BAB I
PEMBAHASAN
A. Maslahah Mursalah
1.
Pengertian
Maslahah Mursalah
artinya mutlak, dalam istilah ushul yaitu kemaslahatan yang tidak disyariatkan
oleh syari’ hukum untuk ditetapkan dan tidak ditunjukkan oleh dalil syar’i
untuk mengi’tibarkannya, atau membatalkannya. Dinamakan mutlak karena tidak
dikaitkan dengan dalil yang menerangkan atau dalil yang membatalkannya.
Misalnya kemaslahatan yang disyariatkan. Kemaslahatan yang disyariatkan oleh
syari’ itu untuk menetapkan hukum dan menunjukkan i’tibarnya, dan menerangkan
sebab-sebab bagi apa yang disyariatkannya itu. Apa sebabnya, dan untuk apa
disyariatkan. Dalam istilah ushul dinamakan almurshalih mu’tabirah dari syari’.
Misalnya memelihara kehidupan orang. Syari’ mensyariatkan, wajib malaksaanakan
kisas terhadap orang yang membunuh, pembunuhan yang direncanakan. Artinya
tasyri’ hukum itu dibina untuk menetapkan kemaslahatan.
2.
Syarat –syarat maslahah mursalah:
a. Hanya berlaku dalam muamalah, karena soal- soal
ibadah tetap tidak berubah – ubah.
b. Tidak berlawanan dengan maksud syariat atau salah
satu dalilnya yang sudah dikenal
c. Mashlahah merupakan kepentingan yang nyata dean
dibutuhkan oleh masyarakat
3. Kedudukan mashlahah murshalah
Di antara fuqaha
yang paling banyak menggunakan mashlahah murshalah ialah imam malik alasannya
Tuhan mengutus utusan – utusanNya untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.
Apabila ada kemashlahatan, jelaslah dugaan kita bahwa mashlahat itu,
dikehendaki syara’, karena hukum Alloh diadakan untuk kepentingan manusia.
Contoh
mashlahah murshalah :
Dalam al qur’an dan hadist tidak ada
nash yang melarang pengumpulan al qur’an dari hafalan dan tulisan. Meskipun
demikian, para sahabat di zaman abu bakar bersepakat untuk menulis dan
mengumpulkannya karena mengingat mashlahah umat.
4. Dalil yang mengemukakan hujjah
Menurut ulama –
ulama terkemuka, bahwa mashlahah murshalah itu merupakn hujjah syari’ah. Di
atasnya itu dibina syariat hukum. Masalah – masalah yang tidak diatur oleh
hukum baik yang bersifat nash ataupun ijma’, qiyas, atau ishtihsan, dalam hal
ini orang mensyariatkan hukum yang mengatur mashlahah mutlak. Tidak
menghentikan tasyri’ hukum dibina di atas mashlahah ini untuk mengadakan sanksi
tasyri’ dengan penjelasannya. Dalil – dalil yang mengemukakan orang dalam
masalah ini ada 2 ,
Pertama,
memperbaharui kemashlahatan masyarakat dan tidak mengadakan larangan –
larangan. Untuk memelihara keselamatan orang menurut perkembangan masa dan
mengenai kemungkinan – kemungkinan yang mungkin timbul maka didirikan tasyri’
dalam perkembangan masyarakat. Ada hal – hal yang tidak disepakati dan tidak
diinginkan oleh syari’ dalam menetapkan kemashlahatan masyarakat.
Kedua, ketetapan
tasyri’ sahabat dan tabi’in begitu juga imam – imam mujtahid. Nyatanya mereka
mensyariatkan hukum untuk menetapkan secara mutlak kemashlahatan masyarakat,
bukan hanya sekedar untuk mengadakan saksi dengan keterangan-keterangan yang
diberikannya. Misalnya, abu bakar mengumpulkan benda-benda yang bertuliskan al
qur’an dan dia juga memerangi oarng-orang yang enggan membayar zakat.
5. Syarat – syarat untuk dijadikan Hujjah
Barang siapa yang
mengemukakan hujjah dengan mashlahah murshalah, mereka itu harus berhati – hati
, sehingga bagi tasyri’ itu ada 3 macam syarat :
a. Mashlahah hakikat, bukan mashlahah wahammiyah
(angan-angan)
yakni menetapkan orang yang
mentasyri’kan hidup pada suatu peristiwa, mendatangkan manfaat dan membuang
yang madhorot. Untuk mashalah wahammiyah (angan-angan) seperti dalam hal
mencabut hak suami untuk menceraikan istrinya. Hal menceraikan ini diserahkan
saja kepada hakim.
b. Kemashlahatan umum, yakni meyakinkan bahwa tasyri’
hukum terhadap suatu peristiwa mendatangkan manfaat untuk orang banyak atau
membuang kemadhorotan bukan untuk kemashlahatan pribadi atau orang yang sedikit
jumlahnya. Seperti mensyari’atkan hukum hanya untuk kemashlahatan khusus oleh
amir (pembesar) sehingga mengenyampingkan pendapat orang – orang yang kenamaan
dan kemashlahatan mereka itu.
c. Tasyri’ itu tidak boleh bertentangan bagi
kemashlahatan hukum atau prinsip – prinsip yang ditetapkan dengan nash atau
ijma’.
B.
‘Urf
1. Definisi
‘Urf menurut bahasa
berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang diketahui,
dikenal, dianggap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat. Sedangkan ‘urf
menurut ahli fikh yaitu sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan
mereka mereka menjadikannya sebagai tradisi (adat kebiasaan), baik berupa
perkataan, perbuatan ataupun sikap meninggalkan sesuatu.
2. Pembagian ‘Urf
a. Ditinjau dari bentuknya.
·
Al-‘Urf Al-
Qauly, ialah kebiasaan yang berupa perkataan seperti kata “lahm” (daging) dalam
perkataan ini tidak termasuk daging ikan
·
Al-‘urf
Al-Fi’liy ialah kebiasaan yang berupa perbuatan seperti kebiasaan jual beli
dalam masyarakat tanpa mengucapkan akad jual beli.
b. Ditinjau dari segi nilainya
·
Al’urf
As-Shahih yaitu ‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan
dengan nash syara’
·
Al- Urf Al
Fasid yaitu ‘urf yang tidak dpat diterima, karena bertentangan dengan nash
Syara’
c. Ditinjau dari segi luas berlakunya
·
Al- ‘Urf
Al-“am yaitu ‘Urf yang berlaku untuk seluruh tempat sejak dulu hingga sekarang,
seperti adanya “salam” menitipkan barang dengan membayar uang jerih payah pada
penjaganya
·
Al-‘Urf
Al-Khas yaitu ‘Urf yang hanya berlaku atau hanya dikenal disesuatu tempat saja,
ditempat lain tidak berlaku. Misalnya penyerahan uang mahar ada yang sebelum
dilaksanakan akad nikah, bersama-sama dengan penyerahan barang atau uang. Dan
ada pula secara tersendiri bersamaan dengan pelaksanaan akad nikah.
3. Kehujjahan ‘Urf
Para Ulama
berpendapat bahwa ‘Urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan
mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan. Ulama
malikiah banyak menetapkan hukum dengan berdasarkan pada perbuatan-perbuatan
penduduk Madinah. Berarti ini menganggap apa yang telah berlaku pada masyarakat
dapat diterima, dengan ketentuan tidak bertentangan dengan Syara’. Perbuatan
penduduk Madinah tentu tidak akan menyimpang dari ketentuan syara’.
Imam syafi’i
terkenal dengan Qaul Qadim dan Qaul Jadidnya, karena melihat praktek yang
berlaku dalam masyarakat Baghdad dan Mesir berlainan. Sebaliknya ‘Urf yang
fasid tidak dapat diterima. Hal ini sudah jelas karena bertentangan dengan
syara’ baik nas maupun ketentuan umum dari nas.
4. Kedudukan Hukum ‘Urf
‘Urf juga bisa
dijadikan landasan hukum dalam masalah fiqhiyyah apabila sudah tidak menemukan
hukum dalam Al-Qur’an dengan berlandaskan sebuah hadist yang artinya: suatu
kebiasaan yang dinilai baik oleh orang-orang Islam, juga dinilai baik disisi
Allah.
Bahkan Imam
Jalaluddin As-Syayuti dalam kitab Asybah wa an-nadloir mengatakan bahwa
ketetapan berdasarkan ‘urf termasuk dalam kategori ketetapan berdasarkan dalil
Syar’i. Dan juga dalam masalah ini ada satu kaidah yang masyhur dikalangan
ulama yang artinyaapa yang terkenal sebagai ‘Urf sama dengan yang ditetapkan
sebagai syarat, dan sesuatu yang tetap karena ‘Urf sama dengan yang tetap
karena nash.
5. Syarat ‘Urf
1. ‘Urf ini berlaku umum maksudnya, dapat
diberlakukan mayoritas persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan
keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat
2. ‘Urf telah memasyarakat ketika persoalan yang akan
ditetapkan hukumnya. Artinya ‘Urf itu lebih dulu ada sebelum kasus yang akan
ditetapkan hukumnya
3. ‘Urf itu tidak bertentangan dengan yang
diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi.
C.
Istishab
1. Definisi
Istishab menurut
bahasa yaitu pelajaran yang terambil dari sahabat Nabi SAW. Sementara menurut
istilah ushul yaitu hukum terhadap sesuatu dengan keadaan yang ada sebelumnya,
sampai adanya dalil untuk mengubah keadaan itu. Atau menjadikan hukum yang
tetap di masa yang lalu itu, tetap dipakai sampai sekarang, sampai ada dalil
untuk mengubahnya. Dengan kata lain, istishab ialah melanjutkan berlakunya
hukum yang sudah ada dan yang telah ditetapkan karena sesuatu dalil, sampai ada
dalil lain yang mengubah kedudukan hukum tersebut.
2. Kehujjahan Istishab
Para ahli Ushul
Fiqh berbeda pendapat dalam berpegang kepada Istishab. Menurut Malikiyah,
Hanabilah, dan Zahiriyah, Istishab itu menjadi hujjah baik dalam
mengistinbathkan (menetapkan) maupun menafikan (meniadakan hukum).
Segolongan ulama
Hanafiyah dan inilah yang dipilih oleh Ibn Nujaim, menolak Istishab sebagai
hujjah, mereka berkata “adanya sesuatu pada masa lalu diperlukan adanya dalil,
demikian pula adanya sesuatu pada masa sekarang diperlukan adanya dalil.
Sebagian ulama
berpendapat bahwa Istishab itu menjadi hujjah untuk “Nafyu” ( meniadakan hukum)
bukan untuk “isbat” (menetapkan hukum). Sedangkan yang lain berpendapat bahwa
Istishab itu boleh dijadikan hujjah dalam perdebatan dan dapat pula dijadikan
sebagai dalil bagi dirinya sendiri.
Dikalangan ulama
Hanafiyah ada yang menerangkan bahwa Istishab itu dapat dijadikan hujjah untuk
menolak, tetapi tidak untuk menuntut hak.
3.
Macam-Macam Istishab
a.
Istishab Bara’ah Asliyah
b. Istishab yang ditunjuki oleh syara’ atau
akal
b. Istishab Hukmi
c. Istishab sifati
BAB II
KESIMPULAN
- Maslahah mursalah menurut lughat terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Perpaduan dua kata menjadi “mashlahah mursalah“yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum islam.
- ‘urf secara etimologi berasal dari kata arafa-yu’rifu sering di artikan al ma’ruf berarti sesuatu yang dikenal. urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. atau kebiasaan atau hukum yang bersifat kedaerahan yang dapat saja bersanding dengan hukum islam.
- Istishab secara etimologi berasal dari kata “istashhaba” . Maka istishab secara Lughawi artinya selalu menemani atau selalu menyertai. Secara terminologi ialah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tidak ada sampai ada yang mengubah kedudukanya atau menjadikan hukum yang telah di tetapkan pada masa lampau yang sudah kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Salam,
Zarkasji. 1994. Pengantar Ilmu Fiqh Ushul
Fiqh. Yogyakarta: PT. Kurnia Kalam Semesta
Halimuddin. 2005. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Rineka Cipta
Hanafie, A. 1981. Ushul Fiqh. Jakarta: Widjaya
1 comment
sip,,,
Posting Komentar - Back to Content