KEYAKINAN TIDAK DAPAT DIHILANGKAN OLEH KEBIMBANGAN
ا ليقين لا يز ا ل با لشك) )
MAKALAH
Semester III Program Setrata I (S1) Fakultas Tarbiyah Kelas .C
Mata Kuliah : Kaidah Fiqh
Dosen
FIKRIA
NAJITAMA, M. Si.
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(STAINU ) KEBUMEN
2011
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum. wr.wb.
Alhamdulillah segala puja dan puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan banyak
kenikmatan, berupa segala yang telah dirasakan dalam kehidupan ini. Satu
diantaranya adalah pemberian ilmu dan kemampuan menuangkannya kedalam bentuk
tulisan serta menjadikannya kedalam bentuk makalah yang berjudul KEYAKINAN TIDAK DAPAT DIHILANGKAN OLEH KEBIMBANGAN ( ا ليقين لا يز ا ل با لشك ).
Sholawat dan
salam semoga tetap terlimpahkan kepada beliau Nabi Akhiruz zaman yaitu Nabi
Muhammad SAW, keluarga serta para sahabat-sahabat Baginda.
Kami berkewajiban menyampaikan ucapan terima kasih
kepada para dosen dan guru besar yang mana penulis banyak menimba ilmu dari
padanya, khususnya Fikria Najitama, M. Si.
yang telah memberikan ilmu baru dalam mata
kuliah Kaidah Fiqh.
Makalah ini tentu saja jauh
dari sempurna, akhir kata, dengan tangan terbuka dan rasa tanggung jawab kami
mengharapkan kritik, dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca yang
budiman, yang kiranya dapat meningkatkan motivasi dalam belajar.
Wassalamu’alaikum.wr.wb.
Kebumen,
Desember 2011
PENULIS
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar belakang
masalah
Manusia hidup tidak mungkin lepas dari
beragam perasaan senang, sedih, sakit, sehat, kuat, lemah, rajin, malas, dan
beragam sifat manusiawi lainnya. Agama islam adalah agama yang rahmatan lil
‘alamin memiliki pengertian dan perhatian besar pada hal-hal yang bersifat
psikologis, antropologis ini. Rasa yakin yang biasa mengawal hidup manusia,
baik dalam dunia bisnis, relasi sosial dan lainya. Rasa yakin akan menggiring
manusia menuju kunci kesuksesan dan keberhasilan menggapai kebahagiaan hidup
dunia akhirat.
Secara kudrati manusia itu menurut Ibnu
Khaldun memiliki dua potensi dasar, yaitu pikiran dan tangan. Dengan pikiran
manusia memikir dan merenung, merencanakan dan membentuk gagasan, hal yang
tidak dimiliki makhluk lain. Dengan tangan ia menerjemahkan pikiran, gagasan
dan rencananya itu ke dalam alam kenyataan. dengan gabungan antra kedua potensi
yang sangat ampuh itu , manusia telah mengubah wajah bumi itu, karena adanya
keyakinan.
2.
Rumusan-rumusan maslah
Setelah membaca
diatas, maka kita dapat menelaah dari makalah ini untuk diserkan bersama-sama.
a.
Apakah
pengertian dari Yakin dan Syak secara etimologi / terminologi ?
b.
Apa
sajakah landasan yang dipakai ?
c.
Implementasi
dari kaidah tersebut ?
3.
Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.
Mengetahui
pengertian Yakin dan Syak secara etimologi / terminologi.
2.
Seorang
pendidik mampu mengimplementasikan yakin bahwasanya mendidik benar-benar
panggilan hati.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN YAKIN DAN SYAK SECARA DEFINITIF
Dalam bahasa arab, diskursus seputar makna kata yaqin ( selanjutnya
di Indonesia-kan menjadi yakin ) cukup semarak dibicarakan, terutama dalam
kajian ilmu fiqh, maupun kaidah fiqh. Yakin secara sederhana dimaknai sebagai
ketetapan hati (thuma’ninah al-qalb) atas suatu kenyataan atau realitas
tertentu. Al-ghazali menandaskan bahwa yakin adalah kemantapan hati untuk
membenarkan sebuah objek hukum, dimana hati juga mampu memastikan bahwa
kemantapan itu adalah hal yang paling benar.
Yakin dalam konteks kaidah ini mempunyai makna
lebih luas, sebab yang dimaksud yakin disini juga memasukkan zhan (praduga
kuat), dimana zhan sendiri belum mencapai derajat yakin. Namun para fuqaha
terbiasa menggunakan kata al-‘ilmu (tahu) dan yakin untuk menunjukkan makna
zhan dan sebaliknya. Al- Nawawi menandaskan bahwa bila ada orang yang dipercaya
(tsiqah) memberitahu bahwa air yang kita pakai berwudlu terkena najiz, maka
pengetahuan kita yang berdasarkan berita tadi telah dikategorikan yakin.
Padahal sebenarnya kemantapan hati kita baru mencapai taraf zhan (asumsi atau
persepsi kuat), karena kita tidak melihat langsung najis yang menimpa air yang
kita gunakan berwudlu itu. Konsekuensinya kita wajib mensucikan kembali anggota
badan yang terkena air najis tersebut sekaligus wajib mengulangi shalat.
Ahli fiqh memaknai syak sebagai keraguan atau kebimbangan akan
terjadinya sesuatu atau tidak terjadi. Makna syak yang diajukan ahli ushul
fiqh, yakni keseimbangan hati dalam menyikapi sesuatu. Dalam pengertin ini,
hati kita tidak lebih cenderung kepada salah satu dari dua kemungkinan yang ada.
Menurut ushuliyyin sering melontarkan kritik epistemologis (teori
ilmu pengetahuan) kepada para fuqaha seputar rumusan kaidah ini. Sebab menurut
ushuliyyin, apabila seseorang telah dihinggapi keraguan dalam hatinya, maka
keyakinan yang sebelumnya telah bulat pasti akan hilang, atau minimal terganggu
dan tidak utuh lagi. Keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan; ini jelas
sesuatu yang mengada-ada dan absurd (irrsional).
Fuqaha menegaskan bahwa yang dimaksud tidak hilang (la yazalu)
bukan berarti keyakinan itu sendiri yang sirna, sebab hal itu mustahil terjadi,
melainkan hukum yang telah terbangun berdasarkan keyakinan itulah yang tidak
hilang.
Al-nawawi menandaskan bahwa syak dalam istilah fuqaha didefinisikan
sebagai keraguan diantara wujud dan tidaknya sesuatu.
Secara lebih sistematis, sebagian ulama memilah kondisi hati dalam
lima bagian berikut:
1.
Yaqin, yakni keteguhan hati yang
bersandar pada dalil qath’iy (petunjuk pasti).
2.
I’tiqad, yakni keteguhan hati yang
tidak bersandar pada dalil qath’iy.
3.
Zhan, yakni presepsi atau asumsi
hati terhadap dua hal berbeda, dimana salah satunya lebih kuat.
4.
Syak, yakni sebentuk prasangka
terhadap dua hal tanpa mengunggulkan salah satu diantara keduanya.
5.
Wahm, atau kemungkinan yang lebih
lemah dari dua hal yang diasumsikan.
B. LANDASAN YURIDIS
a. Al-Qur’an
Pondasi terbangunnya kaidah ini adalah
firman allah swt. Dalam QS. Yunus : 36 yang berbunyi:
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.
Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan”.
Dengan ayat ini, Allah SWT. Memberi
penegasan akan hal yang mesti dijadikan pijakan berfikir dan bertindak. Karena
walau bagaimanapun, hal yang masih dalam keraguan atau masih menjadi tanda
tanya tidak dapat disejajarkan dengan keyakinan. Apabila terjadi keragu-raguan
yang berpotensi untuk mempengaruhi hal-hal yang telah diyakini sebelumya, sudah
barang tentu tidak dapat mempengaruhi keyakinan yang sudah ada, selama belum
ada elemen-elemen fundamental yang dapat menunjukkan bukti valid bahwa keyakinan
itu tidak sesuai kenyataan; al-yaqin la yuzalu bi al-syak.
b. Hadits
Hadits Nabi Muhammad Saw yang menjadi
ponadi kaidah ini antara lain:
Pertama hadits riwayat Imam Muslim r.a.:
ا د
ا و جد ا حد كم في بطنه شيا فا شكل عليه ا خر خ منه شء ا م لا ؟ فلا يخر جن من ا
لمسجد حتي يسمع صو تا أ و يجد ر يحا
“ Apabila salah seorang diantara
kalian merasakan ‘sesuatu’ di dalam perutnya, kemudian dia ragu, apakah telah
keluar sesuatu (dari perutnya) atau tidak, maka janganlah dia keluar dari
masjid (membatalkan shalatnya), sampai dia mendengar suara atau mencium bau”
(HR MUSLIM).
Menurut Al-Nawawi, hadits ini merupakan
salah satu landasan dasar yurisprudensi isalam yang kemudian dijadikan fundamen
terbangunnya kaidah-kaidah fiqh. Dari hadits ini pula terbangun konsep serta
metodologis-analitis mengenai status objek, yakni dengan cara melihat status
hukum asalnya yang tidak akan berubah hingga ada unsur eksternal yang valid dan
mampu mempengaruhi “keaslian”nya.
Kedua, Hadits riwayat Bukhari-Muslim
r.a.:
شكى
ا لى ر سو ل ا لله صلى ا لله عليه و سلم ا لر جل يخيل ا ليه أ نه يجد ا لشئ فى ا
لصلا ة, قا ل "لا ينصر ف حتى يسمع صو تا أ و يجد ر يحا"
Nabi SAW, diberi kabar mengenai
seorang yang merasakan angin (yang keluar dari perut) dalam shalat. Beliau
bersabda “janganlah dia berhenti shalat sampai ia mendengar suara atau mencium
bau”.
Lanjutan dari
hadits pertama, sekaligus penegasan akan substansi yang terkandung didalamnya.
Dlam hadits ini, Nabi SAW. Kembali menegaskan dua hal; pertama keragu-raguan
yang berupa perasaan keluar angin tidak dapat merubah status hukum yang telah
diyakini sebelumnya, yakni kondisi suci dalam
sholat; kedua; keyakinan yang ada
hanya dapat ‘dikalahkan’ oleh keyakinan yang lain; berupa kepastian batalnya
shalat disebabkan keluarnya angin yang bisa dipastikan dengan mendengar suara
atau mencium baunya.
Ketiga, hadits riwayat Muslim r.a.:
إ ذ
ا شك أ حد كم في صل ا ته فلم يد ر كم صلي أ ثل ا ثا أ م أ ر بعا؟ فليطر ح ا لشك و
ليبن علي ما ا ستيقن, ثم يسجد تين قبل أ ن سلم, فإ ن كا ن صلى خمسا شفعن له صلا ته
, و إ ن كا ن صلى إ تما ما لأ ر بع كا نثا تر غيما للشيطا ن.
“ Apabila salah seorang diantara kalian ragu dalam shalatnya,
apakah dia telah mencapai tiga atau empat rakaat? Maka hendak-nya dia membuang
jauh-jauh keraguan itu danberpegang lah pada keyakinannya, kemudian sujud
(sujud sahwi)-lah dua kali sebelum salam. Jika (kenyataannya) dia shalat sampai
lima rakaat, maka shalatnya akan genaplah shalatnya. Namun bila-ternyata-empat
rakaat, maka dua sujudnyaakan membuat malu setan”.
C. APLIKASI KAIDAH
a. SUB KAIDAH PERTAMA
ا لا
صل بقا ء ما كا ن علي ما كا ن
Hukum Asal Adalah Ketetapan Yang Telah Dimiliki Sebelunya
Hukum asal adalah ketetapan yang telah
dimiliki sebelumnya.
Kaidah ini menandaskan bahwa suatu perkara
yang telah berada pada satu kondisi tertentu di masa sebelumnya, akan tetap seperti kondisi semula selama tidak
ada dalil yang menunjukkan terhadap hukum lain. Alasan utama mengapa hukum
pertama harus dijadikan pijakan, karena dasr segala sesuatu adalah tidak
berubah atau tetap seperti sediakala (baqa’). Sementara kemungkinan untuk
merubah dari kondisi semula adalah sesuatu yang baru dan bersifat spekulatif,
sehingga tidak dapat dijadikan pijakan hukum
Dalam ushul fiqh, subtansi kaidah ini
dikenal dengan istilah istishab, yang secara etimologis berarti menetapi dan
tidak berpisah. Secara terminology ushul fiqh, pemaknannya disesuaikan dengan
topik bahsan. Dalam kajian tentang lafadz yang ‘am dank hash, misalnya istishab
dimaknai sebagai menjaga ke-umum-an (universalisme) kata hingga ada dalil yang
meng-khusus-kannya. Sementara dalam istilah fiqh, istishab dimaknai sebagai
“Tepatnya hukum atas keberadaan atau ketidak beradannya. Dalam artian,
jika sebelumnya tidak ada, maka pada masa selanjutny tetap dihukumi tidak ada.
Secara garis besar, fuqaha kemudian membagi istishab dalam dua
pemilihan berikut:
1.
Istishhab al-madli li al-hal, yakni
bila ada suatu perkara yang berada dalam satu kondisi tertentu pada masa lalu
(zaman madli), maka pada masa kini (zaman hal) ia tetap dihukumi seperti
keadaan semula, selama belum ada dalil yang menunjukkan sebaliknya.
2.
Istishhab al-hal li al-madli, yakni
suatu perkara yang pada saat sekarang (zaman hal) berada dalam satu kondisi
tertentu, dimana keberadaannya sama persis seperti pada masa lalu.
Dengan catatan, tidak ada dalil yang menunjukkan sebaliknya.
Sementara kaidah yang sedang kita bahas saat ini lebih identik dengan bagian
yang pertama.
b. SUB KAIDAH KEDUA
ا لا صل عد م ا لفعل
Hukum asal adalah tiadanya pekerjaan
Bahwa pada dasarnya setiap orang mukallaf dinilai belum melakukan
sebuah pekerjaan, sebelum pekerjaan tersebut sudah benar-benar wujud secara
nyata dan diyakini keberadaannya. Banyak persoalan-persoalan fiqhiyyah yang
termasuk cakupan kaidah ini, diantaranya adalah seseorang yang merasakan
keraguan dalam sholat subuh, apakah ia telah mengerjakan qunut atau tidak, maka
ia dianjurkan melakukan sujud sahwi, karena hukum asalnya dia tidak mengerjakan
qunut.
c.
SUB KAIDAH KETIGA
ا لا صل في ا لا شيا ء ا ل ا با حة
Hukum asal segala sesuatu adalah boleh
Penemuan-penemuan baru yang tidak ada pada masa kini, telah
dipersiapkan perangkat hukumnya secara lengkap oleh islam. Jauh-jauh hari
ajaran islam telah memprediksikan hal itu dan memberikan ketentuan-ketentuan
hukum dalam bingkai kaidah yang sangat sederhana, yaitu al-ashlu al-ibahah.
Dalam tataran praktis, kaidah ini dapat diterapkan jika kita
menemukan hewan, tumbuhan, atau apa saja, yang belum diketahui status hukumnya
dalam syari’at. Semua jenis barang tersebut dihukumi halal sesuai substansi
yang dikandung kaidah ini. Namun masih ada pro dan kontra dikalangan ulama
seputar hukum asal segala sesuatu. Mayoritas ulama syafi’iah menyatakan bahwa
hukum asal segala sesuatu adalah halal (mubah/ibahah), selama belum ada dalil
yang mengharamkannya. Dan ada lagi segolongan ulama lainnya yang bersikap diam
(tawaqquf) seputar masalah ini; mereka tidak menyatakan haram atau halal.
Argumen
yang mendasari terbangunnya tiga pendapat tersebut:
a)
Kalangan yang menghalalkan
Argumen
yang mendasari pendapat ini adalah:
QS. Al-Baqarah
ayat 29:
29. Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang
ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu
dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu.
Ayat ini
menandaskan bahwa segala sesuatu yang ada didataran bumi dianugerahkan untuk
kemaslahatan manusia. Sementara wujud nyata anugrah tersebut adalah pemberian
hukum halal (ibahah) pada apa saja yang ada didalamnya. Artinya, manusia diberi
kebebasan untuk memanfaatkan dan mengelola isi bumi, selama tidak ada penegasan
dari Allah SWT, bahwa hal itu adalah terlarang.
QS. Al-A’raf: 32
32. Katakanlah:
"Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan)
rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi
orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di
hari kiamat." Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang
yang Mengetahui.
selain ayat Al-Qur’an banyak pula
hadits Nabi SAW. Yang mendasari pendapat ini, diantaranya HR. Abu Darda r.a.:
ما أ
حل ا لله فهو حلا ل و ما حر م ا لله فهو حر ا م و ما سكت عنه فهو عفو فا قبلو ا من
ا لله عا فيته. فا ن ا لله لا ينسى شيا
Sesuatu yang dihalalkan Allah adalah
halal, sesuatu yang diharamkan Allah adalah haram. Sedangkan hal-hal yang tidak
dijelaskan oleh Allah adalah merupakan pengampunan dari-Nya. Maka terimalah
pengampu-nan dari-Nya. Dan Allah tidaklah lupa akan satu hal pun.
b)
Kalangan
yang mengharamkan
Hukum asal segala sesuatu adalah
haram, menurut ulama Syafi’iah, memang pernah diungkapkan oleh imam Abi
Hanifah. Ternyata qawl rajih madzhab hanafi justru mengklaim bahwa asal segala
sesuatu adalah ibahah, sama persis dengan pendapat syafi’iah. Dikalangan hanafi
sendiri masih terjadi silang pendapat status pendapat asal segala sesuatu, ada
yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Sebagian ulama hanafi,
beberapa ulama hadits dan mu’tazilah juga termasuk golongan yang menilai bahwa
hukum asal segala sesuatu adalah haram. Dalil yang menjadi pijakan antara lain
QS. Al-Nahl ayat 116:
116. Dan janganlah kamu
mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini
halal dan Ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah
beruntung.
Dalam arti, urusan haram dan halal
hanya pada diri-Nya. Dalam Arti, urusan halal haram adalah hak prerogatif Allah
SWT, bukan wewenang manusia. Tidak ada celah bagi manusia untuk menentukan
vonis halal dan haram kecuali jika telah diberitahukan oleh Allah SWT.
Dalil kedua adalah hadits yang
berbunyi:
ا
لحلا ل بين و ا لحر ا م بين و بينهما أ مو ر مشتبه ت و ا لمؤ منو ن و قا فو ن عند
ا لشبها ت
Sesuatu yang halal sudah jelas, yang
haram pun sudah jelas pula. Sedangkan sesuatu yang berada diantara keduanya
adalah hal-hal yang samar (syubhat). Orang-orang yang beriman mereka akan
bersikap ‘diam’ ketika berhadapan dengan syubhat.
Menurut ulama
“anti syubhat” tersebut, penerapan hukum haram jauh lebih terjamin keamanannya
daripada hukum halal. Padahal menghukumi halal pada semua ciptaan Allah SWT,
adalah perbuatan yang kemungkinan besar tidak di izini oleh-Nya. Padahal
menghukumi halal pada semua ciptaan Allah SWT, sama saja memberikan kebebasan
manusia untuk mengeksploitasi isi alam tanpa izin Sang Pemilik Sejati, ini
jelas tidak masuk akal dan cenderung spekulatif.
c)
Kalangan
yang bersikap “abstain” (tawaqqaf)
Pendapat yang
ketiga ini memilih diam dan tidak memberikan komentar tentang hukum asal segala
sesuatu. Artinya, hal-hal yang masih bersifat “misterius” ini adalah perkara
yang belum mempunyai hukum dan kita sama sekali tidak dituntut (dan tidak akan
mampu) memberi status hukum kepadanya. Hanya Allah lah yang berhak memutuskan,
dan hanya Dia pula yang Maha Mengetahui segala “rahasia” dibalik semua fenomena
ini.
d.
SUB KAIDAH KEEMPAT
ا لا صل في ا لا بضا ع ا لتحر يم
Hukum asal abdla’ (farji) adalah haram
Abdla’ adalah bentuk jamak dari kata budl’ yang maknanya sinonim
dengan kata farj atau vagina. Budl’ juga dapat berarti menikahi (tazwij),
seperti halnya kata al-nikah yang mempunyai dua arti; dapat diartikan
bersetubuh (wath’i) dan akad pernikahan (aqd al-nikah). Dalam redaksi lain,
kaidah ini diungkapkan dengan kata-kata; al-ashlu fi al-nikah al-hadzru; hukum
asal pada hal-hal yang berhubungan dengan masalah nikah adalah dilarang.
Perbedaannya dua kaidah ini lebih dipicu oleh faktor penggunaan dua kata yang
berbeda, yakni al-budl’ dan al-nikah, yang sebenarnya memiliki kemiripan makna.
Dua kaidah di atas menandaskan bahwa, hukum asal pernikahan, yang selalu
terkait dengan persoalan hubungan intim antara suami-istri, adalah haram.
Sementara diperbolehkannya hubungan seksual diantara keduanya, hanya berlaku
setelah melalui proses pernikahan, dilatarbelakangi oleh adanya satu kebutuhan
mendasar dan mendesak, yaitu demi menjaga kelestarian keturunan dan
mempertahankan populasi manusia.
e.
SUB KAIDAH KELIMA
ا لا صل في ا لكلا م ا لحقيفة
Hukum asal dalam ucapan adalah makna hakiki.
Dalam bahasa arab dikenal istilah haqiqah dan majaz yang memiliki
kemiripan dengan makna hakiki dan makna kiasan dlam bahasa indonesia, walaupun
tidak sama persis. Haqiqah adalah sebuah kata yang mempunyai makna sesuai
dengan makna aslinya tanpa ada pembiasan. Sedangkan majaz adalah kata-kata yang
mempunyai arti yang sudah membias atau ambigu (makna kedua)
Contoh pemaknaan kata yang belum membias kemakna majaz (masih dalam
lingkup haqiqat) adalah sebagai berikut:
Orang yang bersumpah tidak akan membeli dan tidak akan melakukan
penjualan apapun. Dengan sumpahnya ini, ia tidak akan dianggap sebagai orang
yang melanggar sumpah ketika mewakilkan penjualan dan pembeliannya itu pada
orang lain. Menurut al-suyuthi, hal ini karena ucapan tersebut diberlakukan
sesuai dengan makna haqiqat-nya, yaitu penjualan dan pembelian yang hanya
dilakukan oleh diri sendiri.
f.
SUB KAIDAH KEENAM
ا لا صل بر ا ء ة ا لد مة
Hukum asal adalah bebas dari tanggungan
Kaidah ini menandaskan bahwa, patokan dasar manusia dalam hubungan
masyarakat (relasi sosial) maupun individualnya adalah keterlepasannya dari
tanggungjawab hak orang lain (dzimmah) ketika hak itu belum pasti. Secara
bahasa, dzimmah memiliki beberapa arti perjanjian, jaminan, perlindungan dan
sumpah. Namun dalam kaidah ini, dzimah diartikan sebagai tanggungjawab manusia
terhadap suatu barang, atau tanggungjawab berupa hak individu dengan hak
individu lainnya. Pada dasarnya setip manusia terbebas dari tanggungan yang
berupa kewajiban melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sebaliknya, bila
seseorang memiliki tanggungan, maka ia telah berada dalam posisi yang tidak
sesuai kondisi asal.
Kontrdiksi
dari kaidah ini berasal dari hadits nabi saw. Yang berbunyi:
ا لبينة علي ا لمد عي و ا ليمين علي ا لمد عي عليه ( ر و ا ه ا لبخا ر
ي و مسلم و أ بو د ا و ا لتر مد ي و ا لنسا ىي و ا بن ما جه و ا حمد )
Mendatangkan
bukti wajib atas oarang yang mendakwa, sedangkan sumpah wajib atas orang yang
didakwa (HR. BUKHARI, MUSLIM, Abu Dawud, Turmu-dzi, Nasa’i, Ibn Majah dan
Ahmad).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari pembahasan
tersebut dapat kita tarik benang
merah bahwa rasa yakin akan mengarahkan manusia menuju kunci kesuksesan
dan keberhasilan menggapai kebahagiaan
hidup dunia dan akherat. Keyakinan merupakan sugesti yang sangat kuat
mempengaruhi dalam setiap langkah yang akan di lalui oleh manusia.Dalam
pembahasan di depan telah di bahas bahwa hukum yang sudah berlandaskan
keyakinan tidak bisa di pengaruhi oleh keraguan yang timbul kemudian.
Yang di maksud yakin dalam hal ini adalah tercapainya
kemantapan hati pada satu objek hukum yang telah di kerjakan,baik kemantapan
itu sudah mencapai kadar pengetahuan yang mantap atau hanya persepsi yang
kuat(zhan).Terlepas dari kaidah-kaidah yang telah di bahas sebelumnya bahwa
sejarah telah menjadi saksi bagaimana para filosuf ,pemikir,cendekiawan dan
lain sebagainya tentunya mempunyai keyakinan yang kuat dalam setiap apa yang
mereka lakukan serta mempunyai landasan pijak sebagai penyangga atas keilmuan
yang mereka miliki.
DAFTAR PUSTAKA
KH.
Maimoen Zubair (Pengantar).2005.Formulasi Nalar Fikih.Surabaya:Khalista
H.
A.Djazuli.2006.Kaidah-Kaidah Fiqh.Jakarta:Kencana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar