ASWAJA
Kontroversi
Aswaja
Sejak akhir dasawarsa 1980-an dan awal
1990-an, wacana Aswaja suda ramai diperbincangkan kembali. Perbincangan ini
mula-mula ada dikalangan komunitas muda NU, terutama yang tergabung di PMII.
Pada mulanya perbincangan aswaja baru seputar pertanyaan mengapa Aswaja
menghambat perkembangan intelektual mereka. Diskusi terhadap doktrin ini lalu
sampai pada kesimpulan, bahwa kemandekan berfikir ini karena kita mengadopsi
mentah-mentah paham Aswaja secara qaulun (kemasan praktis pemikiran
Aswaja). Lalu dicoba membongkar sisi metodologi berfikirnya (manhnj
al-fikr), seberapa jauh hal ini akan membuka kran wacana intelektual
ditubuh NU? Yakni cara berfikir yang memegang prinsip tawassuth (moderat),
tawazun (keseimbangan) dan ta' addul (keadilan). Setidaknya
prinsip ini dapat mengantarkan pada sikap keberagamaan yang non-ekstrimitas (tatharruf)
Kiri ataupun Kanan. Gugatan ini sebenarnya belum keluar dari frame Aswaja.
Artinya, belum ada keberanian untuk mempertanyakan lebih jauh mengapa Aswaja
yang taqlid kepada Imam Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi secara
teologis,mengikuti madzhab empat secara fiqhiyyah, dan bertasawwuf dalam
madzhab Imam Ghozali & Baihaqi, sebagai kebenaran yang masuk surga.
Pergulatan intelektual muda NU tidak berhenti
sampai disini, kemudian mereka berkenalan dengan pemikiran-pemikirn muslim
progressif dan radikal seperti; Ali Syariati, Asghar Ali Engineer (Aliran
Syiah), sampai pada tokoh "Kiri Islam" dasa warsa 1990-an yaitu
Hassan Hanafi, teolog modem asal Mesir dari aliran Sunni. Kajian histories Said
Aqiel Sirajd, dalam disertasi doktoralnya, mendapat reaksi keras dan dianggap
sebagai syiah dan bahkan murtad. Karena kajian historis maka watak kajiannya
profane, realis, objektif dan apa adanya. Objek kajiannya adalah sejarah pada
sahabat Khulafaur Rasyidin sampai munculnya sektesekte madzhab pemikiran,
termasuk aliran Asy' ariyah dan Maturidiah.
Ahlussunah
Wal Jama’ah
Menurut Said Agiel Siradj, selama ini aswaja
sering dipahami sebagai suatu mazhab. Jika dipahami sebagai madzhab maka aswaja
akan mengkristal menjadi institusi. Jelas pandangan ini paradoks dengan fakta
sejrah kelahiran aswaja. Aswaja itu sebenamya bukanlah madzhab melainkan
hanyalah manhaj al-fikr atau paham yang didalamnya memuat banyak aliran
dan mazhab. Ciri khas Aswaja yang paling menonjol adalah menempuh jalan tengah (tawassuth).
Jalan tengah atau moderatisme Aswaja bukanlah harga mati, tetapi harus
aspiratif terhadap perkembangan zaman. Sebagai metode berfikir, pemahaman Aswaja
harus menjadi titik awal kerangka berfikir menggali hukum (syariat). Ini adalah
pembaharuan pemikiran kritis dan progressif serta menjadi karakter NU.
Pemikiran Tholchah Hasan memberikan penegasan pemikiran bahwa Aswaja tidak bisa
semata-mata dipahami secara doktrinal, tetapi juga historis dan kultural.
Aswaja juga mengandung "aqwal" (pemikiranpemikiran yang
mapan) sebagai hasil pemikiran dengan menggunakan manhaj al-fikr. Upaya
pengembangan Aswaja perlu pengkajian dati berbagai sudut pandang iImu terutama
iImu sosiaI, sehingga Aswaja bisa diinterodusikan secara rasionaI, sistematis,
dan kontekstual sesuai dengan transformasi cultural yang sedng berjalan. Aswaja
tidak hanya dipahami sebagai pemikiran yang berkaitan dengan akidah, fiqih,
tasawuf, tetapi perlu dikembangkan secara universal dalam bidang politik,
sosial, budaya, ekonomi, dsb. Aswaja pada muaranya memberikan titik tekan pada
pola pikir yang digunakan untuk menelaah realitas sosial. Manhaj al-Fikr yang
dipakai oleh kaum nahdIiyyin hams kontekstual sesuai dengan perkembangan
khasanah pemikiran Islam dan perkembangan zaman.
Perebutan
Atas Bendera Aswaja
Islam sebagai agama yang diyakini akan mampu
menolong dan menyelamatkan umat-nya selalu tidak lepas dari semacam klaim untuk
saling membenarkan, menuduh sampai memvonis-nya. Hal yang demikian sesungguhnya
dipandang dari paradigma tertentu lebih dari merupakan bentuk mempertahankan
atas eksistensi baik golongan, individu sampai pertentangan antar iman. Adanya
bermacam aliran ini memang telah telah disenyalir oleh Rosululloh sendiri
dengan statement beliau dalam hadist yang telah kontemporer dalam beberapa
riwayat, diantaranya adalah hadist riwayat Ibu Tirmidzi. Dalam hadist
yang kontemporer tersebut telah jelas bahwa yang akan diakui oleh nabi sebagai
satu golongan yang akan terselamatkan, yakni golongan Ahlussunnah Wal jamaah
(ASWAJA). Namun siapa yang sesungguhnya berhak atas klaim dan membawa bendera
ASWAJA tersebut? Dalam prespektif pemikiran yang seperti ini, maka untuk
menjawab setidaknya ada kajian dalam 4 dimensi : 1) Kajian secara Historis/
akar sejarah-nya, 2) Kajian atas Nubuwah/ Statemen-sinyalemen, 3) Kajian atas
Fakta dan logika obyektif, 4) Kajian prespektif transformatif. Dalam kesempatan
ini, sengaja kita tidak akan memperdebatkan lebih sampai perdebatan atas klaim
ASW AJA, namun lebih pada pembacaan secara singkat atas beberapa perspektif,
yakni: 1) Aspek Historisitas Aswaja, 2) Aspek Aswaja sebagai Manhaj
aI-fikr.
Aspek
Historisitas
Ada beberapa alasan yang menganggap kajian kesejarahan
ini sangat penting yakni; Pertama; banyak umat Islam yang mempersepsikan
aswaja dangan berbagai variannya hanya sebagai ideologi yang baku, seolah
infallibe dan immune terhadap perubahan zaman. Dalam konteks ini Aswaja sering
dipahami secara sederhana hanya sebatas antitesis dari faham Syi'ah, Ortodoksi
dari heterodoksi atau sunnahdari bid'ah. Kedua; aswaja seharusnya tidak
hanya dipahami dari sisi doktrinal, tetapi lebih didasarkan atas suatu
kenyataan bahwa banyak pendapat para imam yang kita anggap sebagai rujukan
namun diantara mereka saling berbeda tajam antara satu dengan yang lainnya. Seperti misalnya Imam
AI-Junaidi yang meniadakan sifat-sifat Alloh SWT dan ditentang oleh faham Imam
al-Asy'ari yeng menyatakan bahwa Allah SWT tetap memiliki sifat, dan lain
sebagainya. Ketiga; Pemahaman Aswaja seharusnya juga
tidak dipahami dalam satu perspektif teologis normatif saja, namun juga harus
dipahami dalam sekian kacamata baik Historis, Normatif, maupun kajian secara
transformatif.
Aspek
Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr.
Dalam tradisi yang dikembangkan oleh NU, penganut Aswaja
biasanya didefinisikan sebagai orang yang mengikuti salah satu madzab empat
(Hanafi, maliki, Syafi'i dan Hambali) dalam bidang Fiqih, mengikuti Imam
al-Asy’ari dan Maturidi dalam bidang Aqidah dan mengikuti al-Junaidi dan
al-Ghozali dalam bidang tasawuf, dalam sejarahnya definisi semacam ini
dirumuskan oleh Hadratus Syaikh Kiai Hasyim Asy'ari sebagaimana tertuang dalam
Qonun Asasi NU. Dalam prespektif pendekatan Aswaja. sebagai Manhaj bisa
dilakukan dengan cara bagaimana melihat Aswaja dalam Setting sosial-politik dan
kultural saat doktrin tersebut lahir atau dikumandangkan. Dengan demikian dalam
konteks Fikih misalnya, yang harus dijadikan bahan pertimbangan bukanlah
produknya melainkan bagaimana kondisi sosial politik dan budaya ketika Imam
hanafi, Imam Syafi'i, Imam Malik dan Imam Hambali melahirkan pemikiran
Fiqih-nya. Dalam pemahaman theologi dan tassawuf juga seharusnya demikian.
Berangkat dari pola pendekatan pemahaman Aswaja perspektif msnhaj Al-Fikr yang
paling penting dalam memahami Aswaja adalah menangkap makna dari latar belakang
yang mendasari tingkah laku dalam ber-Islam, Bernegara dan bermasyarakat. Dalam
karakter yang demikian inilah KH. Ahmad Sidiq (Al-Magfurlah) telah merumuskan
karakter Aswaja kedalam tiga sikap, yakni; Tawasut, I’tidal dan Tawazun
(Pertengahan, Tegak Lurus dan Keseimbangan). Ketiga inilah yang menjadi
landasan atas kerangka mensikapi permasalahan-permasalahan keagamaan, politik
dan yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar