakan kepada tiga belas orang sebagai
perintis awal, yaitu:
1. Sahabat Kholid
Mawardi {Jakarta}
2. Sahabat Said Budairy
{Jakarta}
3. Sahabat M. Sobich
Ubaid {Jakarta}
4. Sahabat M. Makmun
Syukri. BA {Bandung}
5. Sahabat Hilman
Badrudinsyah {Bandung}
6. Sahabat H. Ismail
Makky {Yogyakarta}
7. Sahabat Nuril Huda
Suaidy. HA {Surakarta}
8. Sahabat Munsif
Nahrowi {yogyakarta}
9. Sahabat laeliyMansur
{Surakarta}
10. Sahabat Abdul
Wahab Jaelani {Semarang}
11. Sahabat Hisbulloh
Huda {Surabaya}
12. Sahabat cholid
Marbuko {Malang}
13. Sahabat Ahmad
Hussain {Ujung Pandang}
Ketiga
belas orang ini sebelumnya menghadap bapak Idham Cholid {ketua PB Partai NU}.
Dalam pertemuan itu, selain memberikan petunjuk-petunjuk yang merupakan
landasan pokok untuk musyawaroh, belio juga menekankan hendaknya organisasi
yang akan diwujudkan itu benar-benar kader partai NU dan menjadi mahasiswa yang
berprinsip ilmu untuk diamalkan bagi kehidupan rakyat, bukan ilmu untuk ilmu
dan yang lebih penting lagi yaitu menjadi manusia yang cukup cakap serta
bertaqwa kepada tuhan Alloh SWT. Pesan ini disublimasi dalam tujuan PMII yakni
terbentuknya pribadi muslim yang berbudi luhur, bertaqwa kepada Alloh, berilmu,
cakap dan bertanggung jawab dalam pengamalan ilmu pengetahuannya. Setelah itu
beliau menyatakan menyetujui musyawaroh mahasiswa NU yang diadakan di Surabaya
dikemudian hari.
Seperti
kita ketahui kelahiran PMII disponsori oleh 13 tokoh Mahasiswa mereka berasal
dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang dan
makasar. Maka kedelapan kota itulah merupakan cikal bakal adanya Cabang-cabang
PMII. Ke 13 orang ini memutuskan pada tanggal 14-15 April 1960 bahwa:
1.
Berdirinya organisasi
Mahasiswa NU bernama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia [PMII].
2.
Dibuatnya susunan
peraturan dasar PMII yang didalam mokodimahnya jelas dinyatakn bahwa PMII
adalah merupakan kelanjutan dari IPNU dan IPPNU.
3.
Karena
persidangan dari musyawarah Masiswa NU ini bertempat di madrasah mu’alim NU
wonokromo Surabaya yang dimulai tanggal 14-16 april 1960 dan peraturan
dasarPMII dinyatakan berlaku pada tanggal 21 syawal 1379 H atau bertepatan
dengan 17 april 1960 maka mulai hari itulah PMII dinyatakan berdiri dan tanggal
17 april dinyatakan sebagai hari jadi PMII dan akan diperingatio sepanjang
tahun dengan istilah HARLAH PMII.
4.
Musyawarah juga
memutuskan untuk membentuk tiga orang formatur, yakni: H. Mahbub Junaidi,
sebagai Ketua Umum, Ahmad Cholid Mawardi sebagai Ketua I dan M. Said Budairi
selaku Sekrtaris Umum Pengurus Pusat PMII.
SEJARAH
GEOPOLITIK-EKONOMI NASIONAL, INTERNASIONAL
Pelacakan Gerakan
Mahasiswa Level Makro
Kecenderungan
menguatnya neo-Iiberalisme terjadi dimana-mana, terutama di negar berkembang
atau negara dunia ketiga. Kecenderungan itu ditunjukkan oleh peran membesar
yang dipermainkan oleh berbagai intitusi perekonomian dunia, seperti;
[nternationa! Monetarian ftmd (IMF), International Bank for Recontruction of
Development (IBRD), World Trade Organization (WTO). Institusi yang didukung
penuh oleh negara-negara maju begitu ganas mempromosikan struktur perekonomian
dunia yang leizes-fair (membiarkan sesuai mekanisme pasar) dan meminimalisir
campur tangan negara yang dihegemoni. Neo-liberalisme temyata menjadi gurita
panas yang mengecam kekuatan ekonomi di negara berkembang. Pandangan bebasa ini
menjadi paradoks dengan sedemikian rupa mengatur mekanisme perekonomian dunia.
Dengan melihat struktur perekomian negara-negara pheriphery bisa disimpu1kan
bahwa kecenderungan neo-liberalisme ini sangat mempengaruhi perekonomian di
tingkat akar rumput. Mainstream kapitalisme global dengan wajah baru telah
merasuk dalam kebijakan yang dikeluarkan oleh pemegang kebijakan di
masing-masing negara berkembang. Menghadapi konsekuensi buruk kapitalisme
global dan neoIiberalisme itu menjadi tesis runtuhnya negara berkembang.
Perkembangan global kontemporer dipicu oleh perkembangan teknologi produksi,
informasi, telekomunikasi, dan globalisasi. Kekuatan negara menjadi sernakin
rapuh untuk mengontrol fluktuasi ekonomi politik. Keterpurukan negara
berkembang setelah tidak bisa mengembalikan tatanan ekonomi ditambah lagi
dengan pengabaian Human Right (HAM), komflik etnis, pelecehan seksual,
eksploitasi buruh, konflik atas nama agama, inkonsistensi para birokrat, dan
sekian rnasalah yang menjadi entitas problem.
Dalam hal
perekonomian ciri-ciri struktur keterbelakangan negara indonesia diindikasikan
dalam bemagai faktor kehidupan. Salah satu yang menjadi momok besar atau
kesulitan menjadi negara maju adalah bahwa Indonesia tidak sanggup untuk
bergabung dengan kapitalisme global, teritama sejak ORBA berkuasa tahun 60-an.
Indonesia temyata msuk dalam kungkungan anak kandung kapitalisme yaitu
developmentalisme (pembangunanisme). Ideologi developmentalisme temyata memaksa
Indonesia untuk larut dalam gaya pembangunan kapitalis yang direpresentasikan
melauli kebijakan negara yaitu REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun),
kebijakan ini berdampak pada jaminan kesestabilan politik untuk menarik
investor asing. Kestabilan politik ORBA ini dicapai dengan melakukan tindakan
yang sangat dominatif dan bersifat Otoritarian-Birokratik terhadap kedaulatan
rakyat. Indikasi dari gaya pemerintahan Otoritarian-Birokratik adalah
berkuasanya militer secara institusional, penyingkaran dari partisipasi, kooptasi
terhadap organisasi massa. Gaya pemerintahan yang lebih mengutamakan
pertumbuhan ekonomi berdasarkan filsafat trickle down effek mengisaratkan bahwa
pertumbuhan ekonomi yang Iebih tinggi harus dicapai terlebih dahulu sebelum
dibagikan secara m.erata kepada seluruh masyaraka - harus dibayar dengan
diberangusnya hak-hak politik rakyat. Akibatnya pertumbuhan ekonomi tinggi ini
hanya dinikmati oleh minoritas-hal ini berdampak terjadinya kesenjangan antara
si kaya dengan si miskin.
Strategi Gerakan
Sosial
Empat
landasan dalam menyusun strategi gerakan sosial, yaitu: Pertama,
Ideologi, dasar filosofi gerakan merupakan nilai-nilai yang menjadi landasan
pergerakan mahasiswa. Sebuah institusi kemahasiswaan yang mengemban idealisme
yang tinggi harus memakai filsafat gerakan pembebasan (liberasi) dan
kemandirian (interdependensi). Liberasi adalah sebuah metode alternatif untuk
mencapai kebebasan individu, sehingga individu tersebut mempunyai kualitas dan
mental yang kuat untuk mendobrak dan menggeser kekuasaan negara yang represif
dan totaliter dan melakukan perlawaman atas ekspansi hegemoni negara, untuk
mengembalikan kekuasaan tersebut kepada otoritas dan kedaulatan rakyat.
Liberasi ini juga memberikan kebebasan berekspresi dan kebebasan berfikir tanpa
dipasung oleh sebuah rezim. lnterdependensi adalah kemandirian dalam
mengembangkan kreatifitas, keterbukaan, rasa tanggungjawab dalam dinamika
pergerakan untuk membangun moralitas dan intelektualitas sebagai senjata dan
tameng dalam setiap aksi. Aksi yang diiringi dengan interdependensi akan
mewujudkan kesadaran mahasiswa dalam menjaga jarak dan hubungan dengan
kekuasaan, sehingga aksi mahasiwa merupakan kekuatan murni untuk membela
kepentingan rakyat dan melakukan transformasi sosial tanpa terkooptasi oleh
kepentingan politik kelompok manapun.
Kedua, Falsafah
Gerakan, strategi ini lebih kepada falsafah bertindak dengan model pendekatan
(appoach methode). Dalam pendekatan ini gerakan mahasiswa berupaya mengambil
jarak dengan negara tanpa menafikan keberadaan dan legitirnasinya, sehingga
kekuatan negara dapat diimbangi oleh kekuatan masyarakat. Model pendekatan ini
adalah proses; (a) transformasi dari orientasi massa ke individu, (b)
transformasi dari struktur ke kultur, (c) transfornzasi dari elitisme ke
populisme, (d) transformasi dari negara ke masyarakat.
Ketiga,
Segmenting, strategi ini merupakan pilihan wilayah gerak.
Yang harus dipahami
bahwa terbentuknya Student Government adalah sebagai upaya taktis untuk
melakukan proses transformasi sosial, berangkat dari student movement menuju ke
social movement. Transformasi sosial merupakan wahana yang paling kondusif
untuk membebaskan kaum tertindas menuju masyarakat mandiri (civil society).
Gerakan mahasiswa juga harus mengarah pada advokasi akan hak-hak kaum bawah,
sehingga posisi mahasiswa merupakan penyambung lidah dan jerit kaum yang
termarginalkan oleh penguasa. Kebijakan pemerintah yang sentralistik tanpa
melibatkan rakyat dalam mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan publik,
serta konstalasi politik yang carut marut merupakan lahan garapan mahasiswa
baik yang ada di intra parlemen yaitu BEM atau organisasi ektra perlementer
atau luar kampus seperti PMII, HMI MPO, HMI DIPO, IMM, KAMMI, FPPI, LMND dan
organisasi ekstra palementer lainnya.
Keempat, Positioning,
artinya adalah bahwa lembaga eksekutif tersebut harus meletakkan dasr
organisasi sebagai institusi profit atau non-profit. Idealnya menurut hemat
penulis bahwa lembaga eksekutif ini yang berada pada jalur intra parlementer
lembaga kemahasiswaan ini menggeser paradigrna yang tadinya dari gerakan
student movement menjadi social movement. Sehingga aras gerak yang dilakukan
lebuih kepada pemberdayaan rakyat keeil yang tertindas dan terhegemoni oleh
kekuasaan yang represif.
Mahasiswa dan
Globalisasi: Sebuah Kajian Sejarah
Gerakan
mahasiswa, baik dikomando oleh intra maupun ekstra tidak pernah muneul dalam
ruang hampa. Sebuah pergerakan akan tetap muncul dalam fase sejarah apapun.
Entah itu fase feodalisme, kolonialisme, kemerdekaan, totalitarianisme,
liberalisme, Namun demikian gerakan mahasiswa bukanlah entitas yang seragam.
Ada pandangan bahwa "gerakan" akan muncul sebagai sebuah reaksi
spontan walaupun tidak terorganisir denganjelas. Misalnya gerakan mahasiswa akan
muneul jika harga sembako naik, BBM melambung tinggi, atau isu-isu lainnya yang
anggap populis. Namun demikian pada hakekatnya sebuah gerakan (movement)
merupakan upaya melakukan antitesa dari kondisi status-quo yang konservatif dan
tidak memiliki kepekaan akan cita-cita masyarakat yang lebih maju. Mereka
percaya atas "testamen" pernyataan sejarah bahwa tidak ad~ yang abadi
di dunia ini kecuali perubahan. Toh, manusia akan selalu ada dalam pergulatan
dialektik untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Berangkat dari kondisi
inilah saya akan coba memaparkan pandangan tentang hakikat gerakan perubahan
yang di dalarnnya terkandung subjek sejarah yaitu gerakanmahasiswa. (Saya orang
yang pereaya bahwa hakikat dari gerakan politik mahasiswa pada umurnnya adalah
perubahan). Ia (GM-red) tumbuh karena adanya dorongan untuk mengubah kondisi
kehidupan yang ada untuk digantikan dengan situasi yang di anggap lebih
memenuhi harapan. Philip G. Albach dalam bukunya Student in Reoolt, melihat
posisi gerakan mahasiswa berada dalam dua level yaitu sebagai proses peru
bahan, yaitu menumbuhkan perubahan sosial dan mendorong perubahan politik
(Insyaallah sudah diterjemahkan oleh sahabat dari Litera berjudul Revolusi
Mahasiswa tetapi sampai saat ini saya tidak memberikan pendapat apakah terjemahannya
bagus atau tidak). Sejarah juga banyak mencatat bagaimana GM bisa bergerak
dalam level sistem politik yang akan meluas pada pengaruh kebudayaan dan
sosial. Hidup di negara berkembang seperti Indonesia kita memiliki banyak
referensi tentang gerakan mahasiswa baik perkembangan waktu, berbagai perubahan
ideologi maupun strategi dan taktiknya. Seeara historis tulisan ini akan
melaeak mengapa gerakan mahasiswa dibutuhkan dalam konteks perkembangan
masyarakat negara Dunia Ketiga.
Legitimasi Sejarah Gerakan
Mahasiswa
Mari kita
laeak latar belakang mengapa gerakan mahasiswa banyak muneul di negara
berkembang. Pertama, modernisme dalam banyak bidang ekonomi politik,
terutama dalam rangkaian dengan kekuasaan, oleh kekuatan dan dominasi ekonomi
politik negara-negara Utara terhadap negara-negara Selatan, menyebabkan
terjadinya transformasi sosial dalam bentuk kolonialisme, imperialisme sampai
neo liberalisme yang terjadi hingga sekarang ini. Fakta akan adanya dominasi
dan kesenjangan kelas semakin kentara dan tidak bisa di tutup-tutupi. Ini yang
menjadi latar belakang utama kemunculan gerakan-gerakan pembebasan yang banyak
didominasi kelompok muda intelektual yaitu mahasiswa. Dalam banyak hal
keterlibatan gerakan mahasiswa dalam gerakan-gerakan terutama gerakan politik
banyak mendapat pengaruh dari kondisi domestik maupun global. Namun hal yang
eukup menjadi dorongan utama adalah kondisi politik dalam negeri. MisaInya saja
kediktatoran pemerintaham militer Soeharto atau kediktatoran rezim yang sarna
di Amerika Latin menjadi pemicu awal dari tumbuhnya gerakan-gerakan demokratik
mahasiswa.
Kedua, di
Indonesia Gerakan Mahasiswa mendapat suatu legitimasi sejarah atas
keturutsertaannya terlibat dalam gerakan kemerdekaan dan semenjak berdirinya
negara menjadi bagian yang di akui dari sistem politik. Jika kita telusuri,
misaInya, perjuangan kemerdekaan Nasional yang didorong Soekarno Cs lewat
kelompok-kelompok studinya, Hatta lewat Perhimpunan Indonesianya, temyata
efektif dan mampu seeara luas membangkitkan perasaan untuk sesegera mungkin
lepas dari belenggu kolonialisme. Kelompok yang dulunya di sebut "pemuda
pelajar" ini menjadi semaeam "martir kelompok terdidik" yang
membawa angin perubahan untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakat akan kemerdekaan.
Ketiga, kekurangan lembaga dan struktur politik yang mapan. Akibat dari
itu adalah relatif mudahnya bagi setiap kelompok yang terorganisir untuk
mempunyai dampak langsung tehadap politik. Eksistensi politik GM muncul ketika
kebutuhan tersebut hadir. Apalagi di barisan bawah gerakangerakan yang
disponsori rakyat belum terakomodasi menjadi kekuatan perubahan yang
signifikan. GM mulai membentuk suatu elit, sehingga merasa berperan dalam
kemungkinan terjadinya transformasi sosial yang Iebih luas. Akses informasi
tentang situasi perpolitikan memungkinkan banyak telaah untuk pembuktian bahwa
proses regimentasi politik totaliter harus mendapat tanggapan yang serius dan
diterjemahkan dalam bentuk gerakan-gerakan yang lehih konkrit. Banyak di antara
universitas yang berada di perkotaan yang sebagian besar populasi mahasiswa
berada dalam jarak jangkauan yang mudah terhadap pusat kekuasaan. Ini
memungkinkan GM mudah melakukan sebuah aksi untuk memblow-up isu yang potensial
dalam upaya pemobilisasian kesadaran massa yang lebih maju. Beberapa fenomena
politik mahasiswa menjadi makin membesar karena ia di lakukan di tempat-tempat
yang relatif mudah di jangkau media. Peristiwa 1965, 1974, sampai peristiwa mei
98 menjadi semaeam pilot project radikalisme mahasiswa yang bergerak di lini oposisi
pemerintahan. GM kemudian meneuat menjadi semaeam gerakan-gerakan ujung tombak
(avant garde), dan eksistensinya semakin menjadi jelas ketika di dalam
pereaturan politik di tingkatan negara dan massa akar rumput (grass roots),
merasa kekurangan oposisi dari sistem politik rezim parlementarian atau
sentralisme. Sehingga GM seringkali menjadi "cabang keempat" dari
sistem pemerintahan. Berbagai faktor seperti situasi ekonomi poUtik yang
memprihatinkan kehidupan umum, ketidakadilan sosial, kebijaksanaan luar negeri
pemerintah yang dianggap merugikan rakyat, politik yang telah menjadi tidak
demokratis, dari semua faktor tersebut, mahasiswa kemudian membuat jalinan
ideologis yang dalamjangka waktu panjang akan menimbulkan gerakan transformasi
sosial. Beberapa dekade terakhir GM meneoba untuk membedkan tawaran yang lebih
jauh mengenai hubungannya dengan realitas rakyat yang menderita akibat
perlakuan rezim. Pasea diberlakukan NKK/ BKK di semua perguruan tinggi, GM yang
memilih untuk tetap menjaga jarak dengan kekuasaan langsung bersentuhan dengan
kegiatan advokasi permasalahan rakyat.l<asus Badega, Kedung Ombo, Rancamaya,
dB, menjadi saksi kegigihan GM yang tidak lagi mengemukakan ekspresi teoritik
dalam diskusi-diskusi tapi langsung bergerak dalam llevel praksis. Sampai
dengan tahun 1998 klimaks GM terjadi dan dalam skala luas memperoleh dukungan
luas dari rakyat.
Gerakan Mahasiswa
Mengusung Isu Pendidikan
Selain
kondisi-kondisi di atas, sebenarnya faktor penting keterlibatan mahasiswa dalam
gerakan-gerakan politik yaitu faktor subjektif posisi kelas mahasiswa.
Mahasiswa yang terdefinisikan dalam wilayah akademisnya terutama mengenai
kondisi pendidikan seringkali menjadi pemieu yang eukup material dalam
memotivasi GM. Seringkali mahasiswa dari kelas menengah bawah merasa ia adalah
generasi yang tersingkirkan terutama saat ideologi developmentalisme gencar
dipaksakan oleh rezim orde baru. Sehingga ada gejala para lulusan PT yag kurang
memenuhi "kualifikasi" pembangunan dianggap merupakan faktor tersier
yang tidak produktif dalam perekonomian. R. Michels merumuskan nya sebagai
kelas sosial proletar intelektual. Sampai saat ini, kondisi pendidikan yang
masih didominasi oleh kenyataan tidak bisa menjadi jaminan sosial seperti
harapan untuk mejadi orang-orang yang sukses dan bisa memperoleh kemapanan
hidup, memancing keresahan. Bayangan banyaknya generasi lulusan yang
menganggur, yang tercatat sampai 20% dengan kenaikan 2-3 persen per tahun,
membuat banyak mahasiswa kebat-kebit meyaksikan ini. Harapan perubahan yang berkembang
rnenjadi upaya transformasi sosial, membuat kelompok-kelompok mahasiswa
bereksperimen membentuk komunitas yang bisa secara lugas akar penyebab ketidak
adilan ini Sehingga saya pikir cara-cara baru sosialisasi, pengembangan
pendidikan yang antiotoriter, serta bentuk-bentuk persahabatan baru, kesemuanya
ini bukan hanya upaya untuk mengubah pola-pola masyarakat yang ada tetapi juga
usa aha memecahkan persoalan-persoalan pribadi mereka. Apalagi sistem
pendidikan menjadi sangat rancu dan berorientasi pada pengukuhan dominasi
idelogis negara hadir dengan kuatnya. Peran ideologisasi pragmatisme negara
menyebabkan mahasiswa merasa teralienasi. Konsensus kelas menengah mengenai
nilai dan norma pendidikan yang hams mengacu pada kebutuhan masyarakat konsumtif,
dalam beberapa hal justru menjadikan rnahasiswa sadar akan posisi
konsumennya" sehinggga dalam aksi-aksinya mahasiswa mulai
mengidentifikasikan kelompoknya sebagai penolakan atas alienasi struktural ini.
GM seringkali hadir untuk menjematani gejala alienasi ini untuk secara
partsipatif berkenalan dengan realitas sosial.
Mahasiswa dan Pusaran
Arus Neoliberalisme
Apa yang
tersisa dari GM saat ini? Benarkah ia berada dalam kondisi stagnan? Realitas
historis apa yang di hadapi GM saat ini ? Benarkah GM masih terjebak dalam
mimpi historis masyarakat yang utopia, yaitu masyarakat imajiner dengan
pemenuhan atas hasrat kemanusiaan yang mendalam, mimpi-mimpi paling agung, dan
aspirasi-aspirasi kemanusiaan yang paling tinggi. Semua daya fisik, dan sosial
bekerja bersama, dalam keselarasan untuk memungkinkan semua hal yang dirasa
perlu dan diinginkan oleh rakyat. Untuk menjawab hal tersebut kita mungkin
tidak bisa begitu saja membiarkanya menjadi semacam "mimpi
kebablasan." Semua yang bergerak tentu memakai prinsip sebab akibat.
Inilah prinsip sejarah yang diperkenalkan Marx sebagai fase dialektika historis
yang panjang. Kemampuan self of determination hanya bisa terjadi jika ada fakta
material historis yang mendukungnya, yaitu masih dominannya penindasan manusia
atas manusia dengan konflik kelasnya. Sehingga ini bisa menjawab kekhawatiran
adanya pelegitimasian sejarah masa lampau yang buta dan tidak konteks dengan
kondisi kontemporer. Kekhawatiran yang diintrodusir oleh Karl Popper ini
sebenamya mengada-ada.
Jika demikian
dasar pemikirannya, tentulah kita diharuskan menganalisa ulang situasi ekonomi
politik yang berkembang saat ini, agar bisa melihat kenapa GM seolah terjebak
dalam lingkar kevakuman dan tidak lagi mejadi instrumen politik yang
signifikan. Persoalan GM saat ini rnasih dihadapkan pada tiga permasalahan
besar, pertama, antara upaya membuka ruang demokrasi nasional dengan
harapan munculnya gejolak demokrasi arus bawah yang massif, kedua,
persoalan perubahan dinamika ekonomi politik global yang bermetamorfosis
menjadi kekuatan Neo-liberal yang kuat, yang sekarang ditambah variabel isu
terorisme yang dipicu peristiwa "black september", dan ketiga,
dan yang masih krusial, adalah bagaimana mendesign ulang format gerakan yang
lebih terkonsolidir dan maju.
Ketiga,
permasalahan di atas akan terurai dengan kenyataan objektif yang ada di
lapangan. Di tingkatan upaya memangun demokrasi nasional masih dihadapkan pada
keterbatasan negara. Ketika Gus-Dur naik ada setitik harapan terjadinya
transformasi yang signifikan dalam periode transisi demokrasi. Tuntutan
pembersihan negara dari unsur kekuatan lama (Golkar, Milter, dan borjuasi
korup) mengalami kebuntuan. Jelas ini sebuah kekalahan gerakan demokratik.
Bahkan ketika terjadi konspirasi parlemen untuk menjatuhkan Gus Dur, gerakan
Prodem, terutarna GM, seolah tidak berdaya. Upaya keras mewujudkan transisi
demokrasi seperti membentur dinding tebal yang di pasang kekuatan lama dan
"generasi oportunis" yang merasa tidak nyaman dengan upaya perubahan
yang ada.
Nakknya
Megawati semakin membawa ketidakjelasan arah gerakan perubahan. Ha ini bisa
terlihat dari kenyataan pasca-pemerintahan yang menganut prinsip sentralisme
politik menjadi rezim parlementarisme, prinsip demokrasi menjadi ajang jual
beli dan menguntungkan kekuatan politik yang memiliki akses kekuasaan yang
besar. Tarik ulur kekuasaan mengarah pada bandul otoritarianisme baru.
Kedekatan Megawati dengan mantan penjahat HAM seperti letjend. Sutiyoso, dan
jendral lainnya, membuat agenda pengadilan HAM terlupakan. Belum lagi
permasalahan ekonomi yang semakin runyam dikarenakan pemerintah tidak tegas
dalam menyikapi ketergantungan yang diciptakan oleh para agen Neo-liberal,
seperti IMF, WB, CGI, dll. Imbas dari kesemuanya adalah indonesia terperangkap
dalam jerat hutang berkisar 3000 trilyun yang akan jatuh tempo 2003 ini. Juga,
persoalan pengangguran yang mencapai 59, 84 % dari 95, 7 juta angkata kerja,
dan penjualan banyak aset negara untuk diswastakan ke perusahaan multinasional
yang punya modal besar. Yang paling ironis adalah munculnya lagi gerakan
intimidasi/teror ketakutan terhadap gerakan prodem terutama GM dengan
kekerasan, penangkapan, dan upaya memobilisasi kekuatan reaksioner untuk
mengalau gerakan Prodem. Dalam kondisi yang seperti ini tentu harus ada posisi
yang tegas dari GM, konsolidasi demokratik antarelemen GM yang lemah dan
menjadi kritik yang terbuka. Sebab isolasi sosial akan tetap menjadi
kemungkinan karena GM sangat rentan untuk dimarginalisasi dan dialienasi dari
sistem politik dan sosial, hanya dengan sitgma-stigma yang menciptakan
ketakutan. Komunisme masih mejadi "momok" historis dan ini yang terus
di eksploitasi. Pasea gemerlap "booming" gerakan mahasiswa 1998 yang
mejadi sorotan luas perishwa politik nasional, saatini gerakan mahasiswa mesti
sudah mengetahui kelemahan strategi dan taktik gerakan yang kurang bisa
melakukan injeksi kesadaran massa yang meluas lewat pendidikan politik yang
lebih maju dan nir-kekerasan. Karena isolasi so sial yang dialami eM juga tidak
terlepas dari kebanyakan masyarakat dunia ke-3. Johan ealtung menyebumya
sebagai hasil dari "kekerasan struktural" yang berasal dari penerapan
konflik kepentingan negara dan rakyat yang dikondisikan untuk memenuhi
prasyarat Living Condition masyarakat pinggiran, yang berusaha menerapkan butir-butir
proyek imperialisasi dunia. eM, dalam kondisi ini harus meneari jawaban
bersama, karena dalam kegilaan sistem yang ada saat inimasyarakat, termasuk
mahasiswa, akan semakin terseret pada upaya pragmatis untuk membenarkan
penindasan yang dilakukan masyarakat industri seperti yang dikatakan H. Mareuse
sebagai Masyarakat/ manusia satu dimensi (one dimention man).
Lalu
seperti apakah posisi GM di tengah zaman bergerak (age of motion), fase
milenium, di mana isu internasional yang berkembang adalah terorisme dan pasar
bebas/neo liberalisme. Di tengah konteks seperti ini ada yang menilai bahwa
polarisasi orientasi gerakan semakin menajam. Ada analisa yang mengemukakan
gerakan-gerakan di dunia akan bergerak pada juga kategori. Kategori pertama
adalah gerakan fundamentalis, yang tercitrakan lewat gerakan militansi agama
yang dogmatis, kedua adalah gerakan Nasionalisme, gerakan ini rnuncul dan
massif ketika gerakan fassis nasonalis mulai menjadi anearnan di banyak negara.
Di Prancis, Kekuatan fasis Jean Marie Lepen, hampir membuka sentiman itu, di
Belanda, bahkan di Indonesia mulai banyak bermunculan fasisme gaya baru berupa
pensakralan simbol-simbol primordialisme dan ketakutan pemberontakan yang
berlebih-Iebihan. Ketiga, gerakan anti globalisasi dan neo liberalisme. Pada
ban yak gerakan demokratik di dunia, termasuk Indonesia, sangat marak tentang
penolakan atas situasi ini. Ada banyak tipe gerakan, ada LSM, individu, dan
organisasi massa yang solid dan punya garis politik seperti eM. eM dalam ban
yak diskursus mesh menempatkan situasi ini untuk melaunching platform Anti
imperialisme. Karena kapitalisme, dalam coraknya yang paling progressif adalah
lewat irnperialisme. Hal ini tepat seperti yang diramalkan V.l Lenin bahwa
"imperialisme adalah puncak kapitalisrne". Imperialisme gaya baru ini
tentu menimbulkan fase baru penindasan yang lebih licik dan terorganisir.
Kemudian
yang juga cukup krusial adalah permasaIahan internal eM. Banyak krihk otokritik
yang bisa menjadi pelajaran berharga. Namun seringkali memang itu tidak bisa
berjalan dengan sempuma. Banyak eM yang mulai memperhatikan pula tentang upaya
pendemokratisasian kampus. Persoalan domestik ini menjadi krusial karena bisa
menjembatani "kesadaran apolitis" mahasiswa dengan realitas objektif berupa
ketidakbeeusan negara dalam mengurusi pendidikan sekalipun. DaIam beberapa hal,
memang jumlah gerakan daIam bentuk demonstrasi maupun aktivitas militansi
mahasiswa saat ini tidak bisa dibandingkan dengan gemuruh 98-an, namun
aksi-aksi seeara sporadis yang menyikapi banyak permasalahan domeshk seperti
pendidikall, memberikan indikasi bahwa kesadaran politik di dalam gerakan
mahasiswa tidak sepenuhnya meluntur dan bahkan isu-isu yang
"dramatis" seperti persolan mekanisme demokratisasi kampus dapat memobilisasi
mahasiswa.
Feodalisme
pendidikan dalam bentuk "in loco parentis" di tingkatan universitas
juga kembali memperoleh perhahan dari eM. Seeara tidak langsung situasi
pendidikan yang konservatif, yang masih kaku dalam memenuhi rasa keingintahuan
mahasiswa akan dunia politik ini mempengaruhi dinamika mahasiswa. Berbagai
macam proyek liberalisasi pendidikan yang dalam perkiraan akan menimbulkan
kebebasan berekspresi mahasiswa, justru berkebalikan. Pendidikan tetap tidak
bisa menampilkan wajahnya yang humanis ini visa terdeteksi dengan melambungnya
biaya pendidikan dan pembatasan-pembatasan akademik lainnya yang
membatasimahasiswa di dalamnya. Permasalahan komunikasi politik, sebagai bagian
dari sosialisasi program dan sikap politik harus tetap menjadi sebuah prioritas
utama. Media komunikasi dalam bentuk terbitan, seperti yang di lakukan kawankawan
PMIl ini, harus tetap di genearkan. Oalam ban yak hal komunikasi politik
"bawah tanah" ini mendapat sambutan yang lebih luas karena ia bisa
menjadi semaeam media dalam mata rantai komunikasi yang membantu pembentukan
pandangan-pandangan ideologis dan mengkomunikasikan pandangan tersebut.
Kemudian, jika saya amah, aktivitas GM mahasiswa saat ini kembali kepada masa
"keakuan," yang seringkali justru menjadi kendala sulit untuk
melakukan kembali konsolidasi dalam menyikapi perubahan yang berlangsung eepat.
Jika dulu seringkali ativitas gerakan berfungsi sebagai saluran bagi
impuls-impuls mahasiswa yang nakal atau pemberontak, namun saat ini gerakan
harus menjadi sesuatu hal yang padu antara intelektualisme dengan praksis
gerakan yang radikal. GM sekarang, secara dewasa tentu tidak lagi berdebat
tentang permasalahan apakah harus kritik moral ataukah gerakan politik yang
lebih luas. Karena jelas, bahwa tentu sebagian besar dari kita sebagai aktivis
GM, bisa menjelaskan radikalisme yang muncul sebagai tanggapan atas kesenjangan
cita-cita rnasyarakat yang ideal dengan kondisi aktual yang jelas bertentangan
dengan cita-cita tersebut. Sehingga jelas gerakan yang kemudian muncul akan beririsan
tegas dengan struktur ekonomi politik negara suprastruktur.
Progresifitas Gerakan
Mahasiswa
Kesadaran
elit yang abstrak berbaur dengan ketakutan relatif hilangnya posisi kelas
(deklassierung). Sejalan dengan kesadaran elit yang abstrak, pada massa yang
akan datang sulit akan membayangkan bisa berjalan harapan akan
"mesianisme" massa GM. Persoalan peran rnahasiswa sebagai
intermediary antara state dan society, seringkali menjebak GM hanya pada posisi
netral. Konstruksi ini menjadikan GM seringkali sebagi wadah
"rornantis-romantisan" bagi orang-orang yang ingin melampiaskan
syahwat mudanya. Sementara yang lebih penting adalah bahwa perubahan yang harus
terus dilakukan tidak bisa berhenti begitu saja. GM tidak saja harus
mengimbangi otoritaranisme negara tetapi ke dalam dan antarelemen saling
memberikan pengalarnan dan pendidikan politik. Di tengah deru neo liberalisme
yang hampir akan menjadi ideologi dominan, GM makin dituntut untuk bisa membaca
dengan jelas berbagai macam kontradiksi di dalam rnasyarakat industrial.
Sehingga ada analisa yang jelas dan konkret mengenai pertanyaan "what's to
be done" . GM tentu tidak akan berdiri sendiri, ia harus berhubungan
dengan sektor perubahan yang lannya seperti buruh, tani, KMK, dll. Namun akan
semakin susah jika gerakan-gerakan sektoral yang sedianya akan menjadi sekutu
dekat GM semakin terjebak dalam lingkar pragmatisme konflik yang menyeret
kesadaran politis kelas pekerja menjadi sekedar gerakan-gerakan normatif yang
tak berujung pangkal.
Saya sering
membayangkan bahwa ada saja kemungkinan GM terperangkap dalam "politik
abu-abu" I grey area yang di pasang negara maupun penguasa modal, dengan
jalan memberikan respon-respon gerakan yang bisa tidak menyentuh substansi
perubahan, yaitu mewujudkan bentuk demokrasi nasional yang akan meluas menjadi
revolusi nasional. Semisal saja tentang kebijakan pemerintah di bidang
perburuhan, hanya rnampu meciptakan diskursus dan gerakan normatif. Sementra
untuk perubahan kesejahteraan tidak pemah terwujud. Begitu pula tentang
berbagai isu tentang HAM, separatisme, terorisme, amandemen, dll, seolah
mengajak kita untuk terus-menerus berskap reaksioner dan mudah terprovokasi.
Dalam
berbagai kasus di Eropa dan Amerika, ketika mahasiswa terjebak dalam
kefrustasian konflik masyarakat industrial yang rnakin pelik, ada kemungkinan
akan terjebak dalam bemtuk fundamentalisme gerakan. Bahkan mungkin akan
menyerempet menjadi gerakan-gerakan teror. Di ltalia mungkin rnasih kita ingat
bagaimana GM yang cukup radikal di sana yaitu brigate ross brigade merah) atau
autonomia operaia menjadi gerakan teror yang menakutkan, di Jerman faksi
baader- meinhoff I sempalan SDS menjadi faksi frustasi yang akhimya menjadi
gerakan teror, atau di Jepang GM berubah menjadi pasukan seikegunltentara merah
yang banyak menebar teror dalam tiap aksinya. Di sini, mungkin akan berbeda
situasinya. Indonesia yang merupakan negara marjinal dan terbelakang, GM akan
bersimbiosis erat dengan kekuatan sektoral. Karena masih jelas bentuk
kontradiksi yang dihadapi kelas pekerja, bentuk krisis sosial dan ekonorni
politik sernakin menghebat, dalam beberapa waktu mendatang akan memberikan
sebuah realitas historis agar rakyat turut bergerak. Kefrustasian GM akan
justru akan terjawab dengan kontradiksi yang lebih terbuka ini. Apalagi ada
indikasi melemahnya pusat kekuasan kapitalisme di Amerika mungkin dalam jangka
yang akan panjang menyebabkan pula perubahan pola kepemimpinan ekonomi politik
dunia. Dalam resesi yang akan berlanjut, posisi gerakan demokratik terutarna GM
akan mengalarni fase yang bisa jadi seperti era 98-an, di mana akan memicu
keresahan dalam skala yang cukup luas dan ini akan menjadi semacam
"reedukasi" perlawanan yang dengan bekal pengalaman sebelumnya akan
menjadi gerakan politik yang lebih matang. Mari kita bekerja, berkarya dan
bercinta dengan satu hal: Kemerdekaan.
GENEOLOGI GERAKAN MAHASISWA INDONESIA
Akar Sejarah di Indonesia
Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan
kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan
untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para
aktivis yang terlibat di dalamnya. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia,
gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti
yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa. Sejarah Gerakan mahasiswa yang
tertua yang tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia adalah
Perhimpoenan Indonesia di Belanda, yang didirikan pada 1922 oleh Mohammad
Hatta, yang saat itu sedang belajar di Nederland Handelshogeschool di
Rotterdam. Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak
terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal
dengan istilah Angkatan '66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa
secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat
kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian berada
pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di antaranya Akbar Tanjung, Cosmas Batubara
Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi, dll. Angkatan '66 mengangkat isu Komunis sebagai
bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat
untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai
Komunis Indonesia). Setelah Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan '66 pun
mendapat hadiah yaitu dengan banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat
dalam kabibet pemerintahan Orde Baru. Masa Orde Baru Dalam perkembangannya di
kemudian hari, Orde Baru juga banyak mendapatkan koreksi dari germa seperti dalam
gerakan-gerakan berikut:
- Gerakan anti korupsi yang diikuti oleh pembentukan Komite Anti Korupsi, yang diketuai oleh Wilopo (1970).
- Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama di masa Orde Baru pada 1972 karena Golkar dinilai curang.
- Gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di lokasi tersebut.
- Gerakan mahasiswa Indonesia 1974. Gerakan memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia pada 1974. Gerakan ini kemudian berkembang menjadi peristiwa Malari pada 15 Januari 1974, yang mengakibatkan dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden.
Gerakan Mahasiswa Indonesia 1978.
Gerakan yang mengkritik strategi pembangunan dan
kepemimpinan nasional pada 1977-1978 yang mengakibatkan untuk pertama kalinya
kampus-kampus perguruan tinggi Indonesia diserbu dan diduduki oleh militer. Hal
ini kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya
kebijakan NKK/BKK di seluruh Indonesia. Pasca diberlakukannya NKK/BKK, jalur
perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan
lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri
dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan mahasiswa
islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia), PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia),
GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan
kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers
mahasiswa. Gerakan yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan
akademik dan kebebasan mimbar akademik di dalam kampus pada 1987 - 1990
sehingga akhirnya demonstrasi bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus
perguruan tinggi. Saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk menyampaikan
aspirasi dengan longmarch ke DPR/DPRD tetap terlarang. Gerakan mahasiswa
Indonesia 1998. Gerakan yang menuntut reformasi dan dihapuskannya
"KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998, yang akhirnya
memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif
yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan
ini di antaranya: Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan
II , Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu 1999.
Gerakan mahasiswa Indonesia 1998 adalah puncak gerakan
mahasiswa tahun sembilan puluhan yang ditandai dengan tumbangnya Orde Baru
dengan ditandai lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, tepatnya pada
tanggal 21 Mei 1998. Gerakan ini diawali dengan terjadinya krisis moneter di
pertengahan tahun 1997. Harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli
masyarakat pun berkurang. Tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda nasional
gerakan mahasiswa. Ibarat gayung bersambut, gerakan mahasiswa dengan agenda
reformasi mendapat simpati dan dukungan dari rakyat. Gedung wakil rakyat, yaitu
Gedung DPR/MPR dan gedung-gedung DPRD di daerah, menjadi tujuan utama mahasiswa
dari berbagai kota di Indonesia. Seluruh elemen mahasiswa yang berbeda paham
dan aliran dapat bersatu dengan satu tujuan untuk menurunkan Soeharto. Organ
mahasiswa yang mencuat pada saat itu antara lain adalah FKSMJ,Forum Kota, HMI
MPO, KAMMI karena mempelopori pendudukan gedung DPR/MPR. Perjuangan mahasiswa
menuntut lengsernya sang Presiden tercapai, tapi perjuangan ini harus melalui
tragedi Trisakti dan tragedi semanggi dengan gugurnya beberapa mahasiswa akibat
bentrokan dengan aparat militer.
NKK/BKK
Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi
Kemahasiswaan (NKK/BKK) adalah kebijakan pemerintah untuk mengubah format
organisasi kemahsiswaan dengan melarang Mahasiswa terjun ke dalam politik
praktis, yaitu dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0457/0/1990
tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi,
dimana Organisasi Kemahasiswaan pada tingkat Perguruan Tinggi bernama SMPT
(senat mahasiswa perguruan tinggi). NKK/BKK menjadi dua akronim yag menjadi
momok bagi aktivis Gerakan Mahasiswa tahun 1980-an. Istilah tersebut mengacu
pada kebijakan keras rezim Soeharto pada tahun 1978 melalui Menteri Pendidikan
& Kebudayaan Daoed Joesoef untuk membungkam aksi kritis mahasiswa terhadap
jalannya pembangunan & kebijakan pemerintah saat itu.
Latar Belakang Perlawanan
Simbol institusi perlawanan mahasiswa saat itu adalah Dewan
Mahasiswa, organisasi intra kampus yang berkembang di semua kampus. Karena
Dewan Mahasiswa menjadi pelopor gerakan mahasiswa dalam menolak pencalonan
Soeharto pasca pemilu 1977, kampus dianggap tidak normal saat itu dan dirasa
perlu untuk dinormalkan. Lahirlah kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)
sekaligus pembubaran dan pelarangan organisasi intra universitas di tingkat
perguruan tinggi yaitu Dewan Mahasiswa. Dan sejak 1978 itulah, ketika NKK/BKK
diterapkan di kampus, aktivitas kemahasiswaan kembali terkonsentrasi di
kantung-kantung Himpunan Jurusan dan Fakultas. Mahasiswa dipecah-pecah dalam
disiplin ilmu nya masing-masing. Ikatan mahasiswa antar kampus yang
diperbolehkan juga yang berorientasi pada disiplin ilmunya, misalnya ada Ikatan
Senat Mahasiswa Ekonomi Indonesia (ISMEI), Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian
Indonesia (ISMPI) dan sebagainya.
Penolakan Pembentukan BKK
Perjalanan upaya realisasi organisasi kemahasiswaan
terpusat dalam kemahasiswaan di kampus-kampus Indonesia berjalan sangat
beragam. Pemerintah memang mengganti keberadaan Dewan Mahasiswa (Universitas)
dengan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Menurut peraturan menteri, Ketua
BKK adalah dosen yaitu Pembantu Rektor III. Bayangkan absurd-nya dan aneh-nya
peraturan itu. Sebuah Lembaga Kemahasiswaan, tetapi Ketua nya Dosen. Di ITB,
kampus yang paling keras menolak kebijaksanaan tersebut, BKK nyaris tak pernah
jelas eksistensinya. Para dosen juga tampaknya enggan bermusuhan dengan para
yunior-nya, mahasiswa yang jelas menentang habis keberadaan BKK. Di UGM, de
facto BKK memang ada namun juga tidak berjalan. Tidak ada Senat Mahasiswa di
tingkat Fakultas yang peduli dengan lembaga tersebut. Yang ajaib di UII
Yogyakarta. Di Kampus Perguruan Tinggi Islam tertua di Indonesia itu, Dewan
Mahasiswa memang dibubarkan. Tetapi reinkarnasi menjadi BKK. Hanya saja Ketua
BKK adalah mahasiswa juga, jadi masih dalam format Dewan Mahasiswa juga. Di
Salatiga, Kampus Universitas Kristen Satya Wacana juga melakukan kreasi serupa.
Keberadaan BKK diakui namun pengurusnya berasal dari mahasiswa sendiri.
Sedangkan di ibukota negara, Universitas Indonesia memang memiliki BKK tetapi
fungsi sehari-hari dijalankan oleh Forum para Ketua Senat Mahasiswa Fakultas,
dan dinamakan Forkom UI. Beberapa anggota DPR sempat mengusulkan pengajuan hak
interpelasi oleh Syafi'i Sulaiman dan kawan-kawan tentang NKK/BKK, pada tahun
1979. Pengusul adalah anggota Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) dari
Nahdlatul Ulama (NU), sedangkan para 24 pengusul lainnya terdiri dari anggota
F-PP dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (F-PDI). Inilah satu-satunya usul
interpelasi dalam era Orde Baru sejak pemilu 1977.
GENESIS GERAKAN MAHASISWA 1998
Sejarah Gerakan Tahun 1998
Sejarah perkembangan Gerakan Mahasiswa (GM) di Indonesia
selalu menarik karena tidak dapat dilepaskan dengan sejarah perkembangan negara
Indonesia. Bahkan, keberadaan GM selalu berpengaruh pada situasi politik
nasional. Meskipun sudah berkali-kali "diberangus" oleh penguasa di
setiap jamannya, GM selalu muncul dengan sikap kritis dan tuntutan untuk
memperbaiki keadaan politik nasional. Secara historis, peran GM dalam perubahan
politik di Indoensia sangatlah besar. Misalnya, perubahan kekuasaan dari rejim
Orde Lama ke rejim Orde Baru pada tahun 1965, peran GM sangat besar dalam
melegitimasi kekuasaan Sukarno. Begitu pula pada tahun 1998, tanpa kehadiran
ribuan GM di gedung MPR/DPR, sangatlah sukar untuk membuat Soeharto mundur dari
jabatan presiden. Bahkan, jika dilihat jauh ke belakang, peran GM lah yang
membidani lahirnya negara Indonesia. Sebagai misal adalah didirikannya Boedi
Oetomo pada 1908, yang meskipun bersifat primordial etnik, organisasi GM
pertama di Jawa ini telah berhasil memberikan semangat kepada mahasiswa dan
pemuda lainnya untuk bercita-cita merdeka.
Diskusi mengenai GM mahasiswa di Indonesia penuh dengan
dinamika, karena selalu mengalami perubahan karakter dan bentuk pada setiap
jamannya. Soewarsono (1999: 1) menyebut bahwa sejarah awal Indonesia moderen
tentang GM memiliki empat "tonggak", yaitu "angkatan 1908",
"angkatan 1928", "angkatan 1945" dan "angkatan
1966". Selanjutnya, Soewarsono menyebut bahwa keempat angkatan tersebut
adalah generasi-generasi dalam sebuah "keluarga", yaitu sebuah
catatan-catatan prestasi "satu generasi baru" tertentu. Masing-masing
dari keempat angkatan di atas memiliki bentuk dan karakter serta relasi-relasi
dengan kelompok yang lain yang khas dibanding angkatan-angkatan yang lain.
Namun, tidaklah dapat dikatakan bahwa tiap-tiap angkatan tersebut selalu
membawa perubahan dan kemajuan bagi jamannya. Tetapi, tiap-tiap angkatan
tersebut dapat pula menjadi pengekor atau epigon yang menerima melalui
pewarisan (Soewarsono, 1999: 1-2). Dengan demikian, diskusi mengenai GM di
Indonesia, tidak selalu berbicara mengenai perubahan yang positif, tetapi juga
dapat sebaliknya. Hal ini tergantung dengan konteks situasi dan relasi-relasi
yang dibangun oleh GM itu sendiri.
Selain keempat angkatan tersebut, terdapat satu angkatan
generasi lagi yang paling mutakhir dan sangat bepengaruh tidak hanya pergantian
politik kekuasaan saja, tetapi juga pada proses demokratisasi di Indonesia,
yaitu "angkatan 1988". Pada angkatan ini, GM telah berhasil menjatuhkan
kekuasaan Presiden Soeharto yang sebelumnya telah berkuasa selama 32 tahun.
Selain itu, GM juga mempengaruhi munculnya wacana demokratisasi dan civil
society. Meskipun demokrasi dan civil society secara relatif belum sepenuhnya
berhasil diterapkan dalam realitas politik di Indonesia, namun peran GM telah
menyebabkan proses-proses tersebut dapat dimulai. Tulisan ini akan
mendiskusikan tentang GM angkatan 1998 dengan menggunakan pendekatan prosesual.
Pendekatan ini akan melihat keragaman dan kesamaan antar kelompok GM,
perubahan-perubahan karakternya dan strategi-strategi yang digunakan untuk
melawan rejim penguasa serta kontinyuitasnya. Proses dan peristiwa-peristiwa
dari suatu fenomena sosial merupakan suatu rangkaian yang saling
berkesinambungan. Pemahaman tentang kondisi-kondisi yang memungkinkan
berlangsungnya relasi-relasi antara peristiwa satu dengan peristiwa lain
merupakan bagian dari penjelasan yang harus dilakukan (Winarto, 1999). Untuk
itu, suatu kajian tentang proses harus mampu menunjukkan hubungan yang
berangkai dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain, dengan keterkaitan satu
sama lain (Winarto, 1999).
Selain itu, pendekatan ini juga menekankan adanya perbedaan
(difference). Konsep-konsep mengenai emosi, agen, gender dan tubuh individu,
secara kultural telah dibentuk melalui perbedaan-perbedaan. Dalam artikelnya
yang berjudul "Theories of Culture Revisited", Keesing (1994)
menyatakan bahwa selayaknya teori kebudayaan yang dikembangkan tidak akan
membuat asusmi-asumsi dengan batas-batas yang tertutup, tetapi biarkan dia
memberikan konsep-konsep yang kompleks dan beragam. Aspek lain yang perlu
ditekankan dalam pendekatan ini adalah memotret adanya dinamika suatu kelompok
masyarakat. Kebudayaan mempunyai karakter yang dinamis dan selalu mengalami
perubahan. Untuk itu, antropolog hendaknya menekankan bagaimana mekanisme dan
proses yang berlangsung dalam suatu kelompok masyarakat, hingga hal-hal
tersebut dimiliki bersama atau tidak, vice-versa (Winarto, 1999: 26).
Gerakan Mahasiswa 1998
GM telah menjadi faktor yang sangat menentukan dalam
perubahan kekuasaan dari rejim Orde Baru Soeharto ke rejim yang konon katanya
"reformasi". Ribuan mahasiswa yang menduduki gedung DPR di senayan
pada bulan Mei 1998 telah membuat anggota dewan tidak dapat bekerja secara efektif.
Sehingga tidak ada pilihan lain bagi anggota dewan untuk memenuhi tuntuan
mahasiswa melengserkan Soeharto dari jabatan presiden. Peristiwa tersebut
bukanlah peristiwa yang pertama kali dalam sejarah perubahan kekuasaan di
Indonesia. Pada tahun 1965, GM juga telah berhasil memelopori perubahan
kekuasaan dari rejim Sukarno ke rejim Orde Baru Soeharto. Sebelumnya, pada
1945, peranan mahasiswa dan pemuda sangatlah penting sehingga Sukarno bersedia
membacakan teks proklamasi. Keberadaan GM tidaklah taken for granted yang
tiba-tiba muncul begitu saja. Perkembangan GM selalu berkaitan erat dengan
situasi sosial dan politik, dimana ia merupakan respon dari ketidak-beresan
situasi sosial dan politik yang menurut mereka tidak adil. GM akan selalu
bergerak dan terus bergerak jika melihat kekuasaan yang menindas rakyat. GM ini
sangat sulit untuk dibendung gerakannya, meskipun sudah dilarang oleh penguasa.
Sebagai misal adalah GM 1998, yang sejak tahun 1978 telah
"ditertibkan" oleh Orde Baru melalui serangkaian regulasi yang
membuat GM sulit bergerak. Namun, ternyata GM selalu terus bergerak dengan
strategi yang justru lebih kreatif. Berikut ini adalah sejarah kehadiran GM
1998 serta serangakan strategi yang digunakannya.
Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)
Peristiwa penting yang patut dicatat dalam sejarah GM 1998
adalah kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K), Dr. Daoed
Joesoef. Nomor: 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK).
Kebijakan ini dianggap telah mematikan GM karena membebani mahasiswa dengan
serangkaian kewajiban kuliah dan melarang kegiatan politik di kampus. Pada
intinya kebijakan ini adalah menjustifikasi pembubaran dan dihilangkannya
organisasi mahasiswa yang selama ini merupakan sarana demokratis mahasiswa
berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan mahasiswa (Harahap dan Basril, 1999:
55). Sebelumnya, lembaga kemahasiswaan merupakan sarana untuk menentang
kebijakan pemerintah maupun perguruan tinggi. Dengan dibubarkannya lembaga
pemerintahan kampus, pemerintah Orde Baru berharap GM tidak lagi turun ke jalan
untuk melakukan demonstrasi politik.
Dikeluarkannya kebijakan NKK ini merupakan respon
pemerintah atas serangkain peristiwa demonstrasi yang dilakukan oleh GM pada
tahun 1973-1978. Terutama setelah peristiwa Malapetaka 17 Januari 1974 (Malari
1974), GM diawasi secara ketat.2 Pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan
Nomor 028/1974 yang dianggap membatasi aktivitas GM. Antara tahun 1975-976,
protes yang dilakukan oleh GM terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru sedikit mereda.
Namun, setelah pemilu tahun 1977, gelombang aksi meningkat lagi. Di Jakarta,
mahasiswa UI kembali melakukan aksi memprotes pelaksanaan pemilu yang dianggap
tidak adil, karena pihak birokrasi dan militer dianggap memihak ke Golkar.
Mereka mengganggap tidak sah dan menolak kemenangan Golkar pada pemilu 1977.
Aksi serupa juga terjadi di beberapa daerah, misalnya di Bandung, mahasiswa ITB
membentuk Gerakan Anti Kebodohan (GAK), di Yogyakarta, mahasiswa UGM mengusung
"keranda matinya demokrasi", bahkan di Surabaya, sejumlah mahasiswa
terlibat bentrok dengan aparat keamanan.
Peristiwa penting yang patut dicatat adalah ketika ketua
Dewan Mahasiswa (DM) UI, Lukman Hakim berhasil mengadakan pertemuan 67 DM dan
Senat Mahasiswa (SM) se-Indonesia dengan menggunakan dana kegiatan mahasiswa
yang berasal dari SPP. Peristiwa tersebut telah membuat khawatir penguasa.
Sanit (1999: 58) menuliskan kekhawatiran pemerintah dengan mengutip pernyataan
Soedomo sebagai berikut: "…Staf Komando Soedomo menyatakan bahwa secara
sistematis melalui DM, mahasiswa telah melawan hukum dan konstitusi; mahasiswa
telah menggunakan diskusi untuk membangun opini untuk mengganti kepemimpinan
nasional; tuduhan melalui Ikrar Mahasiswa tanggal 28 November di Bandung bahwa
presiden telah menyeleweng dari UUD 1945 adalah melawan kekuasaan MPR;
kedatangan DM se-Indonesia ke MPR untuk menyatakan ketidakpercayaan kepada
lembaga itu pada tanggal 7 Januari 1978 merendahkan lembaga itu;.."
Segera setelah Soedomo mengeluarkan surat pernyataan
tersebut, beberapa tindakan represif diambil oleh pemerintah Orde Baru.
Sejumlah kampus diduduki oleh militer dan beberapa koran seperti Kompas, Sinar
harapan, Merdeka, Pelita, Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore dilarang
terbit (Sanit, 1999: 58). Selanjutnya, untuk menunjukkan sikapnya terhadap GM
tersebut, pemerintah melalui Menteri P dan K, Dr. Daoed Joesoef mengeluarkan
keputusan Nomor: 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK).
Kemudian, di bidang penyelenggaraan pendidikan tinggi, Menteri P dan K juga
mengeluarkan SK No. 0124 yang memberlakukan Sistem Kredit Semerter (SKS) dengan
mekanisme mengajar dan belajar terprogram secara intensif. Konsekuensi dari
kebijakan tersebut adalah mewajibkan mahasiswa menyelesaikan sejumlah beban
studi untuk setiap semester yang secara keseluruhan terdiri dari 8 sampai 12
semester untuk jenjang S-1 (Sanit, 1999: 59-60). Akibat dari kebijakan tersebut
telah membuat aktivitas politik GM menjadi berkurang. Selain harus
menyelesaikan beban studi ang berat, ketatnya pembinaan non akademik mahasiswa
telah menyebabkan terbatasnya waktu mahasiswa untuk melakukan gerakan-gerakan
kritik terhadap pemerintah. Selain itu, pemerintah juga melakukan
"pembinaan ideologi" terhadap mahasiswa melalui penataran P-4
(Pendidikan, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Kelompok Diskusi dan Pers Mahasiwa
Serangkaian tindakan represif dan kebijakan yang dilakukan
untuk meredam GM ternyata sangat efektif. Dapat dikatakan bahwa sejak tahun
awal 1980-an, aktivitas GM mulai surut. Namun, keadaan tersebut tidak
berlangsung lama. Untuk menghindari tindakan represif dari rejim Orde Baru,
mahasiswa merubah strateginya. Mereka tidak lagi berteriak turun ke jalan,
tetapi dengan membentuk kelompok-kelompok studi (KS) sebagai cara merespon dan
mengekspresikan kekecewaannya kepada penguasa. Pada tahun 1983, beberapa
mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara membentuk Kelompok Studi
Proklamasi (KSP) yang bermarkas di jalan Proklamasi. KS ini kemudia diikuti
oleh mahasiswa dari UI, IAIN, Unas dan IKIP Jakarta. Diskusi yang biasanya
diselenggarakan pada Minggu siang mendiskusikan topik ekonomi dan politik. Setelah
KSP, di Jakarta muncul Kelompok Studi Indonesia (KSI), Lingkaran Studi
Indonesia (LS), Indonesian Students Forum for International Studies (ISAFIS),
KS Pena dan lain-lain. Kemudian, di beberapa kota lainnya lain juga muncul
fenomena yang sama: di Bandung muncul KS Thesa, KS Free School for
Socio-Analysis; di Yogyakarta muncul KS Palagan, KS Teknosofi, KS Girli, KS
F-16; di Surabaya muncul Kelompok Diskusi Surabaya dan Kelompok Analisa Sosial.
Selain membentuk KS, GM di beberapa kampus juga
mengaktifkan penerbitan kampus atau pers mahasiswa (persma). Beberapa media
yang lahir pada masa pertengahan 1980-an adalah: majalah Suara Mahasiswa di UI;
majalah Balairung di UGM: majalah Arena di IAIN Yogyakarta dan majalah Himmah
di UII; majalah Opini dan Manunggal di Undip; dan majalah Dialogue di Unair.
Meskipun diterbitkan dengan cara yang sederhana dan oplah yang terbatas,
kehadiran majalah kampus ini sempat menjadi media alternatif mengenai
berita-berita sosial dan politik yang tidak dimuat di media umum nasional dan
lokal. Munculnya KS dan persma tidak lantas membuat mahasiswa berpuas diri.
Sebagian dari mereka masih merasa kurang puas hanya dengan melakukan diskusi
dan menulis. Mereka tetap mencari cara lain yang lebih efektif untuk
menunjukkan kepeduliannya terhadap ketidakadilan sosial dan politik. Salah satu
alternatifnya adalah membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Badan Koordinasi Mahasiswa (BKM)
Masih tidak puas dengan bentuk-bentuk aktivitas yang sudah
dilakukan di atas, GM kembali membentuk jaringan lebih yang lebih luas. Di
Bandung muncul Badan Koordinasi Mahasiswa Bandung (BKMB) dan Badan Koordinasi
Mahasiswa Jakarta (BKMJ). Pembentukan komite-komite ini merupakan realisasi
dari apa yang menjadi topik-topik diskusi sebelumnya. Mereka merasa bahwa
berdiskusi saja tidak cukup, untuk itu mereka membentuk jaringan aksi untuk
membentuk solidaritas antara mahasiswa. Jaringan aksi tersebut merespons
isu-isu yang dianggap tidak adil bagi rakyat. Salah satu jaringan yang
melibatkan mahasiswa di beberapa di beberapa kota seperti Salatiga, Yogyakarta,
Semarang, Bandung dan Jakarta adalah Kelompok Solidaritas Korban Pembanguan
Kedung Ombo (KSKPKO). Kelompok ini melakukan advokasi terhadap warga korban
penggusuran pembangunan waduk di Kedung Ombo, Boyoloali Jawa Tengah dengan
mengadakan aksi di kantor Depdagri, Jakarta dan di depan kantor Kodim Boyolali
pada 24 Maret 1989.
Isu lain yang cukup menonjol adalah kasus tanah Kacapiring,
Jawa Barat. Di Bandung, aktivis Bandung dan Kelompok Mahasiswa Jakarta (KMJ)
melakukan aksi dialog dengan walikota Bandung. Aksi ini berakhir dengan bentrok
dan 33 mahasiswa ditahan. Kemudian pada 12 April 1989, sekitar 3000 mahasiswa
dari Jakarta dan Bandung aksi di depan kantor Poltabes Bandung untuk menuntut
pembebasan rekan mereka yang ditahan. Selanjutnya, pada 17 April 1989 mahasiswa
melanjutkan aksi di kampus ITB dengan isu yang sama. Pada akhir tahun 1980-an,
GM ditandai dengan tumbuhnya komite-komite rakyat yang menjadi bentuk organ dan
jaringannya. Antar kelompok GM di berbagai kota saling berkomunikasi dan saling
mengunjungi untuk membangun solidaritas. Salah satu bentuk solidaritas adalah
bentuk aksi dukungan suatu kelompok GM terhadap aktivitas yang dilakukan
kelompok GM di kota lain. Mereka ini selalu sharing mengenai isu-isu sosial dan
politik paling mutakhir. Pola-pola semacam ini terus dikembangkan di beberapa
wilayah. Mereka semakin memperkuat jaringan dan solidaritas tidak hanya antar
universitas di kota, tetapi juga antar kota.
Setelah menjalani masa-masa "bersama", antar
kelompok GM mulai terlihat tidak sejalan. Terutama pada tahun 1990-1993,
terdapat kecenderungan bubarnya aliansi dan terbentuknya aliansi baru (Gayatri,
1999: 91). Antar kelompok GM tampaknya tidak selalu sejalan, baik dalam hal
pemilihan isu maupun pemilihan kelompok mana yang dapat diajak aliansi.
Perpecahan ini lebih disebabkan karena egoisme kelompok dan selebihnya ideologi
serta pilihan aksi. Egoisme tampak ketika mereka masih mempersoalkan
primordialisme universitas sebagai acuan aliansi GM.
Misalnya, di Bandung kelompok GM terpecah menjadi dua,
yaitu antara kelompok GM dari ITB dengan kelompok dari Unpad. Perbedaan
ideologi dan pilihan bentuk aktivitas tampak terjadi di Jakarta dan Yogyakrta.
Gabungan antar KS, persma dan LSM yang telah menghasilkan Forum Komunikasi
Mahasiswa Yogyakarta (FKMY) terpecah menjadi dua kelompok. Perpecahan ini
berbaringan dengan perpecahan GM di Jakarta yang juga terpecah menjadi dua.
FKMY terpecah menjadi Dewan Mahasiswa dan Pemuda Yogyakarta (DMPY) dan Serikat
Mahasiswa Yogyakarta (SMY). DMPY yang berasosiasi dengan kubu Skephi di
Jakarta, yang menonjol dengan gaya parlemen jalanan dan empirisisme yang
didominasi watak gerakan LSM yang praktis dan kongkrit, sedangkan SMY
berasosiasi dengan kubu Infight yang menonjol dengan watak teoritk ideologis
yang kuat yang menjadi ciri khas KS (Gayatri, 1999: 91).
Pada pertengahan tahun 1990-an, kedua kelompok ini kemudian
membentuk jaringan sendiri-sendiri, sehingga terdapat dua jaringan besar
kelompok GM yang tersebar di berbagai kota. Perpecahan yang muncul pada awal
tahun 1990-an tersebut ternyata telah meluluhkan jaringan solidaritas yang
telah dibangun sebelumnya, dan kemudian membentuk jaringan solidaritas yang
baru. Kelompok DMPY pada akhirnya nanti menjadi Front Perjuangan Pemuda
Indonesia (FPPI), sedangkan dan SMY pada akhirnya menjadi jaringan Persatuan
Rakyat Demokratik (PRD).3 Komunikasi di antara kedua kelompok tersebut sangat
buruk, bahkan dalam beberapa hal mereka cenderung menjadi rivalitas. Salah satu
kasus yang cukup menonjol adalah ketika PRD dinyatakan sebagai organisasi
terlarang oleh pemerintah Orde Baru karena dituduh terlibat sebagai dalang
peristiwa 27 Juli 1996. Sejak saat itu para aktivis PRD diburu dan ditangkap
oleh aparat keamanan. Akan tetapi, yang kemudian ditangkap tidak hanya kelompok
PRD, tetapi juga kelompok-kelompok GM yang lain termasuk FPPI. Akibat peristiwa
tersebut, hingga sekarang antara kedua kelompok tersebut masih saling
menyalahkan. Rivalitas antara kedua kelompok tersebut masih terus berlangsung
hingga pertengahan tahun 1997. Krisis ekonomi yang menghantam di Indonesia dan
beberapa negara Asia telah menjadi momen yang penting bagi munculnya GM turun
ke jalanan. Kedua kelompok ini, dan juga muncul kelompok GM yang baru seperti
Forkot, dan kelompok mahasiswa ekstra kampus semakin aktif turun ke jalan
menuntut perbaikan ekonomi dan pergantian kekuasaan. Mereka ini secara maraton
dari pertengahan 1997 hingga Mei 1998 terus menerus melakukan aksi demonstrasi
di berbagai kota.
Gerakan Moral dan Gerakan Politik
Muridan S. Widjojo (1999a: 234-289) telah merumuskan dengan
baik mengenai GM 1998 dalam dua kelompok, yaitu "gerakan moral" dan
"gerakan politik". Pembagian menjadi dua kelompok ini didasarkan pada
wacana yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok dalam GM itu sendiri. Gerakan
moral mengacu pada wacana yang dikembangkan oleh GM yang mengkritisi kebijakan
rejim Orde Baru. Muridan menyebut kelompok ini sebagai Gerakan Kritik Orde baru
(GKOB). Sedangkan gerakan politik mengacu pada wacana untuk merobohkan rejim
Orde Baru, dan menyebut kelompok ini sebagai Gerakan Anti Orde Baru (GAOB).
"Gerakan moral" mendasarkan diri pada pandangan bahwa perubahan
politik dapat dilakukan dengan cara "menghimbau" atau
"mengingatkan" kepada elit politik. Berbeda dengan "gerakan
politik", gerakan moral ini tidak secara tegas ingin mengganti kekuasaan
politik Orde Baru Soeharto saat itu.
Paham ini menekankan "suara" atau
"gagasan" sebagai inti gerakan. Ini berati bahwa kapasitas operasi
yang diharapkan dari gerakan moral mahasiswa adalah sebatas
"menghimbau" dan atau "mengingatkan". Dari sini juga dapat
dilihat bahwa penganut paham ini percaya bahwa suatu rejim politik bisa diubah
dengan cara "dihimbau" atau "diingatkan" (Widjojo, 1999a:
240). Sedangkan gerakan politik secara tegas ingin mengganti kekuasaan rejim
Orde Baru Soeharto. Kelompok ini menolak semua kerangka asumsi yang dibangun
Orde Baru. Sebelum tahun 1997, pemerintah rejim Orde Baru telah melarang
mahasiswa terjun ke gerakan politik karena hal tersebut bukan karakter
mahasiswa. Menurut pemerintah Orde Baru, mahasiswa harus belajar dan
menunjukkan prestasi di kampusnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa gerakan politik
adalah hal yang tabu bagi mahasiswa saat itu. Akan tetapi tidak bagi kelompok
GAOB. Mereka justru ingin menggunakan gerakan politik sebagai senjata untuk
melawan pemerintah Orde Baru. Kelompok ini menyatakan bahwa mahasiswa tidak
perlu menggunakan pemahaman yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru, karena hal
tersebut dapat membatasi peran GM itu sendiri. Dengan menganggap GM sebagai
gerakan politik, maka ruang pergerakannya menjadi luas, sehingga dengan demikian
dapat berjuang bersama-sama rakyat. Konsekuensi bagi suatu gerakan politik,
yaitu menyatunya antara berbagai kekuatan, termasuk dengan rakyat. Kelompok ini
secara tegas menginginkan adanya hubungan dengan massa pengilkut di luar
kampus. Mengutip sebuah wawancara dengan seorang aktivis dari Unila, Lampung,
Widjojo menulis: Pertama kami tegaskan, gerakan kami adalah gerakan politik
dan bukan gerakan moral. Langkah yang kami tempuh berupa aksi atau pergerakan
massa (Widjojo, 1999a: 243). Gagasan untuk menggabungkan kekuatan GM dengan
massa di luar kampus ini telah menjadi perdebatan yang sengit diantara kelompok
GM sendiri. Kelompok yang dikategorikan sebagai GKOB yang menolak unsur non
mahasiswa atau rakyat biasa sebagai kekuatannya. Karena GKOB ingin bahwa GM
harus steril dari infiltrasi kelompok-kelompok di luar mahasiswa. Sehingga
dalam setiap aksinya, GKOB hanya melibatkan mahasiswa sebagai massanya. Hal ini
berbeda dengan GAOB yang justru mengundang kelompok non mahasiswa, yang mereka
sebut dengan rakyat untuk mendukung gerakannya.
Akibat dari bersatunya kekuatan mahasiswa dan non mahasiswa
ini, GM di beberapa kampus mengalami perbedaan yang sangat tajam, terutama pada
pandangan mengenai kekuasaan dan strategi aksi. Tidak jarang antara GKOB dengan
GAOB tidak dapat melakukan aksi bersama karena alasan di atas. Bahkan secara
ekstrem ada kelompok yang menolak bergabung dengan kelompok GM dari universitas
lain. Misalnya, Misalnya pada 4 Maret 1998, GKOB dari Universitas Indonesia
menolak ajakan mahasiswa IPB untuk melakukan aksi bersama di jalan (Widjojo,
1999b). Berikut ini daftar kelompok GM yang dikategorikan sebagai GKOB dan GAOB
yang dibuat oleh Widjojo (1999a: 290-376): GKOB Kelompok aksi yang dapat
dikategorikan ke dalam GKOB adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
(KAMMI). Kelompok ini merupakan produk Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus
(LDK) X di Universitas Muhammadiyah Malang pada 29 Maret 1998. Pertemuan yang
dihadiri oleh sekitar 200 aktivis masjid kampus tersebut telah menghasilkan
"Deklarasi Malang". Meskipun aktivitas gerakannya telah dimulai
sebelumnya, namun peresmian sebagai organisasi massa formal, baru diputuskan
pada 1-4 Oktober 1998. Menurut aktivis Fahri Hamzah, kelahiran KAMMI ini
diilhami keberadaan GM tahun 1966, yaitu Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
(KAMI). Sebagian besar aktivis KAMMI ini berlatar belakang aktivis LDK yang
berasal dari organisasi massa besar seperti Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Kelompok ini membentuk basis-basis gerakan
di beberapa universitas besar seperti UI, UGM, ITB, IPB, Unair, Undip dan
lain-lain. Dalam setiap aksinya, baik yang ada di kota Jakarta, Yogyakarta,
Malang dan Surabaya, KAMMI mampu menghadirkan massa yang cukup banyak.
Orientasi KAMMI adalah reformasi politik dan ekonomi yang dilandasi moral dan
ahlak. Namun, kelompok ini tidak secara tegas menyatakan ingin mengganti rejim
kekuasaan. "Tujuan gerakan KAMMI adalah memastikan adanya perubahan yang
bermanfaat bagi umat Islam dan dalam jangka panjang berupaya membentuk forum
yang mapan" (Widjojo, 1999a: 366). KAMMI mengganggap bahwa dialog
merupakan saran yang efektif untuk menghindari anggapan bahwa KAMMI adalah
kelompok yang fundamentalis.
GERAKAN ANTI ORDE BARU (GAOB)
Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI)
Seperti telah disinggung di atas, bahwa GM 1990 terpecah
menjadi dua kelompok. Masing-masing kelompok ini mengembangkan jaringannya
sendiri-sendiri. Salah satu jaringan besar itu adalah FMPY di Yogyakarta.
Kelompok ini mengembangkan jaringanya dari Surabaya, Solo, Semarang, Purwokerto
dan Jakarta. Di tiap-tiap kota jaringan ini memiliki organ-organ kecil sendiri,
yang sangat khas lokal dan tidak tergantung dengan jaringan besarnya. Begitu
juga dalam menyikapi isu-isu sosial dan politik, mereka tidak diharuskan
mempunyai kesamaan sikap dan pilihan aksinya. Jaringan ini tidak lebih sebagai
bentuk solidaritas dan sharing informasi.
Dalam hal ideologi, jaringan kelompok ini memperlakukan
ideologi sebagai pengetahuan, karena belum pernah ada kesepakatan secara
eksplisit oleh para aktivisnya (Widjojo, 1999: 303). Namun, jika dilihat dari
wacana-wacana yang dikembangkan, kelompok ini menganut paham Sosialisme, Islam
dan Nasionalisme. Kelompok ini memandang bahwa realitas politik di Indonesia
bersifat unik, karena itu ideologi-ideologi besar tidak relevan bagi gerakan
politik (Widjojo, 1999: 303).
Meskipun aktivitasnya sudah lama berjalan, namun sebagai
organ resmi yang berskala nasional baru disepakati pada 13 Nopember 1998 di
Magelang. Jauh hari sebelum menjadi FPPI, organ-organ dalam jaringan kelompok
ini telah aktif melakukan aksi-aksi dalam menuntut reformasi dan melengserkan
Soeharto. Beberapa organ-organ tersebut adalah: di Yogyakarta muncul Pusat
Perjuangan Pemuda Yogyakarta (PPPY), Solidaritas Orang Pinggiran untuk
Kemanusiaan (SOPINK), Fampera, Fropera; di Jakarta muncul Forum Aksi Mahasiswa
untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred) dan Gerakan Mahasiswa Pancasila untuk
Reformasi (Gempur); di Purwokerto muncul Aliansi Kebebasan Rakyat Berpendapat (AKRAB)
yang kemudian melahirkan Front Aksi Mahasiswa Peduli Rakyat (FAMPR), Komite
Mahasiswa untuk Demokrasi Indonesia (Komarudin); di Salatiga muncul Semesta,
Serikat Mahasiswa Independen (SMI); di Semarang muncul Forum Mahasiswa Sadar
Lingkungan (Formasal); di Surabaya muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya
(FKMS); di Malang muncul Gerakan Reformasi untuk Rakkyat Malang (Gerram); di
Jombang muncul Forum Mahasiswa Jombang (Formajo); dan di Jember muncul Gerakan
Mahasiswa Pecinta Rakyat (Gempar).
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)
LMND merupakan organ nasional yang merupakan metamorfosis
dari PRD, yang memiliki jaringan di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Solo,
Purwokerto. Meskipun tidak dinyatakan secara ekspilit, kelompok ini memilih
ideologi Sosialis Demokratik Kerakyatan (Widjojo, 1999: 326). Kelompok ini
memiliki organisasi yang cenderung senafas dengan format yang "sentralisme
demokratik" (Widjojo, 1999: 327). Berbeda dengan FPPI, organ-organ yang
tergabung dalam kelompok ini memiliki pilihan bahasa yang sama serta isu-isu
besar yang sama. Secara organisasi, kelompok lebih rapi dibanding dengan FPPI. Dalam
mengantisipasi "incaran" pihak keamanan, kelompok ini menggunakan
strategi memilih nama organ "sekali pakai", yaitu menggunakan nama
kelompok terntentu hanya pada saat aksi isu tertentu pula dan setelah itu,
organ tersebut tidak terdengar lagi. Strategi ini terutama dijalankan setelah
peristiwa 27 Juli 1996 hingga akhir tahun 1997.
Adapun organ-organ yang tergabung dalam kelompok ini adalah:
di Yogyakarta muncul Komite Nasional Penegak Demokrasi (KNPD), Komite
Perjuangan Rakyat untuk Perubahan (KPRP); di Solo muncul Komite Mahasiswa untuk
Keadilan dan Demokrasi (KMKD), Dewan Rakyat dan Mahasiswa Surakarta (DRMS),
Dewan Ampera Sukoharjo, Dewan Reformasi Rakyat Sragen (DRRS), Dewan Reformasi
Rakyat Boyolali (DRRB); di Lampung muncul Persatuan Mahasiswa Pemuda Lampung
(PMPL) yang kemudian membentuk Komite Peduli Rakyat (KPR), Komite Mahasiswa
Pemuda Rakyat Pelajar Lampung (KMPRPL), Aliansi Demokrasi Indonesia (ALDI); di
Jakarta muncul Keluarga Besar UI (KBUI), Kobar, Komite Mahasiswa dan Rakyat
untuk Demokrasi (Komrad); di Bandung muncul Gerakan Mahasiswa Indonesia untuk
Perubahan (GMIP); di Semarang muncul Forum Pembebasan, Komite Aksi Rakyat Semarang
(Keras); dan di Surabaya muncul Aliansi Bersama Rakyat Indonesia (ABRI).
Forum Komunitas Mahasiswa se-Jabotabek (FKMsJ/Forum Kota)
Dalam setiap aksinya, FKMsJ (kemudian berubah menjadi
Forkot) yang didirikan pada 7 Maret 1998 mampu menarik massa cukup besar.
Kelompok ini dibangun disimpul-simpul kampus yang sebelumnya telah memiliki
tradisi perlawanan, seperti ISTN, APP, UKI dan IKIP Jakarta (Widjojo, 1999:
342). Forkot memandang bahwa GM yang dibangunnya sebagai kelompok penekan dalam
proses menuju reformasi total (Widjojo, 1999: 342). Forkot sangat populer dan
mampu menarik perhatian mahasiswa non aktivis sehingga pada setiap aksinya
selalu dihadiri ribuan massa. Ideologi yang dibangun oleh kelompok ini belum
begitu jelas, kecuali tuntutannya untuk membentuk Komite Rakyat Indonesia
sebagai alternatif pemerintahan transisi paska Soeharto. Konsep ini berasal
dari Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang dipersiapkan menjelang
kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Kelompok ini pernah membangun jaringan di
beberapa kota melalui pertemuan mahasiswa se Jawa dan Bali. Namun, hingga
sekarang tidak ada tindak lanjutnya.
Front Nasional & Pusat Infromasi & Jaringan Aksi
untuk Reformasi (PIJAR)
Selain Forkot, di Jakarta terdapat dua kelompok GM yang
cukup signifikan dalam melakukan aksi-aksi demontrasi menuntut reformasi, yaitu
Front Nasional dan PIJAR. Kedua kelompok ini berpusat di Unas. Sama seperti
mereka menuntut penyelesaian krisis ekonomi dan melengserkan Soeharto sebagai
presiden.
HMI Majelis Penyelamatan Organisasi (MPO)
Agak sulit memposisikan kelompok HMI MPO dalam dikotomi
GKOB dengan GAOB. Tanpa alasan yang cukup jelas, Widjojo (1999a: 369-369)
mengkategorikan HMI MPO sebagai GKOB. Kemungkinan, alasannya karena HMI MPO
dianggap memiliki gen organisasi yang sama dengan HMI, yang terbukti beberapa
mantan aktivisnya menjadi pembantu presiden Soeharto. Namun, sesungguhnya
terdapat perbedaan mendasar antara HMI dengan HMI MPO, yaitu penolakannya
terhadap kebijakan "asas tunggal Pancasila". Dari penolakan ini jelas
bahwa HMI MPO sejak awal telah berseberangan dengan rejim Orde Baru Soeharto.
Bahkan, antara tahun 1985 hingga pertengahan 1998, HMI MPO ini dianggap sebagai
organisasi yang ilegal oleh pemerintah Orde Baru.
HMI MPO membentuk tujuh komite aksi yaitu Forum Komunikasi
Mahasiswa Islam Jakarta (FKMIJ), Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Semarang
(FKMIS), Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta (LMMY), Forum Komunikasi Mahasiswa
Islam Ujung Pandang (FKMIU), Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Purwokerto
(FKMIP), Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Kendari (FKMIK) dan Forum Komunikasi
Mahasiswa Islam Palu (FKMIP). Komite-komite aksi ini akan
mempertanggung-jawabkan kegiatannya kepada Dewan Pimpinan Cabang HMI MPO kota
setempat. Di Jakarta kelompok ini memiliki basis di Universitas Jayabaya,
ABA-ABI, IAIN, Unisma, Universitas Muhammadiyah. Di Yogyakarta, kelompok ini
berbasis di Jamaah Shalahuddin UGM dan aktivis HMI MPO di beberapa universitas
swasta di Yogyakarta.
Antara tahun 1990-an hingga 1997 akhir, isu-isu yang paling
sering diangkat dalam setiap aksinya oleh kelompok ini adalah persoalan
perilaku keagamaan. Misalnya, isu jilbab, isu lemak babi, isu haram Sumbangan
Sosial Berhadiah (SDSB) dan isu-isu politik internasional seperti isu pro
Saddam, anti Israel, dan isu anti Amerika. Pada tahun 1993-1994, kelompok ini
mulai melontarkan isu politik dan ekonomi tentang ketidak-beresan perilaku
kekuasaan rejim Orde Baru dengan mengangkat isu kredit macet. Menjelang akhir
tahun 1997, kelompok ini mulai mengangkat isu anti Orde baru Soeharto. Bahkan
LMMY beberapa kali melakukan aksi bersama dengan kelompok kiri radikal seperti
PRD.
DINAMIKA GM PASKA MEI 1998
Pasca kejatuhan Soeharto 1998
Paska kejatuhan Soeharto 1998, antara kelompok-kelompok GM
maupun dalam internal kelompok GM mengalami perbedaan pendapat yang sangat
tajam. Perbedaan ini mulai muncul ketika mensikapi naiknya Habibie sebagai
presiden. Bagi kelompok GKOB menganggap bahwa perjuangan mereka telah selesai,
sedangkan bagi GAOB masih menganggap bahwa Habibie merupakan perpanjangan
tangan dari Soeharto.
Akibat dari perbedaan tersebut, pada tanggal 22 Mei 1998,
di gedung DPR hampir terjadi bentrok antara kelompok yang mendukung Habibie
sebagai presiden melawan ribuan mahasiswa yang menentang Habibie sebagai
presiden. Kelompok yang mendukung Habibie antara lain adalah KISDI, Humanika
dan kelompok preman yang menamakan dirinya pendekar banten. Humanika ini adalah
kelompok yang sebagian aktivisnya merupakan mantan anggota HMI sewaktu mereka
menjadi mahasiswa tahun 1978-an. Mereka ini kelompok yang cukup dekat dengan
Habibie, terutama setelah Habibie menjadi ketua Ikatan Cendikiawan Muslim
Indonesia (ICMI). Dukungan yang diberikan terhadap Habibie yang ICMI diharapkan
akan membawa keuntungan bagi KISDI dan Humanika. Pada 23 Mei 1998, KAMMI Solo
dan Salatiga melakukan aksi menerima Habibie sebagai presiden. Sementara di
Semarang, pada 25 Mei 1998, kelompok yang menamakan diri SMPT se Jateng
mendukung Habibie. Di daerah-daerah lain seperti di Surabaya, Ujung Pandang dan
Bandung, kelompok-kelompok yang dikategorikan GKOB secara serempak melakukan
aksi mendukung Habibie.
Tetapi di lain pihak, pada tanggal 28 Mei 1998, Forkot dan
FKSMJ aksi di gedung DPR RI menolak Habibie serta menuntut dibentuknya KRI,
untuk membentuk eksekutif dan DPRS/MPRS serta menyelenggarakan kabinet
sementara serta mempercepat pemilu dan Sidang Istimewa. Tuntutan tersebut
bertentangan dengan keinginan kelompok GKOB untuk menjadikan Habibie sebagai
presiden. Pada 22 Mei 1998, LMMY, PMII, GKMI dan kelompok GAOB lainnya di
Yogyakarta juga melakukan aksi menolak Habibie dan kabinetnya. DRMS Solo juga
melakukan aksi menolak Habibie dengan melakukan aksi di Balaikota Solo.
Penolakan yang sama juga dilakukan oleh AMRS di Semarang pada 23 Mei 1998 di
Kantor Gubernur Jawa dan FKPI di depan gedung DPRD I pada 25 Mei 1998. Aksi
yang sama juga dilakukan oleh kelompok GAOB di seluruh kota-kota besar di
Indonesia untuk menolak Habibie sebagai presiden.
Pertentangan tersebut terus mewarnai
demonstrasi-demonstrasi di Jakarta dan beberapa kota lainnya antara akhir Mei
hingga September 1999. Tetapi, kuantitas aksi demonstrasi mulai menuntut dan
menolak habibie mulai berkurang pada bulan Juli hingga September 1998. Tetapi,
wacana tentang perbedaan tersebut makin menajam di antatra kelompok GKOB dengan
GAOB pada bulan Oktober 1998. Misalnya pada 28 Oktober 1998 di Bandung hampir
terjadi bentrok di antara kelompok tersebut. Pasalnya, aksi yang sebelumnya
dilakukan oleh kelompok GAOB dengan memasang spanduk anti Habibie, tiba-tiba
dirubah oleh kelompok GKOB menjadi dukungan terhadap Habibie.
Ketegangan-ketegangan tersebut juga terjadi di beberapa kota besar di
Indonesia.
Perbedaan ini terus berlanjut dalam menyikapi perkembangan
politik nasional. Kedua kelompok di atas seringkali mengambil posisi yang
berseberangan dalam menghadapi isu-isu penting nasional. Catatan tambahan:
Peristiwa Malari 1974 bermula dari aksi mahasiswa menolak kedatangan Perdana
Menteri Jepang Tanaka sebagai simbol untuk menentang investasi modal asing.
Namun peristiwa tersebut akhirnya berubah menjadi kerusuhan yang telah
menyebabkan 9 orang meninggal, 23 orang terluka dan beberapa banguan termasuk
pasar Senen terbakar. Dari peristiwa tersebut, pihak keamanan telah menahan 700
orang dan 45 diantaranya diajukan ke pengadilan. Pada saat yang sama,
pemerintahan membredel beberapa koran yang telah memberitakan peristiwa
tersebut (Sanit, 1999: 53-54).
Pada tahun 1983, pemerintah rejim Orde Baru menetapkan
Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi setiap organisasi yang ada di
Indonesia. Kebijakan ini telah berpengaruh pada organisasi HMI yang pada tahun
1984 terpecah menjadi dua kelompok, yaitu HMI Dipo (yang diakui pemerintah Orde
Baru) yang menerima asas tunggal Pancasila dan HMI MPO yang menolak asas
tunggal Pancasila. Penyebutan HMI Dipo karena kelompok HMI ini bermarkas di
jalan Diponegoro, sedangkan HMI MPO berkenginan menyelamatkan organisasi dari
campur tangan kekuasaan.
GERAKAN MAHASISWA INTRA KAMPUS
Dewan Mahasiswa dan Majelis Mahasiswa adalah Lembaga intra
Kemahasiswaan tingkat Universitas. Dewan Mahasiswa ini sangat independen, dan
merupakan kekuatan yang cukup diperhitungkan sejak Indonesia Merdeka hingga
masa Orde Baru berkuasa. Ketua Dewan Mahasiswa selalu menjadi kader pemimpin
nasional yang diperhitungkan pada jamannya. Dewan Mahasiswa berfungsi sebagai
lembaga eksekutif sedangkan yang menjalankan fungsi legislatifnya adalah
Majelis Mahasiswa. Di Fakultas-fakultas dibentuklah Komisariat Dewan Mahasiswa
(KODEMA), atau di beberapa perguruan tinggi disebut Senat Mahasiswa. Para Ketua
Umum KODEMA atau Ketua Umum Senat Mahasiswa ini secara otomatis mewakili
Fakultas dalam Majelis Mahasiswa. Keduanya dipilih secara langsung dalam Pemilu
Badan Keluarga Mahasiswa untuk masa jabatan dua tahun. Sedangkan Ketua Umum
Dewan Mahasiswa dipilih dalam sidang umum Majelis Mahasiswa. Masa Dewan
Mahasiswa dan juga Majelis Mahasiswa di Indonesia berakhir pada tahun 1978-an
ketika Pemerintah memberangus aksi kritis para mahasiswa dan Dewan Mahasiswa
dibekukan. Kegiatan politik di dalam kampus juga secara resmi dilarang.
Kebijakan itu dikenal dengan nama Kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)
dan pengganti lembaga tersebut adalah Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK).
Senat Mahasiswa
Senat Mahasiswa adalah organisasi mahasiswa intra
universiter yang dibentuk pada saat pemberlakuan kebijakan NKK/BKK pada tahun
1978. Sejak 1978-1989, Senat Mahasiswa hanya ada di tingkat fakultas, sedangkan
di tingkat universitas ditiadakan. Di tingkat jurusan keilmuan dibentuk Keluarga
Mahasiswa Jurusan atau Himpunan Mahasiswa Jurusan, yang berkoordinasi dengan
Senat Mahasiswa dalam melakukan kegiatan intern. Pada umumnya Senat Mahasiswa
dimaksudkan sebagai Lembaga Eksekutif, sedangkan fungsi legislatifnya
dijalankan organ lain bernama
Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM).
Pada tahun 1990, pemerintah mengizinkan dibentuknya Senat
Mahasiswa tingkat Perguruan Tinggi namun model student government ala Dewan
Mahasiswa tidak diperbolehkan. Senat Mahasiswa yang dimaksudkan adalah kumpulan
para Ketua-Ketua Lembaga Kemahasiswaan yang ada: Ketua Umum Senat Mahasiswa
Fakultas, Ketua Umum BPM dan Ketua Umum Unit Kegiatan Mahasiswa. Model seperti
ini di beberapa perguruan tinggi kemudian ditolak, dan dipelopori oleh UGM,
Senat Mahasiswa memakai model student government. Senat Mahasiswa menjelma
menjadi Lembaga Legislatif, termasuk di tingkat Fakultas. Lembaga Eksekutifnya
adalah Badan Pelaksana Senat Mahasiswa. Belakangan nama Badan Pelaksana diganti
dengan istilah yang lebih praktis: Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Awalnya BEM
dipilih, dibentuk dan bertanggung jawab kepada Sidang Umum Senat Mahasiswa
namun sekarang pengurus kedua institusi sama-sama dipilih langsung dalam suatu
Pemilihan Raya.
Unit Kegiatan Mahasiswa
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) adalah wadah aktivitas
kemahasiswaan untuk mengembangkan minat, bakat dan keahlian tertentu bagi para
aktivis yang ada di dalamnya. Unit Kegiatan Mahasiswa sebetulnya adalah
bagian/organ/departemen dari Dewan Mahasiswa. Ketika dilakukan pembubaran Dewan
Mahasiswa, departemen-departemen Dewan Mahasiswa ini kemudian berdiri
sendiri-sendiri menjadi unit-unit otonom di Kampus.
Unit Kegiatan Mahasiswa terdiri dari tiga kelompok minat :
Unit-unit Kegiatan Olahraga, Unit-unit Kegiatan Kesenian dan Unit Khusus
(Pramuka, Menwa, Pers Mahasiswa, Koperasi Mahasiswa, Unit Kerohanian dan
sebagainya).
Badan Perwakilan Mahasiswa
Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) adalah organisasi
mahasiswa Intra Universiter di Indonesia yang dibentuk pada saat pemberlakuan
kebijakan NKK/BKK pada tahun 1978. Sejak 1978-1989, Badan Perwakilan Mahasiswa
hanya ada di tingkat Fakultas bersama-sama dengan Senat Mahasiswa. Ada
kerancuan istilah BPM dengan Senat Mahasiswa karena sama-sama berarti wakil.
Hanya saja menurut aturan main, BPM dianggap berfungsi
sebagai badan legislatif sedangkan Senat Mahasiswa menjalani fungsi eksekutif. Akhirnya,
karena ketidakjelasan fungsi BPM itu ketika era Senat Mahasiswa Perguruan
Tinggi atau SMPT fungsi BPM digantikan Senat Mahasiswa.
BPM sendiri dihapuskan. Senat Mahasiswa yang tadinya badan
eksekutif berubah menjadi badan legislatif. Sedangkan badan eksekutifnya
dibentuk Badan Pelaksana Senat Mahasiswa, yang lantas diubah lagi menjadi Badan
Eksekutif Mahasiswa atau BEM. Istilah ini bertahan hingga saat ini.
Badan Eksekutif Mahasiswa
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) ialah lembaga kemahasiswaan
yang menjalankan organisasi serupa pemerintahan (lembaga eksekutif). Dipimpin
oleh Ketua/Presiden BEM yang dipilih melalui pemilu mahasiswa setiap tahunnya.
Di beberapa kampus seperti Universitas Indonesia, masih digunakan nama Senat
Mahasiswa (SM).
Himpunan Mahasiswa Jurusan
Himpunan Mahasiswa Jurusan adalah organisasi mahasiswa
intra universiter di Indonesia yang terdapat pada jurusan keilmuan dalam
lingkup fakultas tertentu. Umumnya bersifat otonom dalam kaitannya dengan
organisasi mahasiswa di tingkat Fakultas seperti Senat Mahasiswa dan Badan
Eksekutif Mahasiswa. Kegiatan Himpunan Mahasiswa Jurusan umumnya dalam konteks
keilmuan, penalaran dan pengembangan profesionalisme. Nama lain Himpunan
Mahasiswa Jurusan adalah Keluarga Mahasiswa Jurusan atau Korps Mahasiswa
Jurusan.
Sebagai contoh : Himpunan Mahasiswa Budi Daya Pertanian
(Fakultas Pertanian), Keluarga Mahasiswa Teknik Sipil (Fakultas Teknik),
Himpunan Mahasiswa Sejarah (Fakultas Ilmu Budaya), Korps Mahasiswa Komunikasi
(Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik). Himpunan Mahasiswa Jurusan kelompok
sejenis banyak yang membentuk jaringan dengan HMJ lainnya di lain Perguruan
Tnggi sehingga seperti juga Senat Mahasiswa.
Maka ada Ikatan Himpunan Mahasiswa Jurusan sejenis skala
nasional. Sebut saja nama Ikatan Mahasiswa Komunikasi Indonesia yang menghimpun
HMJ Komunikasi Fisip, beberapa diantaranya berstatus Senat Mahasiswa Fakultas
Ilmu Komunikasi. Atau Ikatan Mahasiswa Administrasi Indonesia. Juga ada Ikatan
Mahasiswa Geografi Indonesia atau IMAHAGI.
Organisasi Kemahasiswaan Ekstra Kampus
Organisasi kemahasiswaan yang bersifat ekstra kampus pada
umumnya terkait dengan aliran politik atau ideologi tertentu seperti: FMN,
GMNI, HMI, PMII, GMKI, PMKRI, Mapancas dan sebagainya. Ada pula organisasi
kemahasiswaan ekstra kampus yang didasarkan pada ikatan asal daerah, misalnya
Himpunan Mahasiswa Jawa Timur (HIMAJATI), atau Keluarga Pelajar dan Mahasiswa
Kalimantan Timur (KPMKT). Untuk organisasi kemahasiswaan yang bersifat
kedaerahan umumnya sekretariatnya sekaligus merupakan Asrama Mahasiswa asal
daerah yang bersangkutan. Meskipun tidak semua mahasiswa asal daerah tersebut
merupakan anggota organisasi atau tinggal di Asrama Mahasiswa daerah yang
bersangkutan.
ORGAN GERAKAN MAHASISWA 1998
Daftar Organ gerakan mahasiswa yang berperan
dalam gelombang aksi reformasi pada 1998 dan setelahnya. Aceh: SMUR -
Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat. Medan: DEMUD, Agresu - Aliansi
Gerakan Reformasi Sumatera Utara. Bandung: FKMB - Forum Komunikasi Mahasiswa Bandung, FIM B - Front Indonesia Muda Bandung, FAMU - Front Aksi Mahasiswa Unisba, GMIP - Gerakan Mahasiswa Indonesia Untuk
Perubahan, KPMB - Komite Pergerakan
Mahasiswa Bandung, FAF - Front Anti
Fasis, KM ITB - Keluarga Mahasiswa ITB, KM Unpar - Komite Mahasiswa Unpar. Jakarta: LMND - Liga Mahasiswa Nasional untuk
Demokrasi, FKSMJ - Forum Komunikasi
Senat Mahasiswa se-Jakarta, Forkot/Forum
Kota-Forum Komunitas Mahasiswa se-Jabotabek,
Famred - Front Aksi Mahasiswa Untuk Reformasi dan Demokrasi, Front Nasional, Front Jakarta, KamTri - Kesatuan Aksi Mahasiswa Trisakti, KAMMI - Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia, HMI MPO - Himpunan Mahasiswa
Islam -Majelis Penyelamat Organisasi, KB
UI - Keluarga Besar Mahasiswa UI, FAM UI
- Front Aksi Mahasiswa UI, Komrad -
Komite Mahasiswa dan Rakyat untuk Demokrasi, Gempur - Gerakan Mahasiswa untuk
Perubahan, Forum Bersama / Forbes, Jaringan Kota / Jarkot, LS-ADI Jakarta - Lingkar Studi-Aksi untuk
Demokrasi Indonesia, HMR - Himpunan
Mahasiswa Revolusioner. Bogor:
KBM-IPB - Keluarga Besar Mahasiswa - Institut Pertanian Bogor. Yogyakarta: SMKR - Solidaritas Mahasiswa Untuk Kedaulatan
Rakyat, KPRP - Komite Perjuangan Rakyat
untuk Perubahan, FKMY - Forum Komunikasi
Mahasiswa Yogyakarta, PPPY - Persatuan
Perjuangan Pemuda Yogyakarta, FAMPERA -
Front Aksi Mahasiswa Peduli Rakyat, LMMY
- Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta. Solo: SMPR - Solidaritas Mahasiwa Peduli Rakyat. Bali: Posperra - Posko Perjuangan Rakyat, Frontier - Front Demokrasi Perjuangan Rakyat.Surabaya: AbrI - Aksi bersama rakyat Indonesia, APR - Arek Pro Reformasi, ASPR - Arek Surabaya Pro Reformasi, FORMAD - Forum Madani FPM - Front Perjuangan Mahasiswa, KAMI - Kesatuan Aksi Mahasiswa ITS. Malang: FKMM - Forum Komunikasi Mahasiswa Malang. Makassar: KONTRA-Komunitas Pelataran Kerakyatan Unhas.
A
|
RTI
LAMBANG PMII
Pencipta
Lambang: H. Said Budairi
- Bentuk
- Perisai berati Ketahanan dan keampuhan mahasiswa Islam terhadap berbagai tantangan dan pengaruh dari luar.
- Bintang adalah melambang ketinggian dan semangat cita-cita yang selalu memancar.
- 5 (Lima), bintang sebelah atas menggambarkan Rasulullah SAW dengan empat sahabat terkemuka (Khulafaur Rasyidin).
- 4 (Empat), bintang sebelah bawah menggambarkan empat mazhab yang berhaluan Ahlusunnah Wal-jama’ah.
- 9 (Sembilan), bintang sebagai jumlah bintang dalam lambang dapat berati ganda, yakni :
Rasulullah
dan empat orang sahabat serta empat orang imam mazhab itu laksana bintang yang
selalu bersinar cemerlang, mempunyai kedudukan tinggi dan penerang umat
manusia. Sembilan orang pemuka penyebar Agama Islam diIndonesia yang disebut
WALI SONGO.
2.
Warna
- Biru, sebagaimana lukisan PMII, berati kedalaman ilmu pengetahuan yang harus dimiliki dan digali oleh warga pergerakan. Biru juga menggambarkan lautan Indonesia yang mengelilingi kepulauan Indonesia dan merupakan kesatuan Wawasan Nusantara.
- Biru Muda, sebagaimana warna dasar perisai sebelah bawah, berati ketinggian ilmu pengetahuan, budi pekerti dan taqwa.
- Kuning, sebagaimana warna dasar perisai-perisai sebelah bawah, berati identitas kemahasiswaan yang menjadi sifat dasar pergerakan lambang kebesaran dan semangat yang selalu menyala serta penuh harapan menyongsong masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar