Model Penelitian Hadits



MAKALAH TENTANG
MODEL PENELITIAN HADITS
MATA KULIAH: ISALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
Dosen Pengampu : Sudadi, M. Pd.I




 









SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
STAINU KEBUMEN
Jl. Tentara Pelajar No. 55 B Kebumen Telp/Fak. (02187) 385906




 
BAB I
PENDAHULUAN

Sebagai sumber ajaran  Islam yang kedua setelah Al-qur’an, keberadaan hadits, di samping telah mewarnai masyarakat dalam berbagai bidang kehidupannya, juga telah menjadi bahasan kajian yang menarik, dan tiada henti-hentinya. Penalitian terhadap hadits baik dari segi keotentikannya, kandungan makna dan ajaran yang terdapat di dalamnya, macam-macam tingkatan maupun fungsinya dalam menjelaskan kandungan Al-qur’an dan lain sebagainya telah banyak dilakukan para ahli di bidangnya.
Hasil-hasil penelitian dan kajian para ahli tersebut selanjutnya telah didokumentasikan dan dipublikasikan baik kepada kalangan akademis di perguruan-perguruan tinggi, bahkan madrasah maupun pada masyarakat pada umumnya. Bagi kalangan akademis, adanya berbagai hasil penelitian hadits tersebut telah membuka peluang untuk diwujudkannya suatu disiplin kajian Islam, yaitu Bidang Studi Hadits.
Mengingat pentingnya kedudukan hadits dalam syariat islam dan fungsinya terhadap Al-Qur’an, para sahabat memberikan perhatian terhadap hadits-hadits Nabi dan berusaha keras untuk memperolehnya sebagaimana sikap mereka terhadap Al-Qur’an. Mereka menghafalkan lafaz-lafaz hadits atau maknanya, memahami dan mengetahui maksud tujuannya, dengan berdasarkan naluri yang mereka miliki, berdasarkan petunjuk-petunjuk Rasul yang mereka dengar, perbuatan dan perilakunya yang mereka saksikan dan berdasarkan pengetahuan mereka mengenai situasi dan kondisi yang melatarbelakangi diucapkannya hadits-hadits itu. Dan hadits-hadits yang sulit dipahami atau tidak diketahui maksudnya, mereka tanyakan langsung kepada Nabi SAW. 






BAB II

A.    PENGERTIAN HADITS
Pada garis besarnya pengertian hadits dapat dilihat melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan kebahasaan (linguistik), dan pendekatan Istilah (terminologis).
1.    Dilihat dari pendekatan kebahasaan, hadits berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata hadatsa, yahdutsu, hadtsan, haditsan, dengan pengertian yang bermacam-macam. Kata tersebut misalnya dapat berarti al-jadid min al-asy ya’ sesuatu yang baru, sebagai lawan dari kata al-qadim  yang artinya sesuatu yang sudah kuno atau klasik. Penggunaan kata al-hadits dalam arti demikian dapat kita jumpai pada ungkapan hadits al-bina dengan arti jaded al-bina artinya bangunan baru.
2.    Selanjutnya, kata al-hadits dapat pula berarti al-qarib yang berarti menunjukkan pada waktu yang dekat atau waktu yang singkat. Untuk ini kita dapat melihat pada contoh hadits al-’ahd bi al-Islam yang berarti orang yang baru masuk Islam.
3.    Kata al-hadis kemudian dapat pula berarti al-khabar yang berarti mayutahaddats bih wa yunqal, yaitu sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan atau diberitakan, dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.
Dari ketiga arti kata al-hadits tersebut, nampaknya yang banyak digunakan adalah pengertian yang ketiga, yaitu sesuatu yang diperbincangkan atau al-hadits dalam arti al-khabar. Misalnya ayat-ayat yang mengandung kata al-hadits dalam arti al-khabar berikut ini.
“Maka hendaklah mereka mendatangkan khabar (berita) yang serupa dengan Al-qur’an itu jika mereka mengaku orang-orang yang benar”. (QS Al-Thur, 52:34).
Selanjutnya hadits dilihat dari segi pengertian istilah dijumpai pendapat yang berbeda-beda. Hal ini antara lain disebabkan karena perbedaan cara pandang yang digunakan oleh masing-masing dalam melihat suatu masalah. Para ulama ahli hadits misalnya berpendapat bahwa hadits adalah ucapan, perbuatan dan keadaan Nabi Muhammad SAW. Sementara ulama ahli hadits bukan hanya perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah SAW, akan tetapi termasuk perkataan, perbuatan, dan ketetapan para sahabat dan tabi’in. Dari pada itu ulama ahli ushul fiqih berpendapat bahwa hadits adalah perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah SAW yang berkaitan dengan hukum. Ulama ahli fiqih mengidentikkan hadits dengan sunnah, yaitu sebagaisalahsatudarihukum taklifi, suatu perbuatan apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak akan disiksa.


B.     MODEL-MODEL PENELITIAN HADITS
1.    Model H.M. Quraish Shihab
Penelitian yang dilakukan Qurais Shihab terhadap hadits menunjukkan jumlahnya tidak lebih banyak jika dibandingkan dengan penelitian terhadap Al-qur’an. Dalam bukunya berjudul Membumikan Al-Qur’an, Quraish Shihab hanya meneliti dua sisi dari keberadaan hadits, yaitu mengenai hubungan hadits dan Al-qur’an serta fungsi dan posisi sunnah dalam tafsir.
2.    Model Musthafa Al-Siba’iy
Musthafa Al-Siba’iy yang dikenal sebagai tokoh intelektual Muslim dari Mesir dan disebut-sebut sebagai pengikut gerakan ikhwanul muslimin. Hasil penelitian yang dilakukan Musthafa Al-Siba’iy antara lain mengenai sejarah proses terjadinya dan tersebarnya hadits mulai dari Rasulullah sampai terjadinya upaya pemalsuan hadits dan usaha para ulama untuk membendungnya, dengan melakukan pencatatan sunnah, kitab-kitab tentang hadits-hadits palsu, para pemalsu, dan penyebarannya.
3.    Model Muhammad Al-Ghazali
Muhammad Al-Ghazali adlah salah seorang ulama lulusan Universitas Al-Azhar Mesir yang disegani di dunia Islam, khususnya Timur Tengah, dan salah seorang penulis Arab yang sangat produktif. Penelitian hadits yang dilakukan Muhammad Al-Ghazali termasuk penelitian eksploratif, yaitu membahas, mengkaji, dan mendalami sedalam-dalamnya berbagai persoalan aktual yang muncul di masyarakat untuk kemudian diberikanstatus hukumnya dengan berpijak pada konteks hadis tersebut.
Corak penyajiannya masih bersifat deskriptif analitis. Yakni mendeskripsikan hasil penelitian sedemikian rupa, dilanjutkan menganalisisnya dengan menggunkan pendekatan fiqih, sehingga terkesan ada misi pembelaan dan pemurnian ajaran Islam dari berbagai paham yang dianggapnya tidak sejalan dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang mutawatir. Ia menjelaskan tentang kesahihan hadits dan persyaratannya, ia mengemukakan tentang mayit yang diazab karena tangisan keluarganya.
4.    Model Zain Al-Din ‘Abd Al-Rahim Bin Al-Iraqiy
Ia disebut sebagai penganut mazhab syafi’I, belajar di Mesir. Zain Al-Din ‘Abd Al-Rahim Bin Al-Iraqiy dikenal menguasai ilmu al-nahwu (gramatikal), ilmu qira’at dan hadits. Mengingat sebelum zaman Al-Iraqy belum ada hasil penelitian hadits, maka nampak ia berusaha membangun ilmu hadits dengan menggunakan bahan-bahan hadis nabi serta berbagai pendapat para ulama. Penelitiannya bersifat awal, yaitu penelitian yang ditujukan untuk mengemukan bahan-bahan untuk digunakan membangun ilmu. Buku inilah untuk pertama kali mengemukakan macam-macam hadits yang didasarkan pada kualitas sanad dan matannya, yaitu ada hadits yang tergolong sahih, hasan, dan dhaif. Dilihat pula dari keadaan bersambung atau terputusnya sanad yang dibaginya menjadi hadits musnad, muttasil, marfu’, mauquf, mursal, dan al-mungatil. Selanjutnya, dilihat pula dari keadaan kualitas matannya yang dibagi menjadi hadits yang syadz dan munkar.
5.    Model Penelitian Lainnya
Model penelitian  diarahkan pada fokus kajian aspek tertentu saja. Misalnya, Rif’at Fauzi Abd Al-Muthallib pada tahun 1981, meneliti tentang perkembangan Al-Sunnah pada abad ke-2 Hijriah. Maka kini ilmu hadits tumbuh menjadi salah satu disiplin ilmu keislaman. Penelitian  yang masih ada hubungannya dengan berbagai masalah aktual tampak masih terbuka luas. Berbagai pendekatan dalam memahami hadits juga belum banyak digunakan. Misalnya, pendekatan sosiologis, ekonomi, politik dan lain-lain. Akibatnya dari keadaan demikian, tampak bahwa pemahaman masyarakat terhadap hadits pada umumnya masih bersifat pasif.
C.     MENENTUKAN STATUS HADITS
Langkah awal para ulama dalam menetapkan ke-shahihan dan kelemahan suatu hadits , adalah menentukan prinsip-prinsip dasar suatu hadits sebagai cara untuk melakukan elaborasi terhadap keberadaan . Langkah ini memungkinkan terjadinya perbedaan nuansa antara ulama yang satu dengan yang lain. Dan dalam beberapa hal, nuansa perbedaan tersebut juga terimbas dalam menetapkan status suatu hadits. Untuk menghindari kekeliruan mengatasnamakan nabi, ulama memilah  kepada  yang dapat dijadikan hujjah (shahih dan hasan) dan  yang tidak dapat dijadikan hujjah (dla’if).


1.    Prinsip Ijtihad
Prinsip ijtihad sebenarnya bukan monopoli karena ulama sebelum dan sesudahnya juga telah menggunakan istilah ijtihad dalam menentukan shahih tidaknya suatu hadits. Dalam melakukan ijtihad-nya, ulama hadits menggunakan dua pendekatan; pendekatan sanad dan matan. Sanad merupakan mata rantai (transmisi) hadits yang terdiri dari orang-orang yang meriwayatkan hadits sampai Nabi. Sedangkan matan hadits adalah redaksi hadits itu sendiri yang berupa sabda, perbuatan, dan pengakuannya.
2.    Prinsip Status Sanad
Hadits yang dihimpun ulama baru ditulis secara intensif sejak diedarkan surat perintah ‘Umar Bin ‘Abd Al-‘Aziz kepada para gubernur khususnya di Madinah. Tradisi ini berjalan sampai para pencatat hadits abad ke-5 H. sejak zaman Rasul hingga para rawi itu, diperlukan transmisi yang meyakinkan bahwa hadits itu musnad, muttashil, dan marfu’ kepada Nabi. Kedudukan sanad sangat penting dalam memelihara ke-shahih-an hadits, sehingga muncul postulat-postulat yang berkaitan dengannya. Postulat tersebut didasari oleh keyakinan bahwa mengatasnamakan Rasulullah SAW harus ekstra hati-hati.

Postulat yang dibangun ulama yang berkaitan dengan sanad, antara lain sebagai berikut:
a.    Sanad adalah Ajaran Agama
Rasulullah SAW sendiri sudah memperingatkannya sejak dini bahwa mengatasnamakannya tanpa dasar merupakan dosa dan pelakunya akan masuk neraka. Para sahabat pun sangat hati-hati dalam menisbahkan sesuatu kepada Nabi. Para sahabat pula yang pertama kali menuntut harus ada saksi (syahid), keterangan (bayan) dan sumpah jika seseorang berani menisbahkan sesuatu kepada Nabi.
b.    Sanad adalah Perantara
Suatu riwayat atau berita antara suatu generasi dengan generasi lainnya adalah sanad.
c.    Sanad adalah Pangkal Kebenaran
Sangat berbahaya jika mencari ilmu tidak diketahui dengan jelas sumbernya. Kutiap-kutipan ilmiah baru akan dipercaya jika bersumber dari orang-orang yang layak, sesuai dengan profesinya dan memiliki kemampuan lebih dari yang lainnya, baik pribadinya maupun ilmiahnya.
d.    Sanad adalah Standar Ilmiah
Untuk memperoleh sanad yang shahih ulama hadits menyusun berbagai macam kaidah yang menurut anggapannya dapat menentukan status suatu hadits. Dalam menentukan kaidah-kaidah ini, ulama menentukan kaidah-kaidah yang berkaitan bersambung dan tidaknya suatu sanad, seperti, musnad, marfu’, mursal dan sebagainya. Jumlah kaidak-kaidah tersebut antara ulama yang satu dengan ulama yang lainnya berbeda-beda.
3.    Prinsip Status Matan
Ke-shahih-an hadits tidak hanya berpegang teguh pada riwayat, tetapi juga pada matan (redaksi) hadits itu karena sebagai manusia bisa tidak lepas dari kesalahan. Untuk mengetahui shahih tidaknya matan hadits, maka bukan hanya hadits itu dikomparasikan dengan hadits lainnya, tetapi juga matan hadits tersebut perlu dikomparasikan dengan Al-Qur’an. Bila tampak matan (redaksi) hadits ada pertentangan, maka status hadits tersebut bisa dianggap dla’if, sehingga tidak bias dijadikan hujjah. Hasil komparasi tersebut bisa merupakan hadits mansukh (dihapus) oleh Al-Qur’an atau dihapus oleh hadits lainnya. Salah satu contoh hadits yang dihapus oleh Al-Qur’an ialah riwayat yang diterangkan oleh imam al-bukhari tentang shalat yang dilakukan Rasulullah menghadap ke Bayt Al-Maqdis.
4.    Kaidah Sanad dan Matan Hadits
Hadits yang dihimpun oleh ulama memiliki keanekaragaman dan keberadaan sanad serta matan yang berbeda-beda. Dalam keaneka ragaman sanad, seringkali para penghimpun menggunakan sanad yang dekat (ali) dan seringkali menggunakan sanad yang jauh (nazil). Juga seringkali terjadi hadits yang sanad, hadits ditemuinya bersambung kepada nabi dan juga adakalanya hanya sampai tingkat sahabat, tabi’in, atau sampai ke atba’ tabi’in. matannya, adakalanya lurus (tidak ada matan lain yang berlawanan dengan matan tersebut) dan seringkali mulus lafal-lafalnya (tidak ada perubahan lafal-lafalnya).
a.    Jauh dan dekatnya sanad
Landasan metodologis yang digunakan Al-Hakim Rasulullah SAW pernah didatangi seseorang yang menanyakan tentang iman, kerasulan, shalat, sadaqah, puasa, dan haji, padahal ia sendiri sudah mendengar dari orang lain yang menyampaikan kepadanya.  
b.    Bersambung tidaknya sanad
Perkataan, perbuatan, dan pengakuan yang dinisbatkan kepada Rasulullah, seringkali bersambung langsung kepada nabi dan seringkali tidak bersambung langsung. Ulama hadits menelaah bersambung dan terputusnya transmisi ini sampai kepada yang sekecil-kecilnya. Jika sanad itu bersambung, ulama juga melakukan penelitian kepada siapa saja orang-orang yang tercantum pada sanad tersebut. Dan jika sanad itu terputus, harus ditunjukkan dimana letak terputusnya, pada tingkat sahabat, tabi’in, atau atba’ tabi’in. istilah teknis yang berkaitan dengan terputus tidaknya suatu sanad hadits adalah musnad, mawquf, mursal, munqathi’, dan mu’dlal.
1.    Hadits Musnad
Hadits musnad yaitu hadits yang diriwayatkan oleh ahli hadits yang menerimanya dari syaykh atau guru hadits yang jika dilihat secara sepintas, antara guru-guru hadits di setiap generasi itu, satu sama lain pernah berguru dan mendengarnya karena dimungkinkan oleh hidupnya yang semasa. Kemudian proses selanjutnya, riwayat yang dibawakannya bersambung kepada sahabat yang masyhur, kemudia, ia menyandarkannya kepada Nabi. Hadits musnad itu “shahih”, dan dapat dijadikan hujjah. Untuk membuktikan suatu hadits musnad atau tidak musnad sangat bergantung kepada telaah rawi hadits itu sendiri.
2.    Hadits Mawquf
a.    Perbuatan Sahabat Rasul
Menurut al-Hakim, orang yang tidak mengetahui hadits akan menduga bahwa hadits itu musnad karena menyebut sahabat rasulullah, padahal hanya perbuatan sahabat belaka ketika mereka bertamu. Jadi, tidak selamanya perkataan yang menyebut nama rasul merupakan hadits musnad. Demikian juga termasuk mawquf jika dikatakan, “ia (sahabat) mengatakan ini dan itu, melainkan ini dan itu, menyuruh ini dan itu”.
b.    Penafsiran Sahabat.
Penafsiran sahabat termasuk kategori hadits mawquf. Jadi dalam term al-Hakim ada hadits yang dilihat dari sisi luarnya dan dilihat juga sisi hakikatnya. Dilihat dari luarnya hadits itu mawquf, tetapi hakikatnya mursal karena tidak adanya bukti bahwa tabi’in yang meriwayatkan perkataan itu menerima dari sahabat Nabi. Term ini tidak dibahas secara rinci oleh ulama lainnya. Dalam aspek ini al-Hakim lebih rinci dan lebih rinci dan lebih jeli dari ulam lainnya.


BAB III

A.    Hadits Dilihat dari Aspek Kuantitas Ra’wi’
1.    Mutawatir
Al-hakim tidak mendefinisikan hadits mutawathir secara eksplisit; hanya menunjuk hadits tertentu yang dianggapnya mutawathir, seperti diisyaratkan tentang larangan mendustakan Nabi.  Konsep mutawathir ini baru secara definitive dikemukakan Al-Baghdadi, meskipun Al-Syafi’i, ulama sebelumnya sudah mengisyaratkan dengan istilah “khabar ‘ammah”. Menurut Al-Baghdadi, hadits mutawathir adalah “suatu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang menurut kebiasaan mustahil mendustakan kesaksiannya. Ibnu shalah mendefinisikan “mutawatir ialah suatu ungkapan tentang berita yang diriwayatkan oleh orang yang memperoleh pengetahuan, yang kebenarannya dipastikan dan sanadnya konsisten memenuhi persyaratan tersebut dari awal sanad sampai akhirnya.
2.    Hadits Masyhur
Al-hakim membagi masyhur menjadi dua bagian, yaitu yang shahih dan yang tidak shahih. Hadits masyhur yang shahih ini ada yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dan ada pula yang tidak. Hadits masyhur itu pun ada yang hanya diketahui oleh para ahli hadits dan ada yang diketahui orang banyak. Seperti contoh hadits masyhur yang tidak diriwayatkan dalam kitab shahih:
“Mencari ilmu itu wajib atas setiap muslim”
3.    Hadits Gharib
Al-hakim membagi hadits ghorib menjadi tiga bagian, yaitu gharib shahih, gharib al-syuyukh, dan gharib al-mutun. Antara istilah gharib dan istilah tafarrud ada kalanya al-hakim masih ada perdebatan karena ketika ia menerangkan gharib disebut pula kata tafarrud (menyendiri). Ini artinya hadits gharib oleh al-hakim ialah hadits yang diriwayatkannya secara menyendiri. Perbedaannya terletak pada siapa yang meriwayatkan secara sendiri itu. Jika seorang yang menyendiri itu syaykh (guru-guru hadits) gharib al-syuyukh; jika terletak pada perbedaan lafal hadits dari seseorang disebut ghara ‘ib al-mutun. Di antara hadits gharib syuyukh ialah hadits yang menerangkan “larangan Nabi terhadap pedagang di kota langsung menjual barang ke desa. Hadits gharib matan, menurut Al-Hakim, sanadnya juga bisa saja gharib. Contohnya hadits yang menerangkan tentang kekuasaan yang akan di pegang “Ali bin Abi Thalib.
4.    Hadits Afrad atau Fard
Al-Hakim memberikan nuansa tertentu terhadap hadits gharib dan fard, walaupun kedua-duanya sama-sama mengenai riwayat yang menyendiri. Hadits gharib ini lebih ditekankan kepada sekelompok orang yang berada di kota tertentu yang menerima hadits itu dari seorang sahabat, lalu diterima pula dari seorang ulama terkenal dan hadits yang diterima dari penduduk kota lainnya. Misalnya. Hadits diriwayatkan oleh penduduk kufah, madinah, hadits diterima dari ulama terkenal seperti Ibn ‘Uyaynah dari al-Zuhri.
5.    Hadits diterima melalui jalur keluarga
Hadits tersebut diriwayatkan oleh sekelompok rawi yang menerima dari para Imam Hadits. Para imam ini juga menerima dari ayah-ayah mereka dan ayah-ayah mereka menerima pula dari kakek-kakeknya. Menurut al-hakim, mereka adalah para sahabat Nabi dan cucu-cucunya orang yang terpercaya; hadits-hadits yang diriwayatkan oleh mereka itu tercantum dalam kitab-kitab hadits selain shahih. Al-Hakim menyatakan bahwa hadits itu disepakati bersama, maksudnya ialah bahwa orang-orang yang meriwayatkan hadits itu disepakati oleh syaykh dan haditsnya layak diterima.
B.    Hadits Dilihat dari Aspek Kualitas Ra’wi
Dalam menentukan status hadits al-hakim seringkali menyebut shahih dan saqim dan seringkali mengatakan shahih dan majruh. Perkataan majruh disini ialah hadits yang rawi-nya tercela yang tentu akan berimplikasi terhadap ditolaknya hadits yang diriwayatkannya. Hadits yang perawinya majruh ini dalam istilah lain ialah hadits dla’if karena terjadi hadits dla’if antara lain diriwayatkan oleh orang-orang yang majruh.
Hadits Shahih menurut al-Hakim
Hadits shahih itu adalah hadits yang memiliki lima persyaratan, yaitu musnad (bersambung sanadnya), rawi-nya adil, dlabith, tidak syadzdz, dan tidak ber-‘illah.
v  Hadits yang disepakati ke- shahih-annya
Ada lima macam hadits yang disepakati ke-shahih-annya
a)    Hadits shahih menurut kriteria al-Bukhari dan Muslim
b)    Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi
c)    Hadits dari kelompok Tabi’in
d)    Hadits fard dan gharib
Hadits fard dan gharib yang disepakati ke-shahihannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah dan ‘adil.
e)    Hadits diterima melalui jalur keluarga
v  Hadits yang diperselisihkan ke-shahih-annya
1.    Hadits-hadits Mursal
Hadits Mursal ialah ucapan tabi’in atau atba tabi’in yang langsung dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, padahal jarak antara Rasul SAW dengan mereka mencapai satu abad lamanya, dan tidak ada rawi-rawi yang menjadi perantara. Adapun alasan mereka menolak hadits mursal ialah dalam al-Qur’an dengan jelas Allah menerangkan “Perlu adanya sekelompok orang yang mencari ilmu secara langsung untuk kemudian diajarkan lagi kepada kaumnya ketika pulang. Dalam menerima hadits mursal bergantung kepada siapa orang yang me-mursal-kan itu. Jika orangnya jujur dan terpercaya bisa saja hadits itu dipercaya.
2.    Riwayat orang-orang Mudallis
Riwayat orang-orang mudallis dapat dijadikan hujjah oleh sekelompok ulama Kufah jika tidak ada riwayat yang sah yang mereka dengar dari orang lain. Namun, Ulama Madinah menolaknya. Yang dimaksud dengan mudallis ialah Ibnu ‘Uyaynah.
3.    Riwayat orang yang Tsiqah
Hadits yang termasuk diperselisihkan oleh ulama adalah yang diriwayatka oleh orang-orang terpercaya yang diterima dari orang yang terpercaya pula. Prosesnya adalah hadits diterima dari orang tsiqah, diterima dari seorang Imam yang diberi sanad olehnya. Kemudian, diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tsiqah pula, tetapi dengan cara mursal. Hadits yang seperti ini banyak yang dianggap shahih menurut madzhab fuqaha’, tetapi ulama hadits tidak menerimanya. Tidak selamanya hadits itu di perselisihkan oleh ahli hadits, tetapi bisa saja suatu hadits disepakati oleh ahli hadits dan ditolak oleh ahli fiqh atau sebaliknya.

4.    Riwayat Ahli Bi’dah
Hadits yang diterima dari ahli bi’dah diperselisihkan oleh ulama antara diterima dan tidak diterima. Menurut kebanyakan ahli hadits riwayat mereka boleh diterima dengan syarat orangnya jujur, sebagaimana dilakukan juga oleh al-Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaymah, dan lain-lain.
Imam Maliki sendiri mengatakan, “Ilmu itu (Hadits) tidak boleh diambil dari empat golongan, yaitu dari orang safih, pendusta, pengikut aliran hawa nafsu (ahli bi’dah) yang membawa kepada alirannya, dan orang saleh atau tukang ibadah yang tidak mengetahui hadits.
a.    Hadits Dla’if Menurut Al-Hakim
1.    Orang yang mendustakan Nabi
Ancaman Nabi SAW atas orang yang mengatasnamakna Nabi, padahal Rasul tidak mengatakannya. Orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut antara lain adalah orang-orang yang zindiq yang selalu membuat hadits mawdlu’. Yaitu orang zindiq, mengikuti hawa nafsu, keutamaan amal, menjilat penguasa, orang yang mempertahankan kehormatan, menggunakan sanad yang shahih dengan matan yang palsu sebagai penipu.
2.    Rekayasa Sanad agar asing bagi pendengar
Orang-orang yang digolongkan majruh adalah orang-oang yang melakukan rekayasa sanad hadits yang diterima dari rasulullah saw, yaitu dengan membuat sanad baru. Dengan cara ini ia ingin menempatkan dirinya di jajaran ahli hadits.
3.    Orang yang rakus meriwayatkan sanad
Bagian ini terjadi pada orang yang tergolong ahli ilmu, tetapi rakus meriwayatkan hadits, yaitu dengan meriwayatkan hadits dari orang yang tidak diketahui riwayat hidupnya. Seringkali orang semacam itu meriwayatkan hadits dari orang yang sudah meninggal, padahal ketika meninggalnya rawi yang mengaku bertemu orang tersebut, belum lahir.
4.    Orang yang mengubah perkataan sahabat
Di antara orang yang tercela adalah orang yang mengubah perkataan sahabat menjadi hadits yang dinisbahkan kepada Nabi, yaitu orang yang meriwayatkan hadits yang sebenarnya mawquf kemudian dijadikan marfu’.
5.    Orang yang sengaja me-mawsul-kan hadits mursal
Di antara orang yang termasuk dalam kelompok majruh adalah orang yang dengan sengaja mengubah hadits mursal menjadi mawsul dengan cara menambah sahabat seperti Ibrahim bin Muhamma al-Maqdisi.
6.    Orang-orang saleh dan ahli ibadah
Mereka umumnya orang-orang saleh dan ahli ibadah, tetapi tidak pernah mengkhususkan dirinya dalam memelihara hadits, seperti menghafal dan meneguhkan diri pada hadits yang diriwayatkannya.
7.    Menggeneraslisasikan Sanad
Tipe rawi hadits seperti ini ialah orang yang menerima hadits dari guru-gurunya. Kemudian dengan sengaja mereka meriwayatkan hadits yang tidak pernah didengar dari guru itu. Kesalahan orang seperti itu ialah meriwayatkan kembali hadits yang tidak didengar kepada orang lain dengan tidak membedakan hadits yang didengar dari gurunya langsung.
8.    Orang-orang yang Lalai Ketika Mendengar dan Menerima Hadits dari Gurunya
Orang yang termasuk majruh (dicela) riwayatnya adalah orang yang mendengar hadits dari gurunya, tetapi ia lalai menulis nama-nama rawi yang disebutkan gurunya, sehingga ia keliru ketika mengulangnya kembali nama dan umurnya.
9.    Orang yang Profesinya bukan Ahli Hadits
Orang yang seperti ini sama sekali tidak ada keahlian dibidang hadits, tetapi memaksakan diri mengajarkan hadits yang mereka sendiri tidak tahu betul dan tidaknya memahami hadits yang diriwayatkan.
10.  Orang yang Catatannya Rusak
Orang yang termasuk majruh adalah orang yang catatannya terbakar, dirampok, hilang, tidak mulus lagi, tenggelam, dicuri, dan lain-lain. Kemudian, memaksakan dirinya meriwayatkan hadits berdasarkan hafalan yang tersisa. Harus dilihat dahulu apak ia meriwayatka hadits itu sebelum catatannya atau ingatannya terganggu atau sesudahnya. Inilah tingkat orang majruh yang menurut al-Hakim tidak boleh diterima riwayatnya karena dianggap lemah.
Ø  Larangan Menulis Hadits Pada Masa Nabi
Di masa Rasulullah SAW masih hidup, hadits belum dibukukan, dalam arti umum, seperti Al-Qur’an. Hal ini disebabkan dua faktor berikut:
1.    Para sahabat berpegang pada kekuatan hafalan dan kecerdasan akal mereka, di samping tidak lengkapnya alat-alat tulis yang mereka miliki.
2.    Adanya larangan menulis hadits. Muslim dalam sahihnya, meriwayatkan dari sa’id al-khudri, bahwa nabi Muhammad saw berkata:
“Janganlah kamu menulis sesuatu (yang kamu terima) dariku selain Qur’an. Barang siapa yang telah menulis sesuatu selain Qur’an, hendaklah dihapus”.
Bolehjadi, larangan penulisan hadits itu karena dikhawatirkan akan tercampurnya hadits dengan Qur’an, atau penulisan hadits itu akan melalaikan mereka dari Qur’an, atau larangan itu ditujukan kepada orang-orang yang dipercayai kekuatan hafalannya. Tetapi bagi mereka yang tidak lagi dikhawatirkan bahwa hadits dengan Qur’an akan tercampur aduk, seperti mereka yang pandai baca tulis, atau karena mereka khawatir akan lupa, maka penulisan hadits diperbolehkan. Dan dalam pengertian inilah menurut beberapa riwayat penulisan hadits bagi sementara sahabat diizinkan.
Ø  Penulisan Hadits Setelah Nabi Wafat
Tidak berselang lama setelah Rasulullah SAW wafat, para penulis hadits, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in, banyak bermunculan. Diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, bahwa ia senantiasa menyertai Ibn Abbas r.a. untuk mendengarkan hadits darinya. Hadits-hadits yang didengarnya itu dicatat ketika ia dalam perjalanan, kemudian disalin sesampai dirumah.
Ø  Pembukuan Hadits Secara Umum
Pada abad pertama perkembangan hadits ialah bahwa sebagian perawi mencatat hadits-hadits, sedang yang lain tidak mencatatnya. Dalam meriwayatkannya, mereka hanya berpegang pada ingatan dan kekuatan hafalannya. Keadaan demikian terus berlangsung hingga masa pemerintahaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz r.a. Ia tergerak hatinya dan merasa perlu membukukan hadits dan sunnah. Hal ini disebabkan ia merasa khawatir akan hilang dan lenyapnya hadits-hadits bersama para penghafalnya yang kian hari kian banyak yang meninggal, atau karena ia khawatir tercampur baurnya hadits-hadits asli dengan yang batil. Di samping itu, mulai bermunculanlah kelompok ateis yang mempunyai tujuan akan menghancurkan agama dengan cara membuat-buat ajaran palsu dan memasukkan ke dalamnya sesuatu yang sebenarnya bukan ajaran agama. Sebagaimana dimasa itu telah muncul pula pertentangan-pertentangan politik, mazhab dan golongan bangsa yang menyebabkan meluasnya hadits-hadits palsu yang mendukung kepentingan masing-masing.











KESIMPULAN
Para ahli bahasa mendefinisikan yang dimaksud dengan “sebab” (arab: sababa) adalah “al-habl”: tali, yang menurut lisan al-‘arab dinyatakan bahwa: kata ini dalam bahasa arab berarti “saluran”, yang berarti: “segala sesuatu yang menghubungkan satu benda ke benda lainnya”. Para ahli istilah memaksudkannya sebagai : “segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”.
Sementara itu, para ahli hukum islam mendefinisikannya dengan: “suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa adanya pengaruh apa pun dalam hukum itu”.
Munculnya (wurud) hadits sebagai: “sesuatu yang membatasi arti suatu hadits, baik berkenaan dengan arti umum atau khusus, mutlak atau terbatas, di nasikh (dihapus) dan seterusnya, atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadits saat kemunculannya.
Manfaat mempelajari Asbabul Hadits
1.    Mentakhsish (mengkhususkan) arti yang umum
Seperti contoh hadits dibawah ini:
“Paha orang yang shalat dengan orang yang duduk, setengah dari shalat orang yang berdiri”.
2.    Membatasi arti yang Mutlak
3.    Merinci yang Mujmal (global)
4.    Menerangkan ‘illat (alasan) suatu hukum
Salah satu keistimewaan para ahli ilmu di dunia islam, terutama para imam hadits, ialah banyak melakukan lawatan dan perjalanan. Dalam hal ini, mereka mengikuti jejak para sahabat dan tabi’in. apabila mereka menerima sebuah hadits dari sanad perawi yang dapat dipercaya, mereka tidak merasa puas dengan cara ini, tetapi mereka melakukan perjalanan berhari-hari, bahkan berbulan-bulan untuk mendapatkan hadits tersebut secara langsung dari orang yang meriwayatkannya, tanpa melalui perantara.







DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Prof. Dr. H. M.A. Metodologi Studi Islam. 2004. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Abdurrahman.M.Dr. Pergeseran Pemikiran Hadits. 2000. Jakarta: Paramidana.
Al-Hafizh Jalaluddin As-Sayuthi. Proses Lahirnya Sebuah Hadits. 1986. Bandung: Pustaka.
Abu Muhammad Muhammad Syuhbah. Kitab Hadits Shahih Yang Enam.1994. Bogor: Pustaka Litera Antarnusa.










Keyakinan Tidak dapat dihilangkan dengan Kebimbangan


KEYAKINAN TIDAK DAPAT DIHILANGKAN OLEH KEBIMBANGAN
ا ليقين لا يز ا ل با لشك)   )
MAKALAH
Semester III Program Setrata I (S1) Fakultas Tarbiyah Kelas .C
Mata Kuliah : Kaidah Fiqh
Dosen
FIKRIA NAJITAMA, M. Si.



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(STAINU ) KEBUMEN
                                            2011



 
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum. wr.wb.
Alhamdulillah segala puja dan puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan banyak kenikmatan, berupa segala yang telah dirasakan dalam kehidupan ini. Satu diantaranya adalah pemberian ilmu dan kemampuan menuangkannya kedalam bentuk tulisan serta menjadikannya kedalam bentuk makalah yang berjudul KEYAKINAN TIDAK DAPAT DIHILANGKAN OLEH KEBIMBANGAN ( ا ليقين لا يز ا ل با لشك ).
 Sholawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada beliau Nabi Akhiruz zaman yaitu Nabi Muhammad SAW, keluarga serta para sahabat-sahabat Baginda.
Kami  berkewajiban menyampaikan ucapan terima kasih kepada para dosen dan guru besar yang mana penulis banyak menimba ilmu dari padanya, khususnya Fikria Najitama, M. Si. yang telah memberikan ilmu baru dalam mata kuliah Kaidah Fiqh.
Makalah ini tentu saja jauh dari sempurna, akhir kata, dengan tangan terbuka dan rasa tanggung jawab kami mengharapkan kritik, dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca yang budiman, yang kiranya dapat meningkatkan motivasi dalam belajar.

Wassalamu’alaikum.wr.wb.

                                                                                                 Kebumen, Desember 2011

                                                                                                                                                 PENULIS
BAB I
                                                                PENDAHULUAN       


1.    Latar belakang masalah
Manusia hidup tidak mungkin lepas dari beragam perasaan senang, sedih, sakit, sehat, kuat, lemah, rajin, malas, dan beragam sifat manusiawi lainnya. Agama islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin memiliki pengertian dan perhatian besar pada hal-hal yang bersifat psikologis, antropologis ini. Rasa yakin yang biasa mengawal hidup manusia, baik dalam dunia bisnis, relasi sosial dan lainya. Rasa yakin akan menggiring manusia menuju kunci kesuksesan dan keberhasilan menggapai kebahagiaan hidup dunia akhirat.
Secara kudrati manusia itu menurut Ibnu Khaldun memiliki dua potensi dasar, yaitu pikiran dan tangan. Dengan pikiran manusia memikir dan merenung, merencanakan dan membentuk gagasan, hal yang tidak dimiliki makhluk lain. Dengan tangan ia menerjemahkan pikiran, gagasan dan rencananya itu ke dalam alam kenyataan. dengan gabungan antra kedua potensi yang sangat ampuh itu , manusia telah mengubah wajah bumi itu, karena adanya keyakinan.

2.    Rumusan-rumusan maslah
Setelah membaca diatas, maka kita dapat menelaah dari makalah ini untuk diserkan bersama-sama.
a.       Apakah pengertian dari Yakin dan Syak secara etimologi / terminologi ?
b.      Apa sajakah landasan yang dipakai ?
c.       Implementasi dari kaidah tersebut ?

3.    Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Mengetahui pengertian Yakin dan Syak secara etimologi / terminologi.
2.      Seorang pendidik mampu mengimplementasikan yakin bahwasanya mendidik benar-benar panggilan hati.

BAB II
PEMBAHASAN


A.  PENGERTIAN YAKIN DAN SYAK SECARA DEFINITIF  
Dalam bahasa arab, diskursus seputar makna kata yaqin ( selanjutnya di Indonesia-kan menjadi yakin ) cukup semarak dibicarakan, terutama dalam kajian ilmu fiqh, maupun kaidah fiqh. Yakin secara sederhana dimaknai sebagai ketetapan hati (thuma’ninah al-qalb) atas suatu kenyataan atau realitas tertentu. Al-ghazali menandaskan bahwa yakin adalah kemantapan hati untuk membenarkan sebuah objek hukum, dimana hati juga mampu memastikan bahwa kemantapan itu adalah hal yang paling benar.
  Yakin dalam konteks kaidah ini mempunyai makna lebih luas, sebab yang dimaksud yakin disini juga memasukkan zhan (praduga kuat), dimana zhan sendiri belum mencapai derajat yakin. Namun para fuqaha terbiasa menggunakan kata al-‘ilmu (tahu) dan yakin untuk menunjukkan makna zhan dan sebaliknya. Al- Nawawi menandaskan bahwa bila ada orang yang dipercaya (tsiqah) memberitahu bahwa air yang kita pakai berwudlu terkena najiz, maka pengetahuan kita yang berdasarkan berita tadi telah dikategorikan yakin. Padahal sebenarnya kemantapan hati kita baru mencapai taraf zhan (asumsi atau persepsi kuat), karena kita tidak melihat langsung najis yang menimpa air yang kita gunakan berwudlu itu. Konsekuensinya kita wajib mensucikan kembali anggota badan yang terkena air najis tersebut sekaligus wajib mengulangi shalat.
Ahli fiqh memaknai syak sebagai keraguan atau kebimbangan akan terjadinya sesuatu atau tidak terjadi. Makna syak yang diajukan ahli ushul fiqh, yakni keseimbangan hati dalam menyikapi sesuatu. Dalam pengertin ini, hati kita tidak lebih cenderung kepada salah satu dari dua kemungkinan yang ada.
Menurut ushuliyyin sering melontarkan kritik epistemologis (teori ilmu pengetahuan) kepada para fuqaha seputar rumusan kaidah ini. Sebab menurut ushuliyyin, apabila seseorang telah dihinggapi keraguan dalam hatinya, maka keyakinan yang sebelumnya telah bulat pasti akan hilang, atau minimal terganggu dan tidak utuh lagi. Keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan; ini jelas sesuatu yang mengada-ada dan absurd (irrsional).
Fuqaha menegaskan bahwa yang dimaksud tidak hilang (la yazalu) bukan berarti keyakinan itu sendiri yang sirna, sebab hal itu mustahil terjadi, melainkan hukum yang telah terbangun berdasarkan keyakinan itulah yang tidak hilang.
Al-nawawi menandaskan bahwa syak dalam istilah fuqaha didefinisikan sebagai keraguan diantara wujud dan tidaknya sesuatu.
Secara lebih sistematis, sebagian ulama memilah kondisi hati dalam lima bagian berikut:
1.      Yaqin, yakni keteguhan hati yang bersandar pada dalil qath’iy (petunjuk pasti).
2.      I’tiqad, yakni keteguhan hati yang tidak bersandar pada dalil qath’iy.
3.      Zhan, yakni presepsi atau asumsi hati terhadap dua hal berbeda, dimana salah satunya lebih kuat.
4.      Syak, yakni sebentuk prasangka terhadap dua hal tanpa mengunggulkan salah satu diantara keduanya.
5.      Wahm, atau kemungkinan yang lebih lemah dari dua hal yang diasumsikan.

B.       LANDASAN YURIDIS
a.     Al-Qur’an
Pondasi terbangunnya kaidah ini adalah firman allah swt. Dalam QS. Yunus : 36 yang berbunyi:
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan”.
Dengan ayat ini, Allah SWT. Memberi penegasan akan hal yang mesti dijadikan pijakan berfikir dan bertindak. Karena walau bagaimanapun, hal yang masih dalam keraguan atau masih menjadi tanda tanya tidak dapat disejajarkan dengan keyakinan. Apabila terjadi keragu-raguan yang berpotensi untuk mempengaruhi hal-hal yang telah diyakini sebelumya, sudah barang tentu tidak dapat mempengaruhi keyakinan yang sudah ada, selama belum ada elemen-elemen fundamental yang dapat menunjukkan bukti valid bahwa keyakinan itu tidak sesuai kenyataan; al-yaqin la yuzalu bi al-syak.

b.    Hadits
Hadits Nabi Muhammad Saw yang menjadi ponadi kaidah ini antara lain:
Pertama hadits riwayat Imam Muslim r.a.:
ا د ا و جد ا حد كم في بطنه شيا فا شكل عليه ا خر خ منه شء ا م لا ؟ فلا يخر جن من ا لمسجد حتي يسمع صو تا أ و يجد ر يحا
“ Apabila salah seorang diantara kalian merasakan ‘sesuatu’ di dalam perutnya, kemudian dia ragu, apakah telah keluar sesuatu (dari perutnya) atau tidak, maka janganlah dia keluar dari masjid (membatalkan shalatnya), sampai dia mendengar suara atau mencium bau” (HR MUSLIM).
Menurut Al-Nawawi, hadits ini merupakan salah satu landasan dasar yurisprudensi isalam yang kemudian dijadikan fundamen terbangunnya kaidah-kaidah fiqh. Dari hadits ini pula terbangun konsep serta metodologis-analitis mengenai status objek, yakni dengan cara melihat status hukum asalnya yang tidak akan berubah hingga ada unsur eksternal yang valid dan mampu mempengaruhi “keaslian”nya.
Kedua, Hadits riwayat Bukhari-Muslim r.a.:
شكى ا لى ر سو ل ا لله صلى ا لله عليه و سلم ا لر جل يخيل ا ليه أ نه يجد ا لشئ فى ا لصلا ة, قا ل "لا ينصر ف حتى يسمع صو تا أ و يجد ر يحا"
Nabi SAW, diberi kabar mengenai seorang yang merasakan angin (yang keluar dari perut) dalam shalat. Beliau bersabda “janganlah dia berhenti shalat sampai ia mendengar suara atau mencium bau”.
Lanjutan dari hadits pertama, sekaligus penegasan akan substansi yang terkandung didalamnya. Dlam hadits ini, Nabi SAW. Kembali menegaskan dua hal; pertama keragu-raguan yang berupa perasaan keluar angin tidak dapat merubah status hukum yang telah diyakini sebelumnya, yakni kondisi suci dalam
sholat; kedua; keyakinan yang ada hanya dapat ‘dikalahkan’ oleh keyakinan yang lain; berupa kepastian batalnya shalat disebabkan keluarnya angin yang bisa dipastikan dengan mendengar suara atau mencium baunya.
Ketiga, hadits riwayat Muslim r.a.:
إ ذ ا شك أ حد كم في صل ا ته فلم يد ر كم صلي أ ثل ا ثا أ م أ ر بعا؟ فليطر ح ا لشك و ليبن علي ما ا ستيقن, ثم يسجد تين قبل أ ن سلم, فإ ن كا ن صلى خمسا شفعن له صلا ته , و إ ن كا ن صلى إ تما ما لأ ر بع كا نثا تر غيما للشيطا ن.
Apabila salah seorang diantara kalian ragu dalam shalatnya, apakah dia telah mencapai tiga atau empat rakaat? Maka hendak-nya dia membuang jauh-jauh keraguan itu danberpegang lah pada keyakinannya, kemudian sujud (sujud sahwi)-lah dua kali sebelum salam. Jika (kenyataannya) dia shalat sampai lima rakaat, maka shalatnya akan genaplah shalatnya. Namun bila-ternyata-empat rakaat, maka dua sujudnyaakan membuat malu setan”.


C.       APLIKASI KAIDAH
a.       SUB KAIDAH PERTAMA
ا لا صل بقا ء ما كا ن علي ما كا ن
Hukum Asal Adalah Ketetapan Yang Telah Dimiliki Sebelunya
Hukum asal adalah ketetapan yang telah dimiliki sebelumnya.
Kaidah ini menandaskan bahwa suatu perkara yang telah berada pada satu kondisi tertentu di masa sebelumnya, akan tetap seperti kondisi semula selama tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap hukum lain. Alasan utama mengapa hukum pertama harus dijadikan pijakan, karena dasr segala sesuatu adalah tidak berubah atau tetap seperti sediakala (baqa’). Sementara kemungkinan untuk merubah dari kondisi semula adalah sesuatu yang baru dan bersifat spekulatif, sehingga tidak dapat dijadikan pijakan hukum
Dalam ushul fiqh, subtansi kaidah ini dikenal dengan istilah istishab, yang secara etimologis berarti menetapi dan tidak berpisah. Secara terminology ushul fiqh, pemaknannya disesuaikan dengan topik bahsan. Dalam kajian tentang lafadz yang ‘am dank hash, misalnya istishab dimaknai sebagai menjaga ke-umum-an (universalisme) kata hingga ada dalil yang meng-khusus-kannya. Sementara dalam istilah fiqh, istishab dimaknai sebagai “Tepatnya hukum atas keberadaan atau ketidak beradannya. Dalam artian, jika sebelumnya tidak ada, maka pada masa selanjutny tetap dihukumi tidak ada.
Secara garis besar, fuqaha kemudian membagi istishab dalam dua pemilihan berikut:
1.         Istishhab al-madli li al-hal, yakni bila ada suatu perkara yang berada dalam satu kondisi tertentu pada masa lalu (zaman madli), maka pada masa kini (zaman hal) ia tetap dihukumi seperti keadaan semula, selama belum ada dalil yang menunjukkan sebaliknya.
2.         Istishhab al-hal li al-madli, yakni suatu perkara yang pada saat sekarang (zaman hal) berada dalam satu kondisi tertentu, dimana keberadaannya sama persis seperti pada masa lalu.
Dengan catatan, tidak ada dalil yang menunjukkan sebaliknya. Sementara kaidah yang sedang kita bahas saat ini lebih identik dengan bagian yang pertama.

b.      SUB KAIDAH KEDUA
ا لا صل عد م ا لفعل
Hukum asal adalah tiadanya pekerjaan
Bahwa pada dasarnya setiap orang mukallaf dinilai belum melakukan sebuah pekerjaan, sebelum pekerjaan tersebut sudah benar-benar wujud secara nyata dan diyakini keberadaannya. Banyak persoalan-persoalan fiqhiyyah yang termasuk cakupan kaidah ini, diantaranya adalah seseorang yang merasakan keraguan dalam sholat subuh, apakah ia telah mengerjakan qunut atau tidak, maka ia dianjurkan melakukan sujud sahwi, karena hukum asalnya dia tidak mengerjakan qunut.

c.       SUB KAIDAH KETIGA
ا لا صل في ا لا شيا ء ا ل ا با حة
Hukum asal segala sesuatu adalah boleh
Penemuan-penemuan baru yang tidak ada pada masa kini, telah dipersiapkan perangkat hukumnya secara lengkap oleh islam. Jauh-jauh hari ajaran islam telah memprediksikan hal itu dan memberikan ketentuan-ketentuan hukum dalam bingkai kaidah yang sangat sederhana, yaitu al-ashlu al-ibahah.
Dalam tataran praktis, kaidah ini dapat diterapkan jika kita menemukan hewan, tumbuhan, atau apa saja, yang belum diketahui status hukumnya dalam syari’at. Semua jenis barang tersebut dihukumi halal sesuai substansi yang dikandung kaidah ini. Namun masih ada pro dan kontra dikalangan ulama seputar hukum asal segala sesuatu. Mayoritas ulama syafi’iah menyatakan bahwa hukum asal segala sesuatu adalah halal (mubah/ibahah), selama belum ada dalil yang mengharamkannya. Dan ada lagi segolongan ulama lainnya yang bersikap diam (tawaqquf) seputar masalah ini; mereka tidak menyatakan haram atau halal.
Argumen yang mendasari terbangunnya tiga pendapat tersebut:
a)        Kalangan yang menghalalkan
Argumen yang mendasari pendapat ini adalah:
QS. Al-Baqarah ayat 29:
29.  Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu.
Ayat ini menandaskan bahwa segala sesuatu yang ada didataran bumi dianugerahkan untuk kemaslahatan manusia. Sementara wujud nyata anugrah tersebut adalah pemberian hukum halal (ibahah) pada apa saja yang ada didalamnya. Artinya, manusia diberi kebebasan untuk memanfaatkan dan mengelola isi bumi, selama tidak ada penegasan dari Allah SWT, bahwa hal itu adalah terlarang.
QS. Al-A’raf: 32
32.  Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang Mengetahui.
selain ayat Al-Qur’an banyak pula hadits Nabi SAW. Yang mendasari pendapat ini, diantaranya HR. Abu Darda r.a.:
ما أ حل ا لله فهو حلا ل و ما حر م ا لله فهو حر ا م و ما سكت عنه فهو عفو فا قبلو ا من ا لله عا فيته. فا ن ا لله لا ينسى شيا
Sesuatu yang dihalalkan Allah adalah halal, sesuatu yang diharamkan Allah adalah haram. Sedangkan hal-hal yang tidak dijelaskan oleh Allah adalah merupakan pengampunan dari-Nya. Maka terimalah pengampu-nan dari-Nya. Dan Allah tidaklah lupa akan satu hal pun.

b)        Kalangan yang mengharamkan
Hukum asal segala sesuatu adalah haram, menurut ulama Syafi’iah, memang pernah diungkapkan oleh imam Abi Hanifah. Ternyata qawl rajih madzhab hanafi justru mengklaim bahwa asal segala sesuatu adalah ibahah, sama persis dengan pendapat syafi’iah. Dikalangan hanafi sendiri masih terjadi silang pendapat status pendapat asal segala sesuatu, ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Sebagian ulama hanafi, beberapa ulama hadits dan mu’tazilah juga termasuk golongan yang menilai bahwa hukum asal segala sesuatu adalah haram. Dalil yang menjadi pijakan antara lain QS. Al-Nahl ayat 116:

116.  Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan Ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.
Dalam arti, urusan haram dan halal hanya pada diri-Nya. Dalam Arti, urusan halal haram adalah hak prerogatif Allah SWT, bukan wewenang manusia. Tidak ada celah bagi manusia untuk menentukan vonis halal dan haram kecuali jika telah diberitahukan  oleh Allah SWT.
Dalil kedua adalah hadits yang berbunyi:
ا لحلا ل بين و ا لحر ا م بين و بينهما أ مو ر مشتبه ت و ا لمؤ منو ن و قا فو ن عند ا لشبها ت
Sesuatu yang halal sudah jelas, yang haram pun sudah jelas pula. Sedangkan sesuatu yang berada diantara keduanya adalah hal-hal yang samar (syubhat). Orang-orang yang beriman mereka akan bersikap ‘diam’ ketika berhadapan dengan syubhat.
Menurut ulama “anti syubhat” tersebut, penerapan hukum haram jauh lebih terjamin keamanannya daripada hukum halal. Padahal menghukumi halal pada semua ciptaan Allah SWT, adalah perbuatan yang kemungkinan besar tidak di izini oleh-Nya. Padahal menghukumi halal pada semua ciptaan Allah SWT, sama saja memberikan kebebasan manusia untuk mengeksploitasi isi alam tanpa izin Sang Pemilik Sejati, ini jelas tidak masuk akal dan cenderung spekulatif.
c)        Kalangan yang bersikap “abstain” (tawaqqaf)
Pendapat yang ketiga ini memilih diam dan tidak memberikan komentar tentang hukum asal segala sesuatu. Artinya, hal-hal yang masih bersifat “misterius” ini adalah perkara yang belum mempunyai hukum dan kita sama sekali tidak dituntut (dan tidak akan mampu) memberi status hukum kepadanya. Hanya Allah lah yang berhak memutuskan, dan hanya Dia pula yang Maha Mengetahui segala “rahasia” dibalik semua fenomena ini.

d.      SUB KAIDAH KEEMPAT
ا لا صل في ا لا بضا ع ا لتحر يم
Hukum asal abdla’ (farji) adalah haram
Abdla’ adalah bentuk jamak dari kata budl’ yang maknanya sinonim dengan kata farj atau vagina. Budl’ juga dapat berarti menikahi (tazwij), seperti halnya kata al-nikah yang mempunyai dua arti; dapat diartikan bersetubuh (wath’i) dan akad pernikahan (aqd al-nikah). Dalam redaksi lain, kaidah ini diungkapkan dengan kata-kata; al-ashlu fi al-nikah al-hadzru; hukum asal pada hal-hal yang berhubungan dengan masalah nikah adalah dilarang. Perbedaannya dua kaidah ini lebih dipicu oleh faktor penggunaan dua kata yang berbeda, yakni al-budl’ dan al-nikah, yang sebenarnya memiliki kemiripan makna. Dua kaidah di atas menandaskan bahwa, hukum asal pernikahan, yang selalu terkait dengan persoalan hubungan intim antara suami-istri, adalah haram. Sementara diperbolehkannya hubungan seksual diantara keduanya, hanya berlaku setelah melalui proses pernikahan, dilatarbelakangi oleh adanya satu kebutuhan mendasar dan mendesak, yaitu demi menjaga kelestarian keturunan dan mempertahankan populasi manusia.
e.       SUB KAIDAH KELIMA
ا لا صل في ا لكلا م ا لحقيفة
Hukum asal dalam ucapan adalah makna hakiki.
Dalam bahasa arab dikenal istilah haqiqah dan majaz yang memiliki kemiripan dengan makna hakiki dan makna kiasan dlam bahasa indonesia, walaupun tidak sama persis. Haqiqah adalah sebuah kata yang mempunyai makna sesuai dengan makna aslinya tanpa ada pembiasan. Sedangkan majaz adalah kata-kata yang mempunyai arti yang sudah membias atau ambigu (makna kedua)
Contoh pemaknaan kata yang belum membias kemakna majaz (masih dalam lingkup haqiqat) adalah sebagai berikut:
Orang yang bersumpah tidak akan membeli dan tidak akan melakukan penjualan apapun. Dengan sumpahnya ini, ia tidak akan dianggap sebagai orang yang melanggar sumpah ketika mewakilkan penjualan dan pembeliannya itu pada orang lain. Menurut al-suyuthi, hal ini karena ucapan tersebut diberlakukan sesuai dengan makna haqiqat-nya, yaitu penjualan dan pembelian yang hanya dilakukan oleh diri sendiri.
f.       SUB KAIDAH KEENAM
ا لا صل بر ا ء ة ا لد مة
Hukum asal adalah bebas dari tanggungan
Kaidah ini menandaskan bahwa, patokan dasar manusia dalam hubungan masyarakat (relasi sosial) maupun individualnya adalah keterlepasannya dari tanggungjawab hak orang lain (dzimmah) ketika hak itu belum pasti. Secara bahasa, dzimmah memiliki beberapa arti perjanjian, jaminan, perlindungan dan sumpah. Namun dalam kaidah ini, dzimah diartikan sebagai tanggungjawab manusia terhadap suatu barang, atau tanggungjawab berupa hak individu dengan hak individu lainnya. Pada dasarnya setip manusia terbebas dari tanggungan yang berupa kewajiban melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sebaliknya, bila seseorang memiliki tanggungan, maka ia telah berada dalam posisi yang tidak sesuai kondisi asal.
Kontrdiksi dari kaidah ini berasal dari hadits nabi saw. Yang berbunyi:
ا لبينة علي ا لمد عي و ا ليمين علي ا لمد عي عليه ( ر و ا ه ا لبخا ر ي و مسلم و أ بو د ا و ا لتر مد ي و ا لنسا ىي و ا بن ما جه و ا حمد )
Mendatangkan bukti wajib atas oarang yang mendakwa, sedangkan sumpah wajib atas orang yang didakwa (HR. BUKHARI, MUSLIM, Abu Dawud, Turmu-dzi, Nasa’i, Ibn Majah dan Ahmad).


BAB III
PENUTUP


KESIMPULAN
            Dari pembahasan  tersebut dapat kita tarik benang  merah bahwa rasa yakin akan mengarahkan manusia menuju kunci kesuksesan dan keberhasilan menggapai  kebahagiaan hidup dunia dan akherat. Keyakinan merupakan sugesti yang sangat kuat mempengaruhi dalam setiap langkah yang akan di lalui oleh manusia.Dalam pembahasan di depan telah di bahas bahwa hukum yang sudah berlandaskan keyakinan tidak bisa di pengaruhi oleh keraguan yang timbul kemudian.
            Yang di maksud yakin dalam hal ini adalah tercapainya kemantapan hati pada satu objek hukum yang telah di kerjakan,baik kemantapan itu sudah mencapai kadar pengetahuan yang mantap atau hanya persepsi yang kuat(zhan).Terlepas dari kaidah-kaidah yang telah di bahas sebelumnya bahwa sejarah telah menjadi saksi bagaimana para filosuf ,pemikir,cendekiawan dan lain sebagainya tentunya mempunyai keyakinan yang kuat dalam setiap apa yang mereka lakukan serta mempunyai landasan pijak sebagai penyangga atas keilmuan yang mereka miliki.


DAFTAR PUSTAKA

KH. Maimoen Zubair (Pengantar).2005.Formulasi Nalar Fikih.Surabaya:Khalista
H. A.Djazuli.2006.Kaidah-Kaidah Fiqh.Jakarta:Kencana