PONDOK PESANTREN SEBAGAI BASIS
PENDIDIKAN ISLAM
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Individu
Semester II Program Setrata
I (S1) Fakultas Tarbiyah Kelas .C
Mata Kuliah : Filsafat
Pendidikan Islam
Dosen
Drs. H. Dawamudin, M.Ag
0leh
AMAD
NUR SAEFUL ANWAR
NIM : 2103905
NIM : 2103905
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(STAINU ) KEBUMEN
2011
2011
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum. wr.wb.
Alhamdulillah segala puja dan puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan banyak
kenikmatan, berupa segala yang telah dirasakan dalam kehidupan ini. Satu
diantaranya adalah pemberian ilmu dan kemampuan menuangkannya kedalam bentuk
tulisan serta menjadikannya kedalam bentuk makalah yang berjudul “Pondok Pesantren Sebagai Basis Pendidikan
Islam”.
Sholawat dan
salam semoga tetap terlimpahkan kepada beliau Nabi Akhiruz zaman yaitu Nabi
Muhammad SAW, keluarga serta para sahabat-sahabat Baginda.
Penulis berkewajiban menyampaikan ucapan
terima kasih kepada para dosen dan guru besar yang mana penulis banyak menimba
ilmu dari padanya, khususnya Yth. Drs.
H. Dawamudin, M.Ag yang telah memberikan ilmu baru dalam mata kuliah
Filsafat Pendidikan Islam.
Makalah ini tentu saja jauh dari
sempurna, karenanya penulis senantiasa mengharapkan masukan dan kritik dari
pembaca. Meski disadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, namun penulis
tetap berharap bahwa tulisan ini bisa bermanfaat. Amin.
Akhir kata,
dengan tangan terbuka dan rasa tanggung jawab kami mengharapkan kritik, dan
saran yang bersifat membangun dari para pembaca yang budiman, yang kiranya
dapat meningkatkan motivasi dalam belajar.
Wassalamu’alaikum.wr.wb.
Kebumen,
…….. 2011
PENULIS
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Pesantren
sebagai lembaga yang mengiringi dakhwah islamiyah di Indonesia memiliki
persepsi yang plural. Pesantren bisa dipandang sebagi lembaga ritual, lembaga
pembinaan moral, lembaga dakwah, dan yang paling populer adalah sebagi institusi
pendidikan islam yang mengalami konjungtur dan romantika kehidupan dalam
menghadapi berbagai tantangan internal maupun eksternal.
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren telah eksis di
tengah masyarakat selama enam abad ( mulai abad ke-15 hingga sekarang ) dan
sejak awal berdirinya menawarkan kepada
mereka yang masih buta huruf. Pesantren pernah menjadi satu-satunya institusi
pendidikan milik masyarakat pribumi yang memberikan kontribusi sangat besar
dalam membentuk masyarakat melek huruf dan melek budaya.
Jalaluddin bahkan
bahkan paling tidak pesantren telah memberikan dua macam konstribusi bagi
sistem pendidikan di indonesia. Pertama, adalah melestarikan dan melanjutkan
sistem pendidikan rakyat, dan kedua, mengubah sistem pendidikan aristokrasi
menjadi sistem pendidikan demokratis.
Pesantren tumbuh dari bawah, atas kehendak masyarakat yang terdiri atas :
kiai, santri, dan masyarakat sekitar, terkadang perangkat desa.
2.
Rumusan
Masalah
Adapun
masalah-masalah yang akan dibahas yakni sebagai berikut:
- Definisi pondok pesantren menurut para ahli pondok pesantren ?...............
- Tujuan umum pesantren dalam membina kehidupan serta menjadikannya sebagai orang yang berguna bagi agama, masyarakat, dan negara ?.............
- Apa saja jenis-jenis metode yang di transformasikan dalam pendidikan di pesantren ?........................
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN PESANTREN SECARA
TERMINOLOGI
Istilah Pesantren biasa disebut dengan pondok saja atau kedua kata ini
digabung menjadi pondok pesantren. Pondok pesantren menurut M. Arifin berarti,
Suatu lembaga pendidikan Agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat
sekitar, dengan sistem asrama ( komplek ) di mana santri-santri menerima
pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada
di bawah kedaulatan dari leadership seorang atau beberapa orang Kiai dengan
ciri-ciri khas yang bersifat karismatik serta independen dalam segala hal.
Lembaga Research Islam ( pesantren leluhur )
mendefinisikan pesantren adalah “suatu tempat yang tersedia untuk para santri
dalam menerima pemlajaran-pelajaran agama islam sekaligus tempat berkumpul dan
tempat tinggalnya”.
Menurut para ahli
pesantren baru dapat disebut pesantren bila memenuhi lima syarat, yaitu :
1.
Kiai pesantren, mencakup ideal kiai
untuk zaman kini dan nanti.
2.
Pondok, mencakup syarat-syarat fisik
dan nonfisik, pembiayaan, tempat, penjagaan.
3.
Masjid, cakupannya sama dengan
pondok
4.
Santri, meliputi masalah syarat,
sifat dan tugas santri.
5.
Kitab kuning, mencakup kurikulum
pesantren dalam arti luas.
B.
TUJUAN PESANTREN
Pesantren sebagai lembaga pendidikan tidak memiliki
formulasi tujuan yang jelas, baik dalam tataran institusional, kurikuler maupun
instruksional umum dan khusus. Tujuan yang dimilikinya hanya ada dalam
angan-angan. Pokok persoalannya bukan terletak pada ketiadaan tujuan, melainkan
tidak tertulis tujuan. Seandainya pesantren tidak memiliki tujuan, tentu
aktivitas di lembaga pendidikan islam yang menimbulkan penilaian kontroversial
ini tidak mempunyai bentuk yang konkret. Proses pendidikan akan kehilangan
orientasi sehingga berjalan tanpa arah dan menimbulkan kekacauan ( chaos ).
Tujuan umum pesantren adalah membina warga negara agar
berkepribadian muslim sesuai dengan ajaran-ajaran agama islam dan menanamkan
rasa keagamaan tersebut pada semua segi kehidupannya serta menjadikannya
sebagai orang yang berguna bagi agama, masyarakat, dan negara.
Menurut Mastuhu ada delapan tujuan pendidikan pesantren
adalah sebagai berikut :
1.
Memiliki kebijaksanaan menurut
ajaran islam.
Anak didik dibantu agar mampu memahami makna hidup,
keberadaan, peranan, serta tanggungjawabnya dalam kehidupan di masyarakat.
2.
Memiliki kebebasan yang terpimpin.
Setiap manusia
memiliki kebebasan, tetapi kebebasan itu harus dibatasi karena kebebasan
memiliki potensi anarkisme. Keterbatasan ( ketidak bebasan ) mengandung
kecenderungan mematikan kreativitas, karena itu pembatasan harus dibatasi.
3.
Berkemampuan mengatur diri sendiri.
Di pesantren,
santri mengatur sendiri kehidupannya menuruti batasan yang diajarkan agama. Ada
unsur kebebasan dan kemandirian disini. Bahkan masing-masing pesantren juga
mengatur dirinya sendiri.
4.
Memiliki rasa kebersamaan yang
tinggi.
Dalam hal kewajiban, individu harus menunaikan kewajiban
lebih dahulu, sedangkan dalam hal hak, individu harus mendahulukan kepentingan
orang lain sebelum kepentingan diri sendiri.
5.
Menghormati orang tua dan guru.
Tujuan ini dicapai antara lain melalui penegakan berbagai
pranata di pesantren seperti mencium tangan guru, tidak membantah guru.
Demikian juga terhadap orang tua. Nilai ini agaknya sudah banyak terkikis di
sekolah-sekolah umum.
Dalam hal ini, ada satu hadist n Nabi:
عن أبى هريرة قال جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه والسلام فَقَالَ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِى قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوْكَ
“Menurut Abu Hurairah RA telah diceriterakan :“Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW menanyakan : “Siapakah orang yang lebih berhak untuk saya berbuat baik padanya?” Jawab Nabi : “Ibumu.” Tanya laki-laki: “Sesudah itu siapa ?” Jawab Nabi : “Ibumu.” Tanya laki-laki :”Sesudah itu Siapa?” Jawab Nabi : “Ibumu.” Tanya laki-laki : “Sesudah itu siapa?” Jawab Nabi : “Sesudah itu Bapakmu”.
عن عبدالله بن عمرو قال جاء رجل الى النبى صلى الله عليه والسلام يَسْتَأْذِنُهُ فِى الْجِهَادِ فَقَالَ أَحَىٌّ وَالِدَاكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيْهِمَا فَجَاهِدْ
Menurut Abdullah bin Amru RA dikatakan : “Datang seorang laki-laki kepada Nabi SAW meminta supaya diizinkan turut berperang. Nabi bertanya : “Masih hidupkah kedua orang tuamu?” Dia menjawab : “Ya (masih hidup)!” Sabda Nabi : “Hendaklah engkau berjihad, untuk kebaikan keduanya.”
عن أبى هريرة قال جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه والسلام فَقَالَ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِى قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوْكَ
“Menurut Abu Hurairah RA telah diceriterakan :“Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW menanyakan : “Siapakah orang yang lebih berhak untuk saya berbuat baik padanya?” Jawab Nabi : “Ibumu.” Tanya laki-laki: “Sesudah itu siapa ?” Jawab Nabi : “Ibumu.” Tanya laki-laki :”Sesudah itu Siapa?” Jawab Nabi : “Ibumu.” Tanya laki-laki : “Sesudah itu siapa?” Jawab Nabi : “Sesudah itu Bapakmu”.
عن عبدالله بن عمرو قال جاء رجل الى النبى صلى الله عليه والسلام يَسْتَأْذِنُهُ فِى الْجِهَادِ فَقَالَ أَحَىٌّ وَالِدَاكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيْهِمَا فَجَاهِدْ
Menurut Abdullah bin Amru RA dikatakan : “Datang seorang laki-laki kepada Nabi SAW meminta supaya diizinkan turut berperang. Nabi bertanya : “Masih hidupkah kedua orang tuamu?” Dia menjawab : “Ya (masih hidup)!” Sabda Nabi : “Hendaklah engkau berjihad, untuk kebaikan keduanya.”
6.
Cinta kepada ilmu.
Menurut Al-Qur’an ilmu datang dari Allah SWT. Karena itu
orang-orang pesantren cenderung memandang ilmu sebagai sesuatu yang suci dan
tinggi.
7.
Mandiri.
Mandiri yang
dimaksud adalah berdiri atas kekuatan sendiri. Sejak awal santri telah dilatih
untuk mandiri. Merka kebanyakan memasak sendiri, mengatur uang belanja sendiri.
Metode sorogan yang individual juga memberikan pendidikan kemandirian.
8.
Kesederhanaan.
Secara lahiriah sederhana memang mirip dengan miskin.
Yang dimaksud sederhana di pesantren adalah sikap hidup, yaitu sikap memandang
sesuatu, terutama materi, secara wajar, proporsional, dan fungsional.
Keunggulan
utama pada pendidikan pesantren adalah penanaman keimanan.
Penanaman
iman itu bukan terutama penanaman konsep di kepala sebagaimana di lakukan oleh
kebanyaka guru agama sekarang. Di pesantren dilakukan lewat contoh terutama
dari kehidupan kiai, pembiasaan, peraturan kedisiplinan, ibadah, dan kondisi
umum kehidupan pesantren itu sendiri.
Iman itu bertempat di hati, bukan di kepala.
Q.S.
Al-Hujarat: 14
14. Orang-orang Arab Badui itu berkata:
"Kami Telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi
Katakanlah 'kami Telah tunduk', Karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu;
dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dia tidak akan mengurangi
sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang."
Q.S.
Al-Ma’idah: 41
41. Hari rasul, janganlah hendaknya kamu
disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu
diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka:"Kami Telah
beriman", padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara
orang-orang Yahudi. (orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar
(berita-berita) bohong[415] dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang
lain yang belum pernah datang kepadamu[416]; mereka merobah[417]
perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. mereka mengatakan:
"Jika diberikan Ini (yang sudah di robah-robah oleh mereka) kepada kamu,
Maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan Ini Maka hati-hatilah".
barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, Maka sekali-kali kamu tidak
akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah. mereka itu adalah
orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. mereka beroleh
kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.
C.
MATERI DASAR-DASAR KEISLAMAN DAN
ILMU KEISLAMAN
Ketika masih di langgar atau masjid, kurikulum pengajian
masih dalam bentuk yang sederhana, yakni berupa inti ajaran Islam yang
mendasar. Rangkaian trio komponen ajaran islam yang berupa iman, islam, dan
ihsan atau doktrin, ritual, dan mistik telah menjadi perhatian kiai perintis
pesantren sebagai isi kurikulum yang diajarkan kepada santrinya. Sebaba
disesuaikan dengan tingkat intelektual dengan masyarakat dan kualitas
keberagamaan pada waktu itu. Aya Sifia et al, melaporkan bahwa isi pengajian
itu berkisar pada soal rukun iman, rukun islam, akhlak, dan ilmu hikmah atau
tasawuf.
Peralihan dari langgar atau masjid lalu berkembang
menjadi pondok pesantren ternyata membawa perubahan materi pengajaran.[1]
Dari sekedar pengetahuan menjadi ilmu. Dari materi yang hanya bersifat doktrinal menjadi lebih
interpretatif kendati dalam wilayah yang sangat terbatas. Mahmud yunus
mencatat, “ilmu yang mula-mula diajarkan di pesantren adalah ilmu sharaf dan
nahwu, kemudian ilmu fiqih, tafsir, ilmu kalam ( tauhid ), akhirnya sampai
kepada ilmu tasawuf dan sebagainya.
Dalam perkembangan selanjutnya , santri perlu diberikan
bukan hanya ilmu-ilmu yang terkait dengan ritual keseharian yang bersifat
praktis-pragmatis, melainkan ilmu-ilmu yang berbau penalaran yang menggunakan
referensi wahyu seperti ilmu kalam, bahkan ilmu-ilmu yang menggunakan cara
pendekatan yang tepat kepada Allah seperti tasawuf.
1.
Tauhid memberikan pemahaman dan keyakinan
terhadap keesaaan Allah.
2.
Fiqih memberikan pemahaman cara-cara
beribadah sebagai konsekuensi logis dari keimanan yang telah dimiliki
seseorang.
3.
Tasawuf membimbing seseorang pada
penyempurnaan ibadah agar menjadi orang yang benar-benar dekat dengan Allah.
Kapasitas dan kecenderungan kiai merupakan faktor yang
menentukan pengembangan kurikulum tersebut.[2]
Ilmu-ilmu yang diajarkan di pesantren pada mulanya haruslah imu-ilmu yang telah
dikuasai kiai dan telah menjadi kecenderungannya seperti ilmu tasawuf.
Para kiai umumnya memiliki kecenderungan yang kuat pada
tasawuf baik pada tataran amalan maupun keilmuan yang merupakan pewarisan
terhadap sosok para wali.
Penambahan dan Perincian Materi Dasar
Hasil penelitian L.W.C. Van den Berg sebagaimana yang
dikutip Steenbrinnk bahwa materi tersebut meliputi fiqih, tata bahasa Arab,
ushul al-Din, tasawuf, dan tafsir.
Beberapa laporan mengenai materi pelajaran tersebut dapat
disimpulkan : Al-Qur’an dengan tajwid dan tafsirnya, aqaid dan ilmu kalam,
fiqih dengan ushul fiqh, hadits dengan musththalah hadits, bahasa arab dengan
ilmu alatnya seperti nahwu, sharaf, bayan, ma’ani, badi’ dan ‘arudh, tarikh,
mantiq, tasawuf, akhlak dan falak. Tidak semua pesantren mengajarkan ilmu
tersebut secara ketat.
D.
PERANAN PESANTREN
Peranan paling menonjol di masa penjajahan adalah dalam
menggerakan , memimpin dan melakukan untuk mengusir penjajah. Kemudian ikut
memprakarsai berdirinya Negara Republik Indonesia.
Disamping itu pesantren juga berperan dalam bebagai
bidang lainnya secara multidimensional baik berkaitan langsung dengan
aktivitas-aktivitas pendidikan pesantren maupun di luar wewenangnya.
Dalam mendukung Keluarga Berencana, Zaeni menegaskan,
“sesungguhya pondok pesantren mempunyai peranan yang cukup besar dalam
memasukan gagasan dan mendorong Keluarga Berencana ( KB ) sebagai wahana untuk
kualitas manusia dan kesejahteraan keluarga”.
Pesantren juga terlibat langsung menanggulangi bahaya
narkotika. Wahid menyatakan bahwa di salah satu pesantren besar di jawa timur,
seorang kiai mendirikan sebuah SMP, untuk menghindari penggunaan narkotika di
kalangan santri yang aslnya putra putri mereka disekolahkan diluar pesantren.
Bahkan pondok pesantren Suryalaya sejak 1972 telah aktif membantu pemerintah
dalam masalah narkotika dengan mendirikan lembaga khusus untuk menyembuhkan
korbannya yang disebut “Pondok Remaja Inabah”.
Hanya saja dalam kaitan dengan peran tradisionalnya,
sering diidentifikasi memiliki tiga peran penting dalam masyarakat Indonesia:
- Sebagai pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional.
- Sebagai penjaga dan pemilahara keberlangsungan Islam tradisional.
- Sebagai pusat reproduksi ulama.
E.
TRANSFORMASI METODE PENDIDIKAN
PESANTREN
Kategori pesantren tradisional dan modern ternyata
mengakibatkan perubahan metode. Departemen Agama RI melaporkan bahwa metode
penyajian atau penyampaian di pesantren ada yang bersifat tradisional seperti
balaghah, wetonan, dan sorogan. Metode yang non tradisional ( metode yang baru
diintrodusir ke dalam institusi tersebut berdasarkan pendekatan ilmiah ).
Menurut Arifin metode di pondok pesantren terdiri atas: metode wetonan, metode
sorogan, metode muhawarah, metode mudzakarah, dan metode majlis ta’lim.
Pengertian Metode-Metode Tradisional
1. Metode Sorogan merupakan suatu
metode yang ditempuh dengan cara guru menyampaikan pelajaran kepada santri
secara individual, biasanya di samping di pesantren juga dilangsungkan di
langgar, masjid atau terkadang di rumah-rumah. Penyampaian pelajaran kepada
santri bergilir ini biasanya dipraktekan pada santri yang jumlahnya sedikit. Sasaran
metode ini adalah kelompok santri pada tingkat rendah yaitu mereka yang baru menguasai
pembacaan Al-Qur’an. Melalui sorogan , perkembangan intelektual santri dapat
ditangkap kiai secara utuh. Metode sorogan justru mengutamakan kematangan dan
perhatian serta kecakapan seseorang.
2.
Metode Wetonan atau disebut Bandongan
adalah metode yang paling utama di lingkungan pesantren. Zamakhsyari Dhofier
menerangkan bahwa metode wetonan ialah suatu metode pengajaran dengan cara guru
membaca, menterjemahkan, menerangkan dan mengulas buku-buku Islam dalam Bahasa
Arab sedang sekelompok santri mendengarkannya. Mereka memperhatikan bukunya
sendiri dan membuat catatan-catatan tentang kata-kata atau buah pikiran yang
sulit. Penerapan metode ini mengakibatkan santri bersikap pasif. Wetonana dalam
prakteknya selalu berorientasi pada pemompaan materi tanpa melalui kontrol
tujuan yang tegas. Bandongan ini merupakan hasil adaptasi dari metode
pengajaran agama yang berlangsung di timur tengah terutama di mekah dan
Al-Azhar, Mesir.
Metode bandongan,
para santri memperoleh kesempatan untuk bertanya atau meminta penjelasan lebih
lanjut atas keterangan kiai.
3.
Metode Ceramah: Metode sorogan dan wetonan mengalami pergeseran menjadi ceramah menunjukkan bahwa orientasi
pengajaran secara praktis-pragmatis terhadap santri-santri yang belum memiliki
dasar ilmu alat yang kuat. Metode ceramah justru mengakibatkan santri menjadi
lebih pasif.
4.
Metode Muhawarah adalah suatu kegiatan berlatih bercakap-cakap dengan
bercakap-cakap yang diwajibkan pesantren kepada santri selama mereka tinggal di
pondok.
5.
Metode Mudzakarah merupaka suatu pertemuan ilmiah yang secara spesifik
membahas masalah diniyyah seperti: aqidah, ibadah, dan masalah agama pada
umumnya. Aplikasi metode ini dapat membangkitkan semangat intelektual santri.
Mereka diajak berpikir ilmiah dengan menggunakan penalaran-penalaran yang
disandarkan pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah serta kitab-kitab islam klasik. Namun
penerapan metode ini belum bisa berlangsung secara optimal. Ketika santri
membahas aqidah dan ibadah khususnya, selalu dibatasi pada madzhab tertentu.
Materi aqidah atau kalam dibatasi pada paham Asy’ariyyah, sedang dalam materi
ibadah dibatasi pada pemahaman fiqhiyyah Imam Syafi’i. Metode ini bahkan
diminati kiai yang tergabung dalam forum Bahtsul Masail.
6. Metode Majelis Ta’lim adalah
suatu metode penyampaian ajaran Islam yang bersifat umum dan terbuka, yang
dihadiri jama’ah yang memiliki latar belakang pengetahuan, tingkat usia, dan
jenis kelamin. Sebagaimana pengajian melalui wetonan maupun bandongan.
Pengajian
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian-uraian diatas maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa:
Pesantren adalah sistem pendidikan yang tumbuh dan lahir
dari kultur Indonesia yang bersifat indegenous. Lembaga inilah yang dilirik
kembali sebagai model dasar pengembangan konsep pendidikan ( baru ) Indonesia.
Profil kepemimpinan kiai yang karismatik sehingga
menimbulkan sikap otoriter dan berkuasa mutlak diprediksi tidak mampu bertahan
lama. Kaderisasi hanya terbatas pada keturunan, menyebabkan tidak ada kesiapan
menerima tongkat estafet kepemimpinan ayahnya. Tidak semua putra kiai memiliki
kemampuan, orientasi dan kecenderungan yang sama dengan ayahnya. Di sisi lain,
pihak luar hampir tidak pernah diberikan kesempatan mengendalikan pesantren.
Orang luar, kecuali menantu tidak berani melanjutkan kepemimpinan kiai sebagai
pengasuh meskipun memiliki potensi yang cukup sebab bukan jalur keturunannya.
Keharuman pesantren sebagai pusat kajian keislaman, pusat dakwah dan lembaga
sosial tinggal dalam lintas sejarah masa lampau yang sulit dikembalikan.
Yang menjadi ukuran masyarakat adalah wawasan sosial,
organisasi modern, pluralisme keilmuan dan sebagainya. Masalah ini tidak pernah
di perhitungkan sama sekali di dalam materi pendidikan di pesantren. Kini
pesantren menghadapi tantangan baru, yaitu pembangunan, kemajuan, pembaharuan,
serta tantangan keterbukaan dan globalisasi.
B. Saran
Penulis menyadari makalah ini
masih banyak kekurangan disana-sini. Dan mengharapkan saran, masukan, dan kritikan yang sifatnya membangun
dari pembaca yang bisa sebagai referensi atau instropeksi membangun sebuah
makalah sebagai bahan rujukan bersama.
Jangan bosan untuk selalu
berproses dan berproses.
[1] Menurut Abdurrahman
Wahid, masjid sebagai tempat mendidik dan menggembleng santri agar lepas dari
hana nafsu, berada ditengah-tengah komplek pesantren adalah mengikuti model
wayang. Di tengah-tengah ada gunung.
[2] Muhammad Tholchah Hasan melihat kiai dari empat sisi yakni
kepemimpinan ilmiah, spiritualitas, sosial, dan administrasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir.
1991. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif
Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mujamil Qomar,
M.Ag. 1993. Pesantren Dari Transformasi
Metodologi Demokrasi Institusi. Jakarta: Erlangga.
Posting Komentar - Back to Content